Part 3
Another Way to Love
###
Part 3
###
Karena memang lapak Diaz-Senja dan Ario-Kinan bersinggungan, jadi hari ini saya posting dua part untuk mengulang kejadian terakhir di lapak 'Teasr Like Today'
###
Suara erangan pelan terdengar dari pojok ruangan itu membuat Dash menoleh. Segera ia menghampiri ranjang kecil di sudut kamarnya yang kecil dan membantu Kinan duduk.
"Pelan-pelan." Dash membenarkan letak bantal sebagai sandaran Kinan di kepala ranjang.
Kinan mengernyit, pandangannya menyapu seluruh ruangan yang sempit hanya dalam hitungan detik. "Di mana aku?"
"Kau di kamarku," jawab Dash. Duduk di sisi kasur sambil menyodorkan segelas air putih untuk Kinan. "Apa kau masih merasa pusing?"
"Sedikit," jawab Kinan saat ingatannya kembali berputar apa yang membuat kepalanya begitu pusing dan memberinya rasa sakit di punggung bagian atas. "Bagaimana kau menemukanku?"
Dash mengangkat bahu ringan. "Mungkin keberuntungan. Kau harus berterima kasih pada dompet yang kautinggalkan di meja bar. Jika terlambat sedikit saja, mungkin aku akan menemukan mayatmu."
Mata Kinan membelalak. Nina benar-benar berniat membunuhnya. Seharusnya Kinan tak merasa heran, Nina memang semenakutkan itu. Kinan mengambil satu tegukan kecil dari gelas hanya untuk membasahi tenggorokan. "Apa kau mengenal pria yang ingin membunuhku?"
Dash menggeleng. "Sepertinya bukan orang daerah sini. Mungkin." Dash mengangkat bahunya lagi. "Entahlah, aku tidak tahu."
Kinan berdecak, "Jawaban macam apa itu?"
"Cukup sulit melihat wajah seseorang di tempat dengan pencahayaan minim seperti itu. Pria itu lari begitu mendengar suara langkahku."
"Nina?"
Dash menggeleng. Ia memang tak melihat siapa pun selain pria itu ketika mencoba mencari Kinan.
Drrttt ... ddrrrtttt ....
Kinan dan Dash menoleh, melihat ponsel milik Kinan yang tergeletak di meja kecil di samping ranjang bergetar.
"Mama?" Kinan mnegernyit kecil dan langsung menggeser tombol hijau.
"Apa kau dan Diaz akan bercerai?!"
Kinan menjauhkan ponselnya dari telinga ketika suara nyaring dan dingin mamanya menerjang pendengarannya. Membuat rasa pusing di kepalanya kembali muncul. "Siapa yang mengatakan pada Mama?"
"Jadi benar?"
"Tidak." Kinan menggeleng.
"Jangan coba-coba berbohong pada Mama, Kinan! Kau tahu tidak ada yang bisa kausemmbunyikan dari Mama."
Kinan menghela napas letih. "Kami tidak akan ...."
"Kenapa Diaz sampai berniat menceraikanmu?! Bukankah kau sedang hamil? Anaknya?"
Mata Kinan terpejam. Entah sampai kapan ia akan terus menutupi kebohongan dengan kebohongan yang lebih besar.
"Apa kau melakukan sesuatu yang membuat Diaz menceraikanmu? Sudah cukup gosip tentang pernikahan kedua suamimu membuat Mama malu memikirkan betapa tidak becusnya dirimu menjaga rumah tangga. Lalu, perceraian? Apa tidak cukup rasa malu yang kaulemparkan ke wajah kami?"
"Ma?"
"Apa kau berselingkuh dengan pria lain? Jika seorang suami sampai menceraikanmu saat kau sedang hamil, sudah tentu masalah yang kautimbulkan bukan masalah sepeleh."
"Apa Mama menelfonku hanya ingin mengatakan itu?!"
"Tidak! Kau tahu kakakmu baru saja dipromosikan menjadi Direktur. Dengan banyak skandal, apa pun yang menyangkut namanya akan fatal. Apa hanya ini yang bisa kaulakukan kepada keluargamu? Merusak semua rencana Mama dan mencoreng nama keluargamu?"
"Ma, kami tidak akan bercerai. Apa Mama tidak memercayai, Kinan?"
"Seharusnya Mama tidak pernah berharap banyak dengan perubahan yang kau janjikan setelah kau menikah dengan seorang Farick."
"Kali ini Ki ...." Suara panggilan yang terputus membuat Kinan mendesah dengan keras dan membanting ponsel di kasur.
"Mamamu sedang marah, sudah tentu mulutnya bekerja lebih cepat dari pikirannya."
Kinan memutar kepalanya menghadap Dash, matanya memicing mengamati ketenangan yang ditunjukkan pria itu atas komentar yang diucapkan tentang orang tuanya. "Orang tuaku benar-benar akan mengusirku dari rumah jika aku bercerai dengan suamiku."
"Bukankah kau tinggal dengan suamimu?"
"Sampai kesepakatan kita selesai. Yang jelas tidak dalam waktu dekat." Kinan menyingkap selimut dan turun dari kasur. "Aku harus pulang. Di mana tasku?"
****
"Aku tidak sudi menikah dengannya, Diaz. Pria itu hanya tidak mau suatu hari nanti anaknya datang dan menuntut dirinya. Menurutmu apa yang harus kulakukan? Lebih baik menanamkan pikiran bahwa anakku tidak punya ayah sepertinya, atau mengatakan bahwa ayahnya sudah mati."
"Setidaknya anakmu akan punya ayah dan status pernikahan kalian. Kau hanya perlu menurutinya sebagai istri yang baik, setelah anak kalian lahir kau bisa menceraikannya."
Kinan mendengkus, "Istri? Pria seperti Ario? Yang tak tahan hanya dengan satu wanita saja, dia pasti akan merasa bosan jika harus melihatku setiap hari di rumahnya. Lalu, status pernikahan macam apa yang akan kuberikan pada anakku?"
"Orang dengan dunia gelap seperti dia. Dan lagi, kau pikir apa yang akan dilakukan kedua orang tuaku jika tahu kita bercerai lalu aku menikah dengan Ario. Sudah pasti mereka akan melupakan pernah punya anak sepertiku."
"Lalu apa yang kauinginkan?!" teriak Diaz mulai terpancing oleh amarah, "Pria itu menelfonku dan memintaku untuk menemuinya."
Kinan terkesiap, rasa sesak tiba-tiba memenuhi dadanya. "Apa?!"
"Aku tak mau lagi ikut campur dengan kekacauan yang kau bawa, Kinan. Jadi sebaiknya kau segera menghadapinya sendirian."
"Apa kau memberitahunya kalau anak ini adalah anaknya?" Kinan menatap marah pada Diaz.
Diaz mendengkus, "Jika dia tidak tahu janinmu bukanlah anak kalian, kau pikir untuk apa dia sampai harus menelfon dan memintaku menemuinya?"
Untuk sesaat Kinan benar-benar berhenti bernafas. Ario tidak boleh tahu kalau anak ini adalah anak pria itu.
"Pengacaraku akan mengurus perceraian kita, sebaiknya kau tak mengulurnya."
"Aku tidak mau bercerai, Diaz!"
"Coba saja," tantang Diaz, "Kita bisa lihat, apa bukti perselingkuhanmu masih bisa mempertahankan pernikahan ini di persidangan."
Kinan menggeram, matanya menusuk punggung Diaz yang bergerak menjauh menuju pintu.
"Sialan kau, Diaz!" Kinan menyumpah. Melemparkan semua kosmetik miliknya di meja rias ke lantai demi meluapkan amarah yang membara.
"Aku akan membuatmu membayar semua ini, Diaz."
****
"Silahkan masuk, Nyonya Farick." Ario melongok dari dalam mobil dengan wajah penuh senyum yang ramah, tapi entah kenapa senyum itu malah membuat bulu di tengkuk Senja merinding. Seolah mengingatkan pada bahaya yang akan datang.
Senja sempat meragu sebelum menerima ajakan tersebut. Lalu, ia melihat pria berjas dengan ekspresi datar mengangguk mengisyaratkan dirinya untuk segera masuk ke dalam.
"Saya hanya ingin bicara dengan anda, Nyonya Farick. Tidak akan lama," Ario membujuk melihat keraguan yang tersirat begitu jelas di wajah Senja.
"Lima menit? Apa itu cukup?" Senja bertanya. Sepertinya semakin cepat semakin baik.
"Mungkin," Ario mengangkat bahunya, dengan senyum yang tak juga lepas dari wajah, 'lebih ....' Lanjutnya dalam hati. 'aku punya banyak waktu untuk dihabiskan denganmu, Nyonya Farick.'
Senja membungkuk dan mengangkat kaki untuk masuk ke dalam mobil. Lalu, saat ia sudah terduduk, firasat buruk yang sejak pria berjas itu mengatakan tentang Ario terbukti. Pintu di sampingnya tertutup, menyusul pria berjas hitam mengambil tempat duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobil.
Senja menoleh pada Ario saat mobil mulai melaju, "Bukankah kita hanya ingin bicara?"
Ario mengangguk, "Tapi bukan di sini."
Senja menatap mata Ario yang bersinar licik, seketika ia menyadari bahwa dirinya terkunci dan terperangkap didalam mobil ini tanpa perlu mencoba membuka pintu mobil.
"Di sini bukan tempat yang tepat untuk menghabiskan setiap menit yang masih tersisa dengan sebaik mungkin, Nyonya Farick. Saya benar-benar ingin menikmati waktu kita berdua. Hingga di detik terakhir."
****
Thursday, 24 January 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top