Boys Don't Cry: Chapter 2. 1

"Jerome?" sebut aku masih terkesima. Sebelum aku sempat memikirkan apakah ekspresi kaget aku cukup mengesankan atau nggak, Jerome sudah berjalan cepat ke arah aku. Aku terperanjat saat lengannya memaksa aku masuk ke dalam pelukkannya. Oh. Jerome. Sudah lama sekali aku nggak mencium aroma tubuhnya yang memabukkan ini.

Lama itu maksud aku bukan lima tahun yang lalu, ya? Aroma tubuh Jerome lima tahun lalu belum seperti ini. Aroma tubuh Jerome yang kini berusia 23 tahun seakan mengungkap sebuah proses panjang menuju kedewasaan dirinya—kaya aroma tubuh aku aja gimana. Aku merasakan ledakan rindu yang luar biasa dari Jerome, yang membuat aku membalas pelukannya tanpa aku sadari.

Jerome pernah satu kali mengetuk pintu apartemen aku satu tahun lalu di penghujung pendidikan kami di NUS. Aku nggak pernah mengungkap rahasia ini kepada siapapun. Tidak juga kepada Zedd. Apalagi Liam. Waktu itu tengah malam di pertengahan bulan Desember. Begitu aku membukakan pintu, Jerome hanya diam membeku. Tiga detik kemudian dia memeluk aku persis seperti ini. Kepalanya dia letakkan dalam-dalam di leher aku. Dia menangis tersedu. Saat aku bertanya kenapa, kepalanya hanya menggeleng berulang kali, memohon agar aku membiarkannya beberapa saat seperti itu.

Malam itu aku tahu, Jerome masih cinta aku seperti dulu. Nggak ada yang berubah. Masih di leher aku, malam itu Jerome berbisik, "Aku sayang kamu. Aku cinta kamu." Sereda tangisannya, aku hanya terpaku membiarkannya setengah berlari meninggalkan aku. Beberapa hari kemudian, aku mendengar Jerome meninggalkan tugas akhirnya dan bekerja di Jepang.

Hari ini, aku merasakan kembali pelukan itu dan tubuh aku bergetar hebat. Aku terguncang karena sekali lagi, serupa tengah malam di pertengahan bulan Desember itu, aku menyadari bahwa aku sudah mengoyak satu hati yang tidak memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri. Kalau tadi aku meyakinkan Edd bahwa dia pasti akan mampu melalui patah hati seberat apapun, aku mengatakan itu karena aku nggak mau Edd mengalami apa yang dialami oleh Jerome. Jangankan Jerome sendiri, hati aku tengah malam itu pun, ikut tercabik.

"Kamu ngapain di sini, Stevan?" tanya aku. Aku tatap wajah Jerome yang kini hanya berjarak beberapa inchi saja dari ujung hidung aku yang mancung. Tangan Jerome masih menyentuh kedua sisi lengan aku dan mengelusnya dengan gerakan lambat. Oh manik mata Jerome menatap langsung ke mata aku. Aku mengerjap untuk mengusirnya.

Jerome mungkin merasakan betapa kikuknya sikap aku, oleh sebab itu matanya yang indah bernaung bulu mata lebat menggemaskan ikut mengerjap, "Oh, aku nganter Si Moma periksa..." dia bilang. Agak terbata.

Aku tersenyum malu seperti Ariel saat bertemu Eric pertama kali. Aku cubit manja lengan Jerome, "Kamu nakal, Stevan. Masa Mama kamu diperiksain di dokter hewan!"

"Oh bukan. Moma itu Siberian Husky punya adekku, Sara. Moma habis melahirkan dua minggu yang lalu, jadi aku bawa kesini buat disuntik, Ian."

"Oh yah?" Aku nggak terlalu tertarik sama anjing, sebenarnya. Edd yang suka husky. Dulu, waktu Mommy kasih aku Purrine, Edd ngambek minta Husky. Kata Mommy "No, kak. Kamu urus diri kamu sendiri aja nggak becus! Rapiin seprai aja nggak bisa." Lalu Edd bilang gini, "Memangnya harus ya aku ngurus hidup Husky? Kata siapa Husky harus tidur pake seprai? Husky bisa tidur di lantai, Mom!" Makin nggak akan pernah ada Husky dalam hidup Edd. Fu fu fu. Sokor!

"Mau lihat puppy-nya Moma?" Tanpa menunggu jawaban aku, Jerome mendudukkan pantatnya di kursi tunggu dan memberi aku isyarat mata supaya aku ikut duduk di sampingnya. Aku duduk. Menantinya mengutak-atik layar ponsel-nya. "Tunggu ya. Postingannya sudah beberapa hari lalu. Tunggu. Tunggu. Nah ini dia."

Aku menerima ponsel Jerome, aku tatap layar ponsel yang menampilkan beberapa gambar husky puppies yang imut. Oh lucu. Meski aku nggak terlalu suka anjing, aku nggak memalsukan senyuman dan interest aku sama sekali. Anak-anak anjing itu memang so cute. Namun beberapa saat kemudian, fokus mata aku mulai beralih dari gambar lima ekor anak anjing yang menggemaskan. Perhatian aku tertarik ke nama akun facebook Jerome: spankme senpai.

Hanya karena Jerome mengirim ucapan selamat ulang tahun beberapa tahun lalu di dinding aku, Liam mendesak aku meremove akun facebooknya. Aku mengikuti kemauan Liam tanpa banyak membantah. Oh itu permintaan kecil, bukan? Zedd bahkan meninggalkan tinju untuk Kak Ray. Kenapa aku harus menolak menyisihkan orang lain demi hubungan kami? Aku sama sekali nggak menyesal sudah melakukan sesuatu untuk kekasih aku, tapi walaupun begitu, tetap saja aku merasa malu menghadapi Jerome saat ini.

Jerome nggak pernah menanyakan kenapa atau mengundang akun aku kembali untuk menjadi temannya. Dia diam. Seolah dengan diam, ia menunjukkan kesetiaanya dengan janji ingin melihat aku bahagia. Dari Tiara aku tahu, Jerome masih suka bertanya tentang aku. Dia juga yang selalu mengirim rangkaian bunga tanpa nama di tiap hari ulang tahun aku. Petunjuknya jelas. Sehelai bulu ayam.

Aku juga diam menerimanya, tanpa ucapan terimakasih, tanpa apa-apa. Biasanya, aku menyimpan rangkaian bunga itu di vas bunga dan baru membuangnya ke tempat sampah sebelum Liam datang untuk merayakan ulang tahun aku. Di tahun ke tiga aku kuliah di Singapura, Zedd dan Kak Ray datang untuk berlibur—Zedd melihat bunga dan bulu ayam itu tapi diam saja. Aku yakin dia tahu. Esok harinya saat Liam tiba dan aku masih tidur, bunga itu sudah tidak ada di manapun. Zedd membuangnya sebelum Liam sempat melihat.

Setiap datangnya hari ulang tahun aku, aku terus bergelut dengan perasaan bersalah.

"So..." Jerome mengambil kembali ponselnya dari tangan aku, "Kamu ngapain ke sini, Ian? Apa Purrine sakit?"

Oh ya ampun! Aku jadi lupa kan aku kesini untuk melihat keadaan Purrine? Aku berjingkat dari duduk aku, lincah seperti balerina. "Di mana ya bu dokter?" tanya aku gusar. "Purrine tersedak tulang kambing!" beritahu aku. Bu dokter belum nampak juga. Aku kembali duduk ke kursi aku. Lalu aku berdiri lagi. Lalu duduk lagi. Akhirnya aku beneran duduk dan mulai menggigit kuku aku.

"Kok bisa?" Jerome mengelus pundak aku untuk menenangkan aku yang mulai panik.

"Iya. Tadi itu aku lagi mau makan soto babat kambing bikinan Bik Nila buat arisan Mommy nanti malam sama Liam. Tiba-tiba aja Zedd BBM aku. Suruh aku datang karena dia mau bunuh diri. Aku sebenarnya nggak keberatan sih dia mau bunuh diri juga, tapi Liam mendesak aku supaya aku ke sana. Kata Liam, Edd sawns seriyes. Ya udah aku ke tempat Zedd tanpa Liam. Mommy nggak kasih Liam pergi juga soalnya, sebab Liam harus bantuin Mommy pasang MMT selamat datang anggota arisan ibu-ibu bule di rantau bareng Daddy. Udah aku sampai ke tempat Edd sebentar, Liam telpon aku. Nggak tahu gimana kok bisa Purrine tersedak tulang kambing. Aku kan udah bilang sama Liam untuk kasih dia tuna tim aja. Jangan mau kena bujuk manja-manjaannya Purrine..." lanjut aku sambil mendengus keras.

Jerome mengerutkan alisnya yang tebal, "Kesedak tulang kambing?" gumam Jerome. "Itu kan bahaya sekali, Ian. Selaput tenggorokan kucing dan anjing itu kan rawan terluka, jangankan tulang kambing, duri ikan aja bisa bikin mereka..."

"Stop!" seru aku mencegah Jerome melanjutkan kalimatnya.

Bola mata cemerlang aku membeliak tak percaya. Oh. You don't say! Aku juga tahu itu. Aku tahu bahayanya tulang yang tajam buat tenggorokan Purrine. Entah bagaimana awalnya sehingga semua orang berpikir makanan anjing dan kucing adalah tulang belulang. Well, it's true bahwa baik anjing maupun kucing memang suka chewing untuk melatih taring-taring mereka. Namun faktanya adalah it's so freaking dangerous membiarkan mereka melakukan itu terhadap tulang-tulangan. Aku tahu ini langsung dari Dokter Sayekti. Begini kata Dokter, 'Serpihan tulang yang tertelan akan melukai dinding kerongkongan kucing, Mas Ian. Lebih parahnya lagi akan menyedak saluran pernapasan mereka. Membuat kucing sulit bernapas. Kemudian...'—waktu itu Dokter nggak menyelesaikan kalimatnya. Beliau hanya meggerakkan bahu rampingnya dan membuat ekspresi ngeri di wajahnya. Seperti ada yang mati begitu.

"NO!" Aku menggeleng kuat-kuat mengingat penjelasan itu. "Dokter Sayekti itu Dokter yang sangat berpengalaman kok. Iya kan, Jerome? Purrine is gonna be okay. She is gonna be okay," racau aku mulai panik. Suara aku bergetar. Aku merasakan tubuh aku berguncang. Aku dekap kedua lengan aku sendiri untuk meredakannya. Bulu mata aku mulai basah terkena rembesan air mata. Aku mendadak frustrasi. Kenyataan bahwa aku nggak bisa menemukan Purrine di klinik membuat pikiran aku melayang ke mana-mana. Jerome berusaha menenangkan aku. Dia bersimpuh di depan aku yang duduk melengkung menutup wajah ganteng aku. Jerome mengelus kedua lutut aku, membisikkan bahwa Purrine pasti akan baik-baik saja. Tapi aku nggak kunjung tenang juga. Tangis aku makin kencang. Aku takut kehilangan Purrine. Purrine itu sahabat aku. Meski akhir-akhir ini dia menyebalkan karena lebih suka dekat-dekat Edd, dia tetap anak aku yang aku sayang. Aku meraung.

Detik berikutnya, kepala aku sudah terbenam dalam dada Jerome. Seketika tangis aku berhenti. "Jangan nangis, Ian. Purrine nggak apa-apa kok. Ada aku di sini," bisiknya.

Dekapan Jerome baru terlerai seudah tangis aku sepenuhnya reda. Tangannya yang halus mengusap pipi aku pelan. Tanda bahaya. Aku tidak melawan. Aku tetap diam saat Jerome menelengkan wajahnya ke kanan dan mendekat semakin rapat ke wajah aku. Hati aku berontak melawan, tapi tubuh aku nggak mampu bergerak. Aku membiarkan Jerome semakin merapatkan wajahnya hingga hidungku menyentuh sisi hidungnya. Aku dici—

"Mas Ian..."

Ya Tuhan! Apa yang aku lakukan! Aku mendorong bahu Jerome menjauh. Wajah aku panas karena malu. Dokter Sayekti sudah berdiri di depan pintu. Pikiran aku kacau antara memikirkan Purine dan pengkhianatan kejam aku terhadap Liam sayangnya aku. Aku sudah hampir jatuh dalam jurang perselingkuhan! Aku harus melakukan pengakuan dosa bersama Mae yang sekarang menanggalkan hijab! Aku kotor. Aku kejam.

Dengan sigap aku berdiri dan berjalan cepat meninggalkan Jerome yang terjengkang karena dorongan aku. Aku meraih pundak Dokter Sayekti dan mengguncangnya, "Dokter! Mana Purrine? Mana dia? Dia baik-baik aja kan, Dokter?" tanya aku bertubi-tubi. Guncangan aku di bahu Dokter membuat beliau bergerak maju mundur, kaca mata persegi yang bertengger di batang hidung pesek Dokter melorot sampai ke puncak hidungnya.

"Mas Ian tenang dulu... Purrine sudah dibawa pulang sama Mommy Ellen barusan," ujar Bu Dokter sembari mengusap lengan aku. Somehow, aku merasa ada yang nggak beres. Mommy jemput Purrine? Di tengah acara arisan Ibu-Ibu Bule di rantau-nya? Impossible! Kalau Edd jadi bunuh diri aja, aku nggak yakin Mom akan meninggalkan acara agung gegap gempita tersebut demi memenuhi panggilan kepolisian untuk mengenali mayat Edd.

"Gimana keadaan Purrine, Dok??" desak aku. "Purrine nggak apa-apa kan, Dok?"

***

Purrine nggak baik-baik saja.

Sewaktu aku turun dari taksi yang membawa aku pulang, hujan turun rintik-rintik. Aku menggunakan Tadao bag aku untuk melindungi rambut aku supaya bentuknya nggak berubah. Di teras, Bik Nila sudah berdiri menyambut dengan wajah berlinang air mata. Namun, bukannya menyapa, Bik Nila justru membuang wajahnya dari aku dan menempelkan pipi tuanya ke tembok. Persis seperti adegan di channel bioskop Indonesia yang rajin ditontonnya kalau Mommy nggak lagi memonopoli televisi. Karena itu aku memutuskan untuk melewati Bik Nila dan berlari masuk ke rumah begitu saja.

Semua orang ternyata sudah berkumpul di ruang tengah. Manik mata aku menebarkan pandangan nanap ke seluruh penjuru. Ruangan masih berantakan oleh sisa acara yang telah usai. Hanya Edd yang tidak ada di sana. Ada apa ini? Apa yang sudah terjadi? Mungkinkah Edd akhirnya terjun dari balkon apartemennya dan meninggal dunia sehingga semua orang menampilkan penderitaan di raut mereka? Oh Edd! Aku meraup wajah aku sendiri dan jatuh terpuruk.

"EDD!" Teriak aku ngeri. Saudara kembar macam apa aku ini? Bukannya tinggal dan memberi Edd dukungan, aku malah meninggalkannya. Aku sudah membunuh Edd secara nggak langsung! Edd! Kamu nggak boleh mati, Edd! Kamu masih hutang aku tiga seperempat juta buat mengganti kerusakan motor temen kamu yang kamu pakai buat melompat melewati cincin api dua minggu yang lalu! Kamu nggak boleh mati, Edd!!! Kamu masih banyak dosa sama aku! Kamu nggak boleh mati sekarang, bar-bar!

"Yang..." Seseorang menyentuh bahu aku. "Bukan Edd, yang..."

Aku mendongakkan kepala aku untuk Liam. Sayangnya aku itu pasti segera kembali ke rumah aku begitu mendengar berita duka. Prosedur pengisian ATM kan nggak rumit dan nggak menyita banyak waktu. Segera aku meraih leher kokoh Liam dan memeluknya erat. "Liam..." tangis aku meledak. "Edd... Edd putus sama Kak Ray dan bunuh diri. Edd udah nggak ada, Liam. Edd udah ninggalin kita semuaaaa..."

"Yang..." Liam menggosok punggung aku. "Bukan Edd, yang..."

Eh. Aku diam. Aku tarik kepala aku dari kokoh dan lickable-nya leher Liam. Uh. Leher Liam itu lezat. Aku selalu menjilatnya kalau kami sedang bercinta penuh nafsu. "Bukan Edd?" Binar di wajah aku sejurus kemudian kembali dapat aku rasakan. "Lalu... Kenapa semua menangis? Kenapa kamu nangis, ay? Kenapa Mommy dan Daddy juga nangis? Kenapa Ella... Ella memang nggak bisa nangis! Kenapa semua sedih?" tanya aku kebingungan.

"Sayang..." sahut Mommy lembut dan sabar. Daddy memeluk bahunya. "Purrine..."

"Purrine?" Jantung aku mencelos.

"Maafin aku, yang..." Liam berkata lemah. "Aku nggak sengaja letakkin mangkuk soto aku di lantai buat kutinggal pipis. Cuma sebentar, yang. Aku pikir Purrine sedang sibuk dengan tuna tim-nya. Ternyata seudah aku selesai pipis, Purrine sudah... sudah..."

"Tersedak tulang kambing kan, ay?" serobot aku nggak sabar. "Iya. Kamu kan udah cerita bagian itu, ay! Purrine baik-baik aja kan, ya? Kalau udah pulang dari Dokter Sayekti, dia selalu sembuh kok! Kamu tadi langsung bawa dia ke Dokter, kaaaan? Di mana sekarang perawan tua itu, hm? Purrine! Purrine! Sini sama Mommy sayang... Purrine..."

Liam memejamkan matanya seolah menahan pedih. Tangannya menahan bahu aku yang berniat membungkuk ke bawah meja untuk mencari kucing tua nakal itu. Aku akan memarahi Purrine habis-habisan. Aku akan bikin dia bersin dengan satu helai kumisnya sampai dia jengkel. Aku nggak akan kasih dia treat sampai seminggu. Nggak ada Nutriplus Jel selama tiga hari. Hanya akan ada hari-hari penuh siksaan dalam kostum-kostum yang dia benci.

"Purrine sudah nggak ada, yang. Purrine tersedak dan—"

"Dan apa?!" jerit aku nggak mau percaya. Aku berontak dari pelukan Liam. Liam mencoba meraih aku lagi, tapi aku berkelit.

"Maafin aku, yang.... Purrine mati, yang..."

Mati? Purrine aku? Mati?

"Nggak mungkin!" jerit aku.

Berdiri aku jadi limbung. Aku berjalan mundur menjauhi Liam tapi langkah aku terhuyung-huyung nyaris jatuh. Bumi seperti bergoyang di bawah kaki aku. Mata aku pun terasa berat. Pandangan aku mengabur. Sebentar terang, sebentar gelap sebelum aku kehilangan kesadaran. Walaupun begitu, aku sempat melayangkan tamparan keras ke pipi Liam saat ia mengucapkan maaf sekali lagi. Aku sempat menyebutnya pembunuh. Hati aku sempat mengucapkan berbagai kutukan jahat untuknya.

Dalam beberapa menit yang menyakitkan itu, cinta aku kepada Liam selama lima tahun lebih ikut mati bersama Purrine.

AN:

Oh oh ...

udah sampai di sini ajah

Silakan langsung ikutan PO, ya!

Kincirmainan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top