Part 4

Another Way to Love

###

Part 4

###

"Di mana kamar mandinya?"

Dash tak menjawab. Memperhatikan Kinan memunggunginya dan tengah sibuk membongkar isi koper besar wanita itu. "Aku belum memberimu ijin untuk menginap di sini."

"Aku akan membayar sewa dengan sangat murah hati."

"Untuk apa semua itu jika akhirnya suamimu menghajarku hanya karena aku menyembunyikan wanita asing dalam apartemenku."

"Menurutku kita sudah sangat dekat." Kinan berbalik. "Apa kau tahu di mana supermarket terdekat. Aku tidak membawa peralatan mandiku."

Dash mendesah keras. Kegigihan yang terpampang di wajah Kinan membuatnya enggan berdebat dengan wanita itu. "Aku harus pergi bekerja," Dash melirik jam tangannya, tak banyak waktu yang tersisa atau bayarannya akan berkurang, "malam ini kau boleh menggunakan tempat ini, tapi besok pagi aku tak ingin melihat wajahmu di sini lagi."

"Oke," dusta Kinan. Ia setidaknya butuh waktu seminggu untuk mempersiapkan pelariannya dari Diaz. Sementara, di tempat kumuh seperti ini, Diaz tak akan bisa menemukan dirinya. Beruntung, ia mengenal Dash di waktu yang tepat.

Namun, keberuntungan tak berpihak pada Kinan kali ini. Seperti lain kali yang sudah-sudah. Saat ia melangkah ke kamar mandi dan mendengar bel berbunyi.

"Tiga tahun aku menjadi suamimu, kau pikir aku tak tahu ke mana kau akan pergi untuk melarikan diri?" Diaz mendorong pintu apartemen Kinan dan melangkah masuk. Tak peduli meskipun dengan begitu Kinan terhuyung dengan gerakan yang kasar. "Rupanya kau memang masih sebodoh seperti yang kupikirkan, Kinan."

Kinan benar-benar akan terjatuh, jika kedua tangannya tidak segera bertopang pada meja tempat vas bunga untuk menahan tubuhnya. Diaz bahkan tak peduli dengan kondisinya yang tengah hamil. Oh ya, memang sejak kapan pria itu akan peduli pada seorang wanita jika itu bukan Senja?

"Aku tidak ingin bercerai, Diaz." Kinan mendesis, bibirnya menajam setelah bisa berdiri dengan tegak, "Aku tidak akan membuatmu semudah itu."

"Oh,ya?" Diaz menyeringai. "Coba saja."

"Setelah memanfaatkanku, kini tanpa perasaan sedikit pun kau membuangku. Kau benar-benar brengsek, Diaz."

"Dan jangan bersikap seolah kau tidak lebih brengsek dariku. Kesepakatan di balik pernikahan kita atas persetujuanmu dan aku, dan kalau kau sudah lupa, kaulah yang menawarkan kesepakatan itu."

"Aku tidak mendapatkan keuntungan apa pun dari kesepakatan itu, dan sekarang kau malah membuangku? Setidaknya biarkan aku bersembunyi di dalam pernikahan kita."

"Dan aku juga tak pernah menjanjikanmu sesuatu pun,"

Kinan menggeram marah, kesepakatan sialan, ia menyumpah lagi. Kesepakatan yang malah menjadi bumerang untuknya.

"Ario Bayu," Diaz menggeram mengucapkan nama itu, "tadinya aku tak mau tahu urusan kalian setelah perceraian kita, tapi sekarang, pria itu sudah mencoba mengusikku dan semua itu karena perbuatanmu."

Kinan mengerutkan keningnya, "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Diaz? Apa dia mengancammu?"

Wajah Diaz semakin menegang.

Kinan menyeringai, "Jangan bilang kau takut dengan ancamannya."

"Tidak," Diaz menggeleng, "Aku tidak takut dengan ancamannya, kecuali jika itu menyangkut Senja."

Seketika wajah Kinan berubah datar. Diaz akan berubah menjadi pria paling mengerikan jika menyangkut tentang Senja. Mata dan hati pria itu sudah dibutakan oleh seorang Senja, dan berdiri diantara Diaz dan Ario bukan hanya sekedar mimpi buruk.

"Kita akan mengurus perceraian dan setelah itu aku akan mengantarmu pada..."

"Kau akan menukarku dengan Senja?" raung Kinan tak percaya.

Diaz mengangguk,"Baguslah kalau kau cepat mengerti."

"Kau memang brengsek, Diaz."

"Ya, dan sepertinya kau sudah lebih dari cukup menyesali keputusanmu atas kesepakatan yang kau tawarkan padaku. Jadi, kau ingin ikut denganku secara sukarela, atau aku menyeretmu dan tak peduli kau mengenakan alas kaki atau telanjang sekalipun. Selagi aku masih memiliki sedikit kesabaran."

****

'Suami sialan!' Kinan mengumpat saat Diaz mencengkeram lengan dan membawanya masuk ke dalam mobil. Diaz benar-benar tak main-main dengan ancaman yang diucapkan, pria itu menyeret dan memaksa dirinya keluar dari kamar mandi tanpa sempat mengenakan alas kaki. Hanya karena ia terlalu lama di dalam sana dan memikirkan cara untuk melarikan diri.

"Aku akan menandatangani surat perceraian kita sekarang juga, tapi tolong jangan serahkan aku pada Ario, Diaz." Kinan masih berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman Diaz yang mulai terasa menyakitkan.

"Itu lebih baik." Diaz memberikan isyarat pada sopir untuk segera melaju, "Semakin cepat kita bercerai, akan semakin baik."

"Kehidupanku akan berakhir jika Ario sampai menikahiku, apa itu yang kau inginkan?"

"Itu akan setimpal dengan apa yang selama ini kau lakukan pada keluargaku."

Kinan menjerit frustasi. Keputusasaan yang selama ini menderanya seakan masih belum cukup menyiksa dirinya. "Jangan menimpakan semua kesalahan dan penderitaan yang kau alami padaku. Kau juga ikut andil untuk semua masalah memuakkan ini!"

"Aku sudah menerimanya dengan lapang dada," desis Diaz tajam. Ya, semua penderitaan dan rasa bersalah yang terus menghantuinya sejak kematian Adam, setiap luka yang tertoreh dan menghancurkannya dari dalam karena tetesan air mata Senja, ia akan menerima semua kesakitan itu dengan lapang dada. Setidaknya Senja ada di sisinya, setidaknya ia sudah memenuhi permintaan terakhir Adam. Atau belum, ingatnya dengan keadaan Senja saat ini. "Tapi yang membuat Senja dalam bahaya saat ini, murni adalah karena kesalahanmu."

"Kau bahkan tidak akan ragu-ragu untuk menukarkan nyawaku untuk Senja, kau benar-benar dibutakan oleh cinta tololmu, Diaz."

Diaz mengangguk enggan, "Jika saja kau menggunakan kecerdasanmu itu sebelum meniduri Ario."

"Ya, aku memang tidak pernah menggunakan kecerdasanku, itulah sebabnya aku meniduri Ario. Karena ketololanku yang terlalu mencintai Adamlah, tanpa pikir panjang aku merayu pria brengsek itu, apa kau tahu itu?"

"Apa kau tidak bisa mengatasi kehilanganmu, sehingga kau meniduri pria itu untuk melupakan Adam?" cemooh Diaz. "Kau benar-benar menyedihkan, Kinan."

"Aku mencintai Adam, aku juga akan memberikan dan melakukan apa pun untuk Adam. Tidak peduli jika semua orang menganggapku menyedihkan, termasuk dirimu. Sepengalamanku, kalian juga tak peduli padaku."

Diaz terdiam. Ekspresi dan getaran dalam setiap kata yang diucapkan Kinan penuh dengan keseriusan, membuat Diaz terpaku dan menarik perhatiannya. Entah kenapa, ia ingin mendengarkan lanjutan kalimat Kinan. Yang sepertinya masih cukup panjang.

"Saudaramu meninggal dan kau bahkan tak pernah tahu apa yang membuatnya terbunuh? Atau siapa?" Kinan mendengkus.

"Kaulah yang membuatnya terbunuh," tuduh Diaz.

"Tuduhan itu hanya menunjukkan betapa tolol dan bodohnya dirimu, Diaz." Kinan menyeringai dengan sombong. "Apa kau punya bukti? Apa kau pernah menyelidiki penyebab kecelakaan itu? Atau kau bahkan pernah menyuruh seseorang untuk melakukannya?"

Diaz tercekat. Ia merasakan tamparan tak kasat mata yang sangat keras di pipinya. Tangan itu tak nyata, tapi rasa sakit yng muncul di dada benar adanya. Ia tak punya bukti, ia tak pernah menyelidiki kecelakaan Adam dan Kinan, dan ia bahkan tak menyuruh seseorang untuk melakukan itu. Diaz menyimpan jawaban itu untuk dirinya sendiri, tahu bahwa Kinan lebih mengetahui semua itu daripada dirinya.

"Kaulah yang menyedihkan, Diaz." Kinan menarik tangannya dari genggaman Diaz. Pria itu masih cukup terpukul dengan kata-katanya dan hanya menatapnya dengan ekspresi tolol. Ya, seharusnya memang begitu. Semua orang terlalu sibuk dengan kehilangan mereka. Kedua mertuanya, Senja dan Diaz. Tidak ada seorang pun yang ingin turun tangan untuk mengorek luka lama dan menyelidiki kecelakaan Adam. Semua sibuk memikirkan dan tenggelam dalam luka hati masing-masing.

"Aku benar-benar menyayangkan Adam yang begitu polos dan mempercayai Nina. Apa kau juga tahu wanita seperti apa Nina sebenarnya? Ia bahkan lebih mengerikan daripada yang kau kira, Diaz. Dan semua itu karena dirimu."

"Tuduhan yang aneh untuk orang licik sepertimu, Kinan."

"Atau kau yang terlalu takut pada akhir ceritaku?"

"Tutup mulutmu!" hardik Diaz.

"Kenapa?" Dagu Kinan terangkat, menantang amarah yang ditujukan Diaz padanya. Amat sangat puas dengan ekspresi terpukul yang sempat terlintas di wajah Diaz. "Apa kau terlalu takut menghadapi kebenaran yang ada di depan kita? Kau tidak mampu menerima apa yang terjadi, itulah masalahmu, yang membuatmu selalu dihantui perasaan bersalah. Kenyataan adalah sesuatu yang harus kau hadapi, Diaz. Itulah yang kulakukan."

"Kubilang tutup mulutmu, Kinan!"

"Kenyataan bahwa Ninalah yang membunuh Adam. Itulah yang tidak bisa kau hadapi, Diaz. Karena Nina mencintaimu, Nina ingin melenyapkanku, tapi bukan aku yang mati, melainkan Adam. Saudaramu."

"Kau tidak tahu apa pun tentang Nina!" teriak Diaz.

Kinan terkekeh. Menertawakan amarah Diaz dengan senyumnya yang licik dan penuh kepuasan. "Memang, yang kutahu, Ninalah pembunuh Adam, dan aku tahu kau tak akan berani menghadapi semua itu. Sahabatmu membunuh saudaramu. Dan semua ini karena dirimu. Kaulah yang telah membunuh Adam, karena dirimulah Adam terbunuh!"

Diaz tak bisa menguasai amarahnya, tangannya terangkat dan mencengkeram wajah Kinan dengan keras. Membuat wanita itu terpekik dan terdorong di sandaran jok. Panas yang membara terasa menerjang naik ke puncak kepalanya. Membutakan pandangan matanya. "Itu tidak mungkin, kaulah yang membunuh Adam."

Tawa mengerikan Kinan semakin menjadi. Kepuasan Kinan berlipat ganda melihat Diaz yang semakin tidak bisa menguasai dirinya. Lalu mata Kinan melirik sebuah bekas luka di pergelangan tangan Diaz yang kini sudah bertengger di lehernya, membuat ia sedikit sulit untuk bernafas. "Jika kau saja tidak mampu menghadapi kehilanganmu, bagaimana kau bisa menghadapi kenyataan tentang betapa menyedihkannya dirimu, Diaz?"

"Kaulah penyebab semua petaka ini!" Cengkeraman jemari Diaz di leher Kinan semakin mengetat.

"Ya, akulah penyebab semua petaka ini, tapi setidaknya aku tidak bersikap seperti pengecut dan mencoba mengakhiri hidupku dengan memotong pergelangan tanganku!" teriak Kinan tak kalah kencangnya. Kata-katanya cukup mengena pada Diaz, wajah pria itu seakan tidak bisa lebih pucat dan lebih terpukul lagi. Dengan kedua tangannya, ia mendorong tubuh Diaz menjauh dan tersungkur di pintu mobil.

Nafas Diaz tersengal, ingatan-ingatan yang bergulung di kepala membuat jantungnya diremas oleh tangan tak kasat mata. Meremasnya dengan perlahan, seolah sengaja diperuntukkan menyiksa dirinya.

"Aku akan menandatangani surat perceraian itu dan menikah dengan Ario. Aku akan menerima semua itu, sebagai hal terakhir yang bisa kuberikan untuk Adam, dan sebagai pengingat betapa menyedihkannya dirimu."

***

Rasa pusing yang menyambut ketika Senja berusaha menggerakkan kelopak matanya yang terasa berat. Wangi pinus yang merebak terasa asing di hidung Senja. Membuat perut Senja sedikit mual. Ya, kehamilannya kali ini terasa lebih sensitif daripada sebelumnya. Sedikit bau yang aneh selalu memancing perutnya untuk bergolak.

Kolam renang, tertidur di apartemen orang tuanya, menelfon sopir, Aidan, lalu Ario. Urutan kejadian itu menerjang ingatan Senja dengan kecepatan maksimum. Mata Senja terbuka dengan sempurna bersamaan ingatan yang semakin jelas tergambar di otaknya. Jantung Senja berdebar dengan kuat saat pertanyaan muncul di kepalanya, dimana ia berada saat ini?

Senja belum sempat mencari jawaban dari pertanyaan itu ketika pintu yang ada di ujung ruangan terbuka. Wajahnya berubah pucat melihat siapa yang berjalan masuk. Ketakutan yang menyeruak membuat Senja mengabaikan mual yang menggelitik perut dan pusing di kepalanya. Senja beringsut bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang. Matanya tak lepas mengamati Ario yang kini melangkah mendekat ke arah ranjang. Dengan senyum yang melengkung di bibir. Pria itu sepertinya memang terlalu murah senyum.

"Anda sudah bangun, Nyonya Farick?" Ario meletakkan sebuah gaun berwarna putih yang indah di ujung kasur.

Mata Senja beralih pada gaun yang diletakkan Ario. Dengan panjang selutut tanpa tali dan tanpa lengan. Hiasan bunga yang memenuhi bagian atas gaun itu membuat gaun putih itu terkesan elegan dan glamour. Namun dengan rok yang mengembang dan terbuat dari kain transparan yang bertumpuk-tumpuk, Senja tahu itu bukanlah gaun biasa. Itu adalah gaun pengantin.

"Bagaimana pendapat Anda dengan gaun ini?" Ario menatap bergantian gaun putih itu dan Senja. "Pengurus saya bisa menggantinya jika Anda tidak menyukainya. Mungkin kita bisa menemukan beberapa yang sesuai dengan selera Anda."

"Di mana ini, Ario?"

"Di kamar saya," jawab Ario ringan.

Senja berjuang menahan rasa mual mendengar jawaban Ario. Rasa pusing kembali menyerang saat benaknya bertanya tentang tujuan Ario membiarkan dirinya berbaring di kamar pribadi pria itu.

"Apa yang kau inginkan, Ario?" tanya Senja hampir menangis. "kenapa kau lakukan ini padaku?"

"Kenapa?" Ario mengerutkan kening, tampak memikirkan jawaban yang akan ia berikan untuk Senja. Dengan senyum yang semakin lebar, matanya menjelajahi tubuh Senja yang tertutup selimut. Penuh nafsu yang sama sekali tidak berusaha ia tutupi. "Karena ... kecantikan Anda begitu memikat, Nyonya Farick. Anda telah berhasil memenangkan hati saya."

Senja membelalak tak percaya. Tenggorokannya tercekat karena terlalu terkejut dengan jawaban Ario. Pria itu telah meniduri Kinan, dan bahkan Kinan sedang mengandung anak Ario, tapi dengan bangganya Ario melemparkan kata-kata bualan itu kepadanya. Apakah ada pria sebrengsek ini di muka bumi?

Mendadak mual Senja menjadi tak tertahankan, wanita itu segera menoleh mencari pintu kamar mandi. Begitu matanya menangkap pintu berwarna putih di dekat ranjang, ia segera turun dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi. Memuntahkan cairan pahit dengan keras.

Ario berlari masuk dan Senja menggeleng dengan lemas. Tangannya terangkat agar pria itu menjauh, "Pergi!" usir Senja. Namun tak indahkan oleh Ario. Pria itu membungkuk di belakang Senja dan mengusap punggung Senja.

Senja terduduk di lantai dan bernafas dengan keras. Diaz sering mengusap punggungnya ketika serangan morning sickness datang, kemudian pria itu akan menyodorkan teh hangat untuk meredakan mual tersebut. Teh hangat yang selalu siap di kamarnya setiap pagi. Ingatan itu membuat Senja mendorong tubuh Ario menjauh. Usapan Ario di punggungnya membuat mualnya semakin parah. Sekali lagi ia membungkuk dan memuntahkan cairan pahit. Menandakan bahwa tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan di dalam perutnya.

"Apa Anda baik-baik saja?"

"Aku ingin pulang!" teriak Senja hampir kehabisan nafas. Tubuhnya jatuh terlunglai di lantai. Sudut matanya mulai basah oleh air mata. Dalam hati memanggil-manggil nama Diaz penuh keputus-asaan. Ia benar-benar membutuhkan Diaz. Memohon agar pria itu datang menyelamatkannya.

Ario berdiri dari simpuhnya. Menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Mengangkat bahunya sebelum menjawab, "Sayangnya keputusan itu tergantung dengan tuan Farick."

Senja mendongak, menatap Ario yang berdiri menjulang di hadapannya dengan kening berkerut. Suaranya begitu lirih saat ia bertanya, "Apa maksudmu?"

"Jika dalam dua puluh empat jam tuan Farick belum menjemput Anda ...." Ario melirik ke pintu kamar mandi yang terbuka. Pandangannya tertuju ke arah tempat gaun pengantin yang tergeletak di kasur. "... Andalah yang akan mengenakan gaun itu menggantikan Kinan. Saya rasa ukuran baju Anda dengan Kinan juga tidak akan berbeda jauh."

"Kau benar-benar sudah gila, Ario!" Senja setengah berteriak. Suaranya semakin serak menahan tangisannya.

Ario mengangkat bahu, masih dengan sikap tenang yang membungkus rapi semua kegilaannya. Kekejaman pria itu benar-benar tersembunyi di balik senyum manisnya. "Satu-satunya hal yang saya khawatirkan saat ini adalah emosi Anda nyonya Farick. Emosi Anda bisa mempengaruhi bayi dalam kandungan Anda. Meskipun saya juga tidak keberatan dengan hal itu, jika sesuatu yang serius terjadi dan membahayakan Farick junior. Kita bisa memiliki Little Bayu setelahnya."

***

Thursday, 24 January 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top