Let's Moving on, Senpai!

Chapter 14| I will still be your good boy, Mom, Dad!


Zedd kunyuk. Oke. Fix. Aku benci Zedd.

He didn't even discuss this serious matter with me. I am his twin brother, for God's sake! Zedd bener-bener keterlaluan! Dia bilang dulu, waktu aku lihat dia nyembunyiin bokep gay di folder tugas biologinya pas kami SMP—lalu kami saling ngaku kalo lebih suka lihat dick daripada tits-- we will be coming out as gay together. I thought we will be gay-brother like together forever. Dasar pengkhianat. Oh Zedd. Look at his face. His strained and cold face. I hate to see that face, stop itu, Zedd!

Aku nggak tau apa yang terjadi sama Zedd, mungkin dia habis kesamber petir lalu otaknya yang kecil itu terbelah jadi dua, i don't know. Otaknya yang udah seupil Selena Gomez itu terbelah dua, bayangin aja hal bego apa yang bisa dia lakuin dengan otak se-mini itu. So suddenly dia ngomong, 'Mom, Dad aku gay' like it was saying, 'Mom, Dad aku habis pipis di celana.' Zedd nggak punya perasaan sama sekali. Dia bikin Mommy nangis dan Dad shock setengah hidup. How can he be so meanie?

Aku coba kejar dia waktu dia lari dari rumah. Aku panggil-panggil namanya, tapi dia nggak mau denger aku. Gitu itu kalo bar-bar punya big issue like being gay. Nggak pake otak karena memang ngga punya otak. Oh Zedd. I hate you. No. I actually care about him, he's my brother bagaimanapun juga. Meski aku selalu wish God mau menarik keputusannya buat jadiin kami sodara kembar tiap kali aku doa makan, tapi everytime aku open mata aku—Zedd is giving me his tounge across the table— terpaksa aku harus menerima kenyataan kalo dia memang brother aku. Ain't just brother, we're twin.

Masalah aku udah banyak, ya? Jerome homophobic, aku udah nyakitin Liam—padahal aku doki-doki sama dia—oh forget Liam for now-- dan kapas pembersih muka aku habis. Aku baru aja mau berdamai sama Zedd, sebab aku mau minta diantar ke Alfamidi.

Look at what he's done now. Aku nggak bisa bersihin muka aku malam ini gara-gara tingkah konyolnya dia. Memangnya, apa sih masalahnya kalo coming out-nya nanti-nanti aja? Nanti gitu kalo kami udah kuliah atau udah bisa cari duit sendiri? Memangnya dia mau ditanyain apa sama Mommy di usia kami yang baru delapan belas, hm? We still can say 'nanti Mom kalo Doraemon jadi manusia' atau ' nanti Mom kalo lebaran bencong' atau anything tanpa bikin Mommy mengernyit curiga kalo tiba-tiba Mom nanyain mana cewe kami.

Maksud aku, we're young. Masih ada banyak waktu untuk ngebahagiain orangtua dengan tingkah lucu kami berdua. Why Zedd giving such heart attack ke Mom and Dad di saat-saat mereka lagi seneng-senengnya memanjakan kami? Ada saatnya kok nanti untuk Mom dan Dad sadar bahwa pilihan hidup itu di tangan kami. Later, Zedd. Not now.

"Adek..." panggil Mom, aku lagi ngelangkah balik kembali ke ruang keluarga. Mom meluk aku, Dad masih duduk di atas sofa dengan tatapan kosong. It was like waktu Om Robi meninggal aku ngeliat Dad dengan ekspresi seperti itu.

Aku elus punggung Mommy dan ngajak Mom duduk. Aku duduk di antara Dad dan Mom.

"Adek kan deket banget sama Kakak..." kata Mommy. Thank God she is cewe sekuat baja, Mom kelihatan lebih bisa menguasai keadaan dibanding Dad, "Is it true? Apa Kakak beneran gay? Dia paling lagi marah aja, kan? Kakak kamu kan gitu kalo ngambek, suka ngomong seenak dia sendiri. Memangnya ada kepengenan Kakak yang ngga Mom dan Dad kasih sampe Kakak ngomong ngaco gitu? Dek. Please. Say something."

Kalo aku bilang, 'yes, Mom. Zedd lagi kesamber petir dewa Zeus. Dia nggak gay kok, dia cuma membual'—it means i betray my brother. No. Aku nggak boleh gitu. Zedd pasti punya alasan dia sendiri.

"Memangnya, kalo Zedd gay, Mommy nggak sayang Zedd lagi?" tanya aku. Pelan.

Dad tiba-tiba cengkeram bahu aku, dia udah sadar rupanya. "Ini bukan soal sayang atau nggak, Variant! Kalo Zedd aja gay, lalu kamu—"

"Henry! Stop it!"

Aku cemberut, "Aku apa? Aku banci? Hm? Daddy mau ngomong gitu, kan? Aku sama Zedd nggak minta jadi gay kok—" Eh! Kuda jalang mulut aku. Aku tampar kamu, mulut jahanam. Aku kan nggak berniat coming out sekalian.

Dad melenguh lelah, Mom juga. Eh wait. Kenapa mereka nggak marah kaya waktu Zedd spit out the fact just now? Don't tell me! Aku nengok ke Mom, dia lemes. Nengok ke Dad juga, sama lemesnya. Why don't they fight my coming out-ness, hm?

"We have prepared kalo Adek yang gay," Mom sentuh tangan kiri aku lembut.

"Adek nggak berpikir kalo Mom dan Dad nggak tahu, kan?" Dad sentuh tangan aku yang kanan.

"But why? It's not fair!" –denial aku, "Kenapa kalo Zedd kalian kaget, sementara aku enggak?" Aku marah.

Memangnya aku kelihatan gay apa? Aku kan cuma feminin dikit, suka berlebihan dalam merawat diri aku, memangnya apa yang bikin Dad dan Mom prepared kalo-kalo aku gay? Aku nggak ngondek ya, for Purrine's sake! Pantat aku memang suka muter aja dikit kalo jalan, tapi tangan aku kan nggak ngelambai. Aku selalu masukin jari-jari aku ke dalam saku celana kalo jalan. Di dalam saku memang suka nggak tahan gerak-gerak kalo aku ngomong, tapi aku nggak ngondek! Nggak.

"Dek..." Dad ngusap kepala aku dengan sayang, "Adek tuh dari kecil kemana-mana maunya pake rok. Kalo main selalu pulangnya nangis dan kakak babak belur belain adek. Kalo adek nangis, adek selalu nangisin diri adek sendiri, sementara Kakak selalu sibuk bilang dia pukulin temen-temen kalian karena mereka ngatain adek... well... banci. Adek minta les balet—nggak mau nyampur bareng balerina cowo—maunya pake tutu, adek pake short pants ketat di dalam rumah-bukan boxer, adek nangis waktu nggak diterima jadi flyer di klub cheers, adek nonton Sailormoon, main tongkat ibu peri—"

"Itu tongkat prism power make up, Dad! Bukan tongkat ibu peri!" potong aku.

"Henry... please." Sela Mommy, "Say it nicely, sayang..."

Apa itu maksudnya, hm?

"Kalo itu adek yang coming out, well... Mom dan Dad udah persiapin diri. Kami sayang kalian, whatever you guys become, we will still love you."

"Jadi why kalian marah waktu Zedd jelek bilang dia gay? It's not fair! Not fair for Zedd!" Aku berdiri. Aku mau marah kaya di film-film--kaya Zedd yang udah bertingkah seperti anak durhaka di film drama—huh! Dia bilang aku yang tukang drama? You yang banci, Zedd! Kamu juga drama-- tapi Dad ngasih aku tatapan 'Sit down, right now!'-nya, aku jadi ngelesot ke lantai kaya Bi Nila. Mom nepuk-nepuk space di samping dia dan Dad, jadi aku duduk di antara mereka lagi. "It's not fair, Mom" Aku peluk Mom dan mulai nangis.

"Because it's Zedd..." Dad berkata lemah, "Kami selalu punya harapan besar ke Zedd. Look at him. How can he be gay? Dia latihan tinju, cewe mana yang nggak suka sama dia? Dia memang bodoh soal pelajaran, tapi Dad sama Mom ngga pernah jadi orang tua yang peduli soal itu. He is our hero, dia pelindung kamu dan Ella. Kami selalu berharap dia jadi manusia paling normal di antara kalian bertiga..."

"Jadi buat Daddy being gay itu nggak normal?!" Aku udah berurai air mata lagi, mata aku udah sakit, hati aku sakit, sekarang tambah parah. Aku terlalu muda untuk menghadapi semua ini. Ya Tuhan, aku masih anak-anak dan hati aku itu rapuh kaya kelopak bunga mawar. It says: jangan remas aku, sayangi aku-gitu. Sekarang semua orang kayanya jahat banget pengen injak-injak hati aku.

"Of course itu nggak normal!" Dad ngacak rambutnya dengan frustasi. Oh Daddy. Aku pengen peluk dia. Kasihan Daddy aku. Ini reaksi yang sebenernya udah aku dan Zedd prediksi. All of our life, maybe, all of my life, yang pasti, aku menempa diri aku bahwa suatu hari nanti kami akan ngehadapin semua ini. Yang nggak kuat aku hadapin justru karena Mom dan Dad udah duluan prepare kalo aku gay. Meh!

"Yang normal itu cowo sama cewe, adek. Menikah, punya anak, just like your parents. Our parents. Gay itu ya... nggak normal!"

"Well face it, Dad! Dad bilang ke Zedd nggak ada yang jadi gay di rumah kita—sekarang dia minggat kaya Marshanda-- tapi Dad sama Mom bisa terima kalo aku gay? Kenapa ke Zedd enggak? Itu nggak adil. Gimana perasaan Zedd kalo dia tahu? Well... Zedd mungkin nggak ngerti, since dia nggak punya what-so-called perasaan! But he is my brother." Aku terisak-isak berengan sama Mom. Mungkin sekarang dia seneng karena kami jadi drama kaya drakor yang suka Mom liat tanpa ngedip sejam penuh-- "He is my brother. Aku benci perasaan aku ini. Zedd mungkin ngga sayang sama aku sama sekali, tapi aku sayang sama Zedd. Aku tahu kalian sayang sama Zedd juga. Please don't ever tell Zedd i've told you this."

"Tell Zedd apaan, dek?" bisik Mommy.

"About aku sayang dia-lah. Aku masih kesel dia jahatin aku sama Purrine. After all he's done to Purr—" dasar mulut jahanam! Aku tampar dua kali mulut jahanam aku.

"Memangnya Zedd ngapain Purrine? Adek bilang dia jatuh ke bath tub?" Dad ikut-ikutan.

"Well Zedd siram Purrine dan tendang aku karena kami berantem. Berantemnya kenapa, aku nggak mau bilang. My lips are sealed. Don't push me buat bilang kalo Zedd marah karena Liam sayang sama aku—" tampar tiga kali sekarang.

"Liam juga gaaaay???" Mom dan Dad mau mati like right now.

"Liam nggak gay! Dia cuma sayang sama aku. dia nggak gay, dia cuma straight curious kurang kerjaan. Aku nggak akan sayang balik ke Liam, believe me. Aku nggak akan jadi gay yang pacaran sama straight!"—Aku harus pertimbangin buat jahit mulut aku. "Well what i am trying to say is kalian harus adil sama Zedd. Atau aku akan minggat juga sekarang!"

"Adek mau minggat kemana malam-malam gini? Naik apa? Taksi? Emang adek berani?"

Nggak berani.

"Adek mau pake koper yang mana kalo minggat, barang bawaan adek kan banyak banget. Waktu kita liburan ke tempat Grandpop aja, koper serumah isinya barang adek semua."

Well i can't help it! Aku kan harus bawa boneka aku, bantal keropi aku, alat make up, baju bobo, baju pergi, baju jalan, baju santai, baju hangat, baju mau ke toilet, baju mau ke mall, baju mau ngelamun—Oke, minggat is not my cup of tea.

"Pokoknya aku ngga mau tau! Mom dan Dad harus make it up sama Zedd! If you could accept me, you have to accept him too! Good night!"

Aku tinggalin mereka berdua ke atas—aku mampir kamar Zedd yang pintunya dia biarin terbuka sebentar dan aku ngedesah capek. Where is he now? I sent him text, dia nggak bales. Aku telpon dia, dia nggak angkat. Zedd butuh waktu, itu maksudnya. Dia selalu butuh waktu, dia tolol soalnya.

Aku buka aplikasi facebook di handphone aku, berharap Spankme Senpai lagi online. Dia online. Aku mau update status aja, nggak tau juga mau ngomong apa kalo personal chat.

Tetsuhiro Morinaga

Feel so empty. Feel so sad. Can't sleep karena kapas pembersih muka abis. Why is it so hard to be gay?—feeling confused.

Kirim.

Annisa Jamalenda

Why why Kohai baby? Talk to senpai.

Tetsuhiro Morinaga

Well... Senpai maybe udah tidur. Kamu kayanya nggak pernah tidur, mbak?

Annisa Jamalenda

Aku lagi download bokep gay. Ini bagus kata temen aku. Uke nya lucu kaya anak kucing, di spank spank sama dom nya dan disuruh ngeong-ngeong. Kamu mau aku bagi link downloadnya? It will cure your sad kokoro for sure.

Hikari Atsuko

No. No. Kenapa sedih? Nggak boleh sedih. Botty cantik nggak pantes sedih-sedih. Sayang itu fondation nanti meleleh.

Tetsuhiro Morinaga

@Annisa Jamalenda Maybe next time. Thanks tho.

@Hikari Atsuko Aku nggak pake fondation, kak. Ini udah malem, mau bersihin muka aja.

Aku cek inbox message, nggak ada pesan dari Spankme Senpai. Dia maybe udah tidur, aku cek aplikasi lain dan aku ngeliat Jerome habis upload foto di instagram. Dia senyum lebar banget, ganteng. Aku ketuk foto dia dua kali, pake akun instagram aku: Variantganteng. Ini instagram real life. Aku refresh. Foto yang tadi aku like udah hilang. Aku buka akun Jerome, tapi nggak ketemu. Dia block akun aku.

Fuck you. I don't care anymore!

Tulut! Ouch ada notifikasi inbox messanger.

Spankme Senpai

Belum bobo, baby? Udah malem lho ini. Bobo gih.

Aku senyum senang. Kenapa kalo dia chat aku, hati aku senang?

Tetsuhiro Morinaga

Ada masalah di keluarga aku. Gebetan aku juga jahat, dia benci aku katanya. Dia homophobic sialan. Dia bilang dia jijik sama aku. Fak. Fak. Fak. Like duck's sound.

Spankme Senpai

LOL. It's kwak kwak kwak, sayang. Sabar atuh, kalo marah-marah nanti cakepnya ilang. Senyum dulu-lah.

Palingan dia sebenernya cinta sama lo, tapi dia takut ngakuin rasa sayangnya dia ke lo. You know. Sekarang ini banyak homo denial.

Tetsuhiro Morinaga

Well thanks buat hiburannya, but i won't accept that. Dia straight. Damn straight. Naksir homo? Yeah rite! Not gonna happen. Aku udah tired. Cape. Aku mau move on aja dari dia.

Spankme Senpai

Oke. Itu bagus juga. Guess what? Gimana kalo kita ketemuan aja? Gue suka lo, lo-nya mau move on juga, kan? Siapa tahu kita bisa saling move on?

Suka? Gampang banget sih orang ini suka aku? Aku memang adorable sampai orang baca tulisan aku aja sampe suka—yah gimana ya aura memang terbaca sih. Aku juga happy kalo ngobrol sama orang ini, tapi suka? I don't know. Gimana kalo dia jelek dan tukang paksa? Oh. Aku tahu. Aku ajak Zedd aja, kalo dia macem-macem biar mampus dipukulin Zedd. Eh nggak bisa. Zedd sama aku kan lagi marahan, aku udah bilang aku nggak butuh bantuan dia lagi.

Lagipula... kenapa aku jadi mikirin Liam?

Kenapa aku mikirin Liam? Aku nggak mikirin dia. Aku nggak mikirin muka dia yang ganteng itu. Aku nggak mikirin ciuman dia yang lembut, aku nggak mikirin love confession dia yang merdu kaya dengerin suara John Mayer—suara dia waktu bilang dia sayang aku itu masih terus dansa-dansa di telinga aku. Aduh Liam. Kenapa harus kamu? Semua ini bikin aku bingung, aku nggak mau making the same mistake, Liam. Cowo straight itu cuma akan nyakitin hati aku, kaya Jerome. Liam juga nanti akan sakitin hati aku kalo dia udah puas eksploitasi pantat aku. Aku yakin.

Aku harus get a grip.

Tetsuhiro Morinaga

Okay. Let's meet up, senpai! Tell me how and when!

***

Hari ini buruk banget di kelas. Aku ngga bisa konsen belajar, aku bahkan nggak bisa mecahin soal dengan penggunaan rumus integral dasar di papan tulis yang biasanya bisa aku kerjain sambil cabutin bulu alis. Ibu Margareth shock berat. Dia tanya aku salah minum atau makan apa tadi pagi, aku cuma putar bola mata cantik. Aku cuekin Tiara yang berceloteh bakal bentuk team detektif buat buktiin Jerome itu sebenernya gay denial. Aku nggak peduliin tingkah Jerome yang menyebalkan.

Apalagi, waktu aku beresin buku-buku buat buru-buru pulang karena Dokter Sayekti bilang Purrine udah bisa dijemput, ada sms masuk ke handphone aku. Nomernya belum pernah aku save. Aku makin lesu aja.

Sender: +6281234124545

Temuin gue di belakang perpus. Gue mau ngomong. Gue tunggu sampe lo datang.

Liam.

Maaf, Liam. Tapi aku nggak bisa temuin kamu sekarang. Kokoro aku sedang lelah. Kalo aku temuin kamu sekarang, aku pasti aku nggak bisa tolak kamu. Kamu itu racun, liam. Bukan. Kamu itu penyakit menular. Happy face kamu, senyuman kamu, cara kamu yang casual kasih perilaku sayang kamu ke aku itu bisa bikin aku ketularan sayang kamu. No. No. Big No.

First, again and again kamu itu straight. Dua. Kamu temen Zedd. Aku nggak mau hubungan aku sama Zedd makin buruk. Dia udah minggat dari rumah, mungkin habis ini dia pindah ke Tiongkok jadi nelayan atau mengasingkan diri dan gabung sama gerombolan bajing loncat lintas sumatera--ngga balik-balik lagi. Aku nggak mau kenangan terakhir tentang aku buat Zedd adalah twin brother yang udah kacau-in hubungan persahabatan dia dengan kamu.

Di depan pintu, aku ngga sengaja nabrak badan Jerome yang justru mau balik masuk ke kelas. Aku jatuh manis kaya bawang putih habis didorong sama bawang merah. Muka Jerome bingung sebentar lalu ngernyit kesel kaya lagi lihat cacing tanah gelantungan di depan muka dia. Aku bangkit dan melengos. "Biasa aja dong!" bentak aku. Aku muak ditatap dengan tatapan kaya gitu. "Memangnya aku najis sampe muka kamu harus berkerut kaya gitu? Minggir. Aku mau lewat!"

Jerome bengong. Whatever. See. Look at my but, eat the reality! You will never gonna touch my pantat! Huh! Kamu yang rugi, Jerome! Not me! Itu yang Ella bilang kalo ada orang yang sakitin hati kita. Mereka yang rugi udah ngelepasin gadis—cowo—cantik—ehm, ganteng—kaya kita.

"Langsung ke Bu Sayekti ya, Pak Budi," kata aku sopan.

"Oke non!"

"Pak!!" jerit aku sebel.

"Oke Mas Ian gantengggg..."

Nyebelin. Pak Budi suka godain aku gitu, tapi dia baik. Pak Budi anaknya ada enam. Iya. Itu asalnya bayi semua, nggak ada yang kucing atau anjing. Kalo aku kan anak aku satu, Purrine. Tapi Purrine itu asalnya kitten bukan bayi, so aku nggak lahirin Purrine dari lubang titit aku, ya? Paham?

Pak Budi nggak terlalu deket sama Zedd, sebab Zedd nggak suka antar jemput naik mobil. Kalo nyetirin aku gini, kami suka cerita-cerita. Pak Budi pasti langsung tahu kalo aku sedih. Sayangnya, dia sok-sok punya indera keenam. Dia ngga pernah nanya aku sedih kenapa, tau-tau aja dia bilang gini, misalnya, "Mas Ian, jadi anak SMU itu harus ceria. Jangan suka cemberut. Masalah anak SMU itu palingan juga masalah cewe, ngapain mas Ian pusing? Mendingan Mas Ian konsentrasi belajar aja, konsentrasi banggain Mami sama Dedi. Nanti ada masanya kok Mas Ian ketemu cewe yang pas buat Mas Ian. Sekarang mah nggak usah dipikirin!"

Aku bilang makasih, tapi aku juga bilang aku ngantuk minta dibangunin kalo udah sampe tempat dokter aja. Aku lagi males dengerin curhatan Pak Budi soal kisah cintanya semasa SMU. Dia kan highschool sweetheart gitu sama istrinya. Dia suka curhat sama aku, soalnya aku suka pura-pura dengerin. Nggak kaya Zedd yang meh meh! Dengerin Pak Budi curhat. Pernah Zedd suatu kali nebeng berangkat sekolah, sampe rumah dia suruh Dad pecat Pak Budi. Katanya Pak Budi itu kalo nyupir suka kesurupan.

Pas nyampe di tempat bu dokter, aku udah sleepy head gitu. Jalan aku doyong kaya dewa mabok. Muka aku kejedot pintu yang dibuka dari dalam sama seseorang, "Eh! Sorry. Sorry!" kata cowo itu.

Dia masih pake seragam SMU dan dia Anjas. Huh.

"Ngapain kamu disini?" kata aku sewot.

Anjas nggak langsung jawab, dia malah neliti handphone di tangannya. Nggak sopan banget.

"Gue lagi jemput Singh-Singh" jawabnya.

"Siapa itu Singh-Singh?"

"Ini!" dia narik tali di tangannya yang nggak lagi megang handphone. Di bawah kakinya aku denger bunyi ngikkkkkk lalu seekor pomeranian nyalak kaya bencong marah-marah ke Anjas. "Eh Sorry Singh! Iye, tar gue ganti talinya sama yang lebih panjang, bawel!"

Aku histeris. "Ini punya kamuuuuuuu?"—aku suka anjing. Lebih suka kucing, tapi always love anjing juga. Pomeranian Anjas ramah banget, dia nggak nyalak ke aku. Dia langsung naik ke badan aku yang jongkok ke dia dan jilatin muka aku. Aku ketawa-ketawa geli.

"Kok dia langsung mau sih sama lo?" protes Anjas. Dia ikutan jongkok kaya aku.

"Soalnya aku tuh baik. Anjing kan bisa baca hati orang. Kata orang, don't believe in people who doesn't like dog, but believe in dog when they don't like certain people. Aku tuh jenis orang yang akan selalu disukai anjing, tauk! Siapa tadi namanya? Umurnya berapa? Hai hai... aku Variant ganteng. Panggil aja Ian."

"Namanya Singh-Singh. Dikasih tetangga gue, Gerry namanya. Gerry itu orang India, jadi aku kasih dia nama Singh-Singh!"

"Namanya aneh. Sesuai sama yang punya, tapi anjingnya lucu nggak sama kaya yang punya!"

Anjas merengut.

"Ya udah! Dadah Singh-Singh! Aku mau jemput kucing aku juga. Namanya Purrine. Kamu ketemu dia nggak di dalem?"

"Mana gue tau! Emangnya gue bisa ngomong sama binatang sampe tau di dalem ada kucing namanya Purrine?"

"Oh. You stupid." Aku putar bola mata, sambil aku berdiri. "Kan ada name tag nya di depan kandang, bego!"

"Nih." Anjas ikutan berdiri sambil nyodorin handphone yang dari tadi dia liatin terus. Aku ngernyit ke dia dan dia bales puter bola mata. Dia pikir dia bisa puter bola mata cantik kaya aku apa? Dia malah kaya orang kejang-kejang. "Ini punya lo, Variant siapa? Variant ganteng? Pffffftttt! Barusan waktu muka lo kejedot pintu, gue tangkap sebelum jatoh. Ambil nih."

Ih sial!!!!

Aku kan lagi ngobrol sama Spankme Senpai! Aku rebut handphone aku. Yah yah kaaaan... Masih kebuka ke chat facebook aku dan Spankme Senpai. Dasar tukang ngintip! Aku julurin lidah aku ke punggung Anjas yang ngejauh. Sebelum aku masuk ke dalem klinik, dari kaca pintu aku bisa ngeliat Anjas berhenti jalan dan nengok ke belakang.

Nengok ke arah aku.

Ih. Apaan deh!


A/N

Ih saya mah kebanyakan nulis BXB yah?

Tiga ongoing cerita semuanya tema gay, bikin saya dipanggil bang, mas, om dan panggilan jantan semua. Seriously, kalaupun saya mas2, saya itu pasti botty cantik. Secantik kuku saya yang kemaren siang habis saya menicure. Masa dipanggil abang, sihhhh?

Saya lagi kesel banget kemaren siang sama someone, jadi saya pergi ke salon dan bikin kuku saya cantik. pas bayar, saya kembali sedih karena french menicure di salon itu habis seratus lima puluh ribu. Dua tahun lalu waktu saya kesana sama the bitches, cuma tujuh puluh lima ribu

Fuck-lah ya. Mana habis itu saya makan nasi padang, kelupaan pake tangan sebentar dan misuh2 karena hampir aja saya bikin seratus lima puluh ribu itu kuning2 kena bumbu nasi padang. So saya makannya pake sendok sama garpu, meh! mana enak!

Huhuhuhu...

Oh setelah Variant ini kelar, kurang tiga part lagi, saya mau kembali nulis straight love story. Saya nggak mau pilih kasih sama followers.

Oke, vote dan komen yang banyak, yes?

Maaf kalo tulisan saya banyak kekurangannya, nggak sebagus punya rendi. Saya nyadar kok, saya cuma penulis iseng yang nulis gay theme story. 

Kemaren ada yang ngatain saya gitu. Hihihi.

But nggak apa-apa. Saya terima dengan lapang dada. I enjoy making gay theme story, i support gay people, i support love love love in whatever forms. I love you, all, too...

Eh, kecuali inses. Hihihi... nggak dulu deh :-p


Enjoy my sweat and heartbeat

-kincirmainan_




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top