44. Semuanya Ikut Pergi
Saat malam semakin larut, Surya akhirnya kembali ke hotel. Sejujurnya ia enggan untuk kembali tapi ia juga tak mungkin tinggal lebih lama lagi di rumah Tari. Maka saat prosesi pemakaman Andra selesai ia pun ikut pulang bersamaan dengan para pelayat. Namun, Surya tak serta merta kembali ke hotel. Pria itu kembali ke rumah Tari dan berdiam diri di mobil yang terparkir tak jauh dari rumah Tari. Dirga telah ia suruh pulang saat hari masih terang tadi.
Begitu memasuki kamarnya, ia segera bergegas ke kamar mandi. Membersihkan dirinya yang sepanjang hari ini begitu lelah. Bayangan saat Tari meraung menangisi kepergian suaminya benar-benar mengusik hatinya. Ia takut, ia ragu. Ia benar-benar tak yakin bisa mendapatkan Tari lagi.
Meskipun kini wanita itu sudah berstatus janda. Namun, melihat bagaimana Tari merasakan kehilangan yang begitu luar biasa membuat Surya berkecil hati. Ia ragu akankah bisa mendapatkan hati wanita itu lagi.
Dering ponsel terdengar saat ia keluar dari kamar mandi. Sambil mengusap rambutnya yang basah dengan handuk ia segera mendekati meja kerjanya lalu meraih benda persegi itu.
Sang kakek yang menghubunginya. Ia mendesah keras. Pasti bukan kabar baik yang pria itu bawa mengingat ia tadi siang mangkir dari jadwal keberangkatannya ke Jakarta.
Segera diusapnya benda persegi itu lalu menempelkannya di telinga. Siap untuk mendengar apapun yang Kresna katakan dan lima belas menit kemudian panggilan telepon itu berakhir. Menyisakan Surya yang berdiri termenung menatap ponsel ditangannya yang kini berubah gelap.
Kali ini ia benar-benar harus menuruti sang kakek. Kabar perkelahiannya dengan Rihan sudah menyebar. Beberapa petinggi jaringan hotel kakeknya sudah mulai mengkritisi sikap sembrono Surya. Satu hal yang Surya syukuri, video percintaannya dengan Tari masih tak terendus siapa pun kecuali keluarga Tari. Semoga saja semuanya berhenti di sana. Jika tidak, ia khawatir Tari akan semakin terluka. Meskipun ia ingin video itu diketahui keluarga suami Tari, namun ia sama sekali tak ingin video itu tersebar kemana pun.
Mungkin besok atau lusa setelah memastikan keadaan Tari baik-baik saja, Surya akan berangkat ke Jakarta untuk menyelesaikan semuanya.
***
"Bu, makan dulu. Ibu cuma makan tadi pagi." Suara Ratmi mengusik Tari dari lamunannya. Hingga hari semakin larut dan hampir semua keluarga Andra pulang, Tari masih tak bergerak dari tempatnya. Duduk berselonjor di sofa ruang keluarga.
Kedua anaknya telah tidur tiga puluh menit yang lalu setelah Ratmi menidurkan mereka. Kedua mertua Tari masih ada di rumah itu. Hal yang lagi-lagi patut ia syukuri meskipun mereka tak lagi sehangat dulu.
Rasa kehilangan yang ia rasakan datang bertubi-tubi. Setelah kehilangan kehangatan kedua mertuanya, kini ia juga kehilangan suaminya. Entah kehilangan apa lagi yang akan ia dapatkan setelah ini. Ia hanya bisa pasrah. Tak lagi berharap apapun.
"Aku nggak lapar, Mbak. Oh ya, anak-anak tadi sudah makan?" Tari ganti bertanya.
"Sudah, Bu. Tadi diajak Pak Surya makan. Saya juga sempat lupa sampai hampir gelap mereka belum makan."
Tari menolehkan kepalanya. Wanita itu merasa terkejut dengan ucapan asisten rumah tangganya itu.
"Kok Pak Surya?"
"Tadi beliau kan ke sini juga, Bu. Melayat. Terus nggak tahu gimana ceritanya anak-anak sudah sama beliau terus meminta izin untuk membawa anak-anak makan di resto depan."
Tari terdiam tak menanggapi.
"Pak Surya juga datang ke rumah sakit tadi siang, Bu." Ratmi melanjutkan.
"Ke rumah sakit?"
"Iya. Beliau sempat berbicara dengan anak-anak dan juga Mas Rihan."
Tari mendesah. Ia tak tahu jika pria itu ada di rumah sakit. Ia tak memperhatikan sekitarnya. Yang ada dipikirannya hanya Andra. Andra yang akhirnya pergi meninggalkannya.
"Saya siapkan makanannya ya, Bu?" Ratmi kembali pada tujuan awalnya.
"Aku nggak lapar, Mbak."
"Ibu makan tadi pagi. Siang tadi juga tidak makan. Jangan sampai sakit."
Tari tak menyahut. Ia sadar selain dirinya, ada bayi yang juga sedang bertahan hidup dalam perutnya. Bayi yang bahkan Tari tak tahu benih siapa.
"Saya ambilkan ya. Sedikit saja." Ratmi lagi-lagi berusaha memaksa. Ia tahu akhir-akhir ini majikannya itu sedang mempunyai masalah. Kebungkaman orang-orang di rumah ini tak serta merta membuatnya tak tahu apa-apa. Ia tahu ada yang tidak beres pada rumah tangga majikannya itu. Kedatangan pria asing yang entah kenapa membuat wanita itu menduga-duga. Apalagi beberapa waktu lalu ia melihat pria itu berusaha memeluk Tari di ruang tamu.
Hal yang tampak aneh juga dari sikap Rihan yang terlihat terlalu berlebihan sebagai adik ipar. Dan yang terakhir kedua mertua Tari yang tiba-tiba saja terlihat enggan berbicara dengan menantunya itu. Ia tahu kedua pasangan baya itu biasanya tak pernah sekali pun tidak bersikap hangat pada Tari. Namun, entah kenapa dua hari ini sikap mereka berubah dingin.
"Bu." Ratmi mengulangi panggilannya. Berharap mendapatkan respons dari wanita yang terlihat begitu kacau itu.
"Terserah kamu, Mbak." Jawaban pendek Tari seketika membuat Ratmi bergerak cepat menuju dapur. Ia menyiapkan makanan. Semua orang saat ini sedang berduka. Jangan sampai ada yang sakit karena hal itu.
***
Tujuh hari berlalu dengan begitu cepat. Mertua Tari pada akhirnya pulang ke rumah mereka setelah satu minggu mereka berada di rumah Tari. Meskipun hubungan mereka tak begitu baik. Namun, mereka masih memikirkan cucu mereka. Lagi pula pasti akan terlihat aneh jika mereka meninggalkan rumah anak mereka saat bahkan kepergian Andra belum genap tujuh hari.
Tari sudah mencoba berbicara dengan mereka. Namun, lagi-lagi ia tak bisa membuat mereka luluh. Bagaimana bisa luluh jika Tari juga bungkam. Wanita itu masih menutup mulut tentang siapa pria yang bersamanya dalam video itu. Ia juga tak mampu menjawab semua pertanyaan mertuanya. Tari hanya minta maaf tak ada yang lain hingga membuat mertuanya semakin geram.
Rihan juga menutup mulut. Pria itu sepertinya sudah tak mau ikut campur meskipun ia tahu siapa pria yang berusaha Tari sembunyikan. Ia bahkan tak mengatakan apapun saat semua orang menanyakan lebam yang terlihat di wajahnya akibat pukulan Surya. Biarlah, hanya dia saja yang tahu. Tak perlu orang lain mengetahuinya.
"Ibu sering-sering ke sini, Ya." Tari berucap pelan saat wanita itu mengantarkan mertuanya di depan pagar rumah. Rihan telah siap di balik roda kemudi. Sedangkan ayahnya sudah duduk di sebelahnya.
"Ibu masih tak paham dengan jalan pikiranmu, Ri. Jika tak mengingat ada cucu-cucu ibu di sini, ibu tak akan sudi ke sini lagi. Kamu benar-benar menyakiti hati kami. Kami menyayangimu seperti halnya Andra dan Rihan. Namun, ini yang kamu berikan kepada kami. Sekarang Andra sudah tidak ada. Terserah kamu mau melakukan apa. Tapi perlu kamu ingat. Jika kamu sampai menelantarkan cucu-cucu ibu. Kami tak segan-segan membawa mereka bersama kami agar kamu bebas bisa kembali bersama pria itu lagi. Kamu tak perlu sembunyi-sembunyi lagi."
"Ibu, tolong. Bukan itu yang Tari mau. Tari mencintai Mas Andra dan tidak sekali pun berkeinginan mengkhianatinya. Saya tidak berselingkuh. Itu semua bukan keinginan saya." Tari mengiba membela diri. Ia bingung harus mengatakan apa.
"Kamu selalu berputar-putar, Ri. Apa yang kamu katakan tak sesuai dengan sikapmu. Jika kamu masih tak bisa berkata jujur. Maka tak akan ada hubungan yang baik lagi di antara kita," tutup ibu mertua Tari. Wanita itu pun berbalik memasuki mobil. Dan tak lama kemudian mobil itu berlalu dari hadapan tari.
Rasa sesak lagi-lagi menghimpitnya. Ia bingung, apa yang harus ia lakukan? Tak mungkin ia berkata jujur. Ia semakin takut jika sampai ia menjelaskan permasalahannya justru keadaan semakin rumit. Surya bukan orang yang mudah dihadapi. Ia tak ingin lagi berurusan dengan Surya. Mereka semua harus menjauh dari jangkauan Surya. Ia tahu betapa nekadnya Surya jika sudah mempunyai suatu keinginan. Apapun akan ia lakukan demi mendapatkan keinginannya. Dan pria itu sudah membuktikannya dengan meniduri dan mengirimkan video percintaan mereka kepada mertua Tari.
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top