43. Dia pun Akhirnya Pergi (2)

Setelah melalui perdebatan yang cukup alot akhirnya Surya bisa keluar bandara. Pria itu akhirnya membatalkan keberangkatannya bersama sang kakek ke Jakarta. Kresna sudah menyerah. Apapun yang pria tua itu katakan tak lagi mampu mengubah keputusan Surya. Cucu kesayangannya itu tetap membatalkan rencana keberangkatannya demi bisa melihat keadaan Tari.

Kresna hanya mampu mengelus dada. Kini, cucunya sepertinya sudah tak terselamatkan. Semoga saja semuanya masih bisa ia kendalikan. Kecerobohan dan ulah Surya benar-benar membuatnya khawatir. Ia hanya berharap hal-hal buruk tak akan terjadi.

"Kita ke rumah sakit sekarang, Ga!" Surya memberi peruntah pada Dirga yang sedang berkonsentrasi pada jalanan di depannya.

"Suami Ibu Mentari sudah beberapa waktu yang lalu meninggal, Pak. Mungkin saja saat ini jenazah sudah disemayamkan di rumah duka." Ucapan Dirga terdengar masuk akal. Namun Surya tak menyahut.

"Saya akan menghubungi teman saya untuk memastikan hal tersebut," lanjut Dirga. Pria itu kemudian melakukan panggilan saat di depan mereka lampu lalu lintas berwarna merah. Beberapa menit kemudian Dirga menutup panggilan.

"Suami Ibu Mentari masih di rumah sakit. Keluarga masih menyelesaikan administrasi, namun bisa dipastikan tak lama lagi mereka semua akan pulang."

"Kita langsung ke rumah sakit saja. Toh kita juga akan melewati rumah sakit itu sebelum ke rumah Tari. Kalau saat kita tiba di sana ternyata mereka sudah pulang kita akan menyusul ke rumah Tari."

Dirga mengiyakan perintah Surya dan tiga puluh menit kemudian mereka telah tiba di rumah sakit. Pemandangan pertama yang Surya lihat begitu melihat Tari adalah kacau. Wanita itu tampak menunduk dengan bahu yang berguncang. Kedua mertua Tari duduk tak jauh dari Tari. Wajah mereka sembab. Bahkan ibu mertua Tari terlihat sesekali menyeka air matanya. Kedua anak Tari tampak bergelayut pada asisten rumah tangga mereka. Wanita itu sepertinya berusaha menghibur anak-anak Tari agar tak merasakan kehilangan seperti semua orang yang ada di tempat itu.

Surya berjalan mendekat. Anak-anak Tari yang terlebih dahulu ia datangi karena mereka berdiri tak jauh darinya. Tasya yang menyadari kedatangan Surya segera menghambur. Bocah itu seketika memeluk kaki Surya yang akhirnya membuat pria itu berjongkok menumpukan tubuh pada lututnya.

"Om, Katanya Budhe Ratmi, Papaku meninggal." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut bocah berusia lima tahun itu. Surya seketika merasa kehilangan napas. Turut merasakan kehilangan yang gadis kecil itu rasakan.

"Dek! Nggak boleh bicara sama orang asing." Rasya, sang kakak memperingatkan. Bocah berjarak usia dua tahun di atas Tasya itu mendatangi adiknya.

"Ini Om Surya, Mas. Temannya mama sama papa. Yang kemarin-kemarin bawain kue sama donat." Tasya membela. Senyuman seketika tercetak di bibir Surya.

Mendengar jawaban adiknya Rasya seketika tersenyum kikuk. "Maaf, Om. Aku nggak tahu."

"Nggak apa-apa."

"Om, Papa kalau meninggal nggak bisa pulang ya? Padahal papa sudah lama nggak pulang-pulang. Tasya nggak bisa main lagi sama papa." Tasya kembali berucap dengan wajah sendu namun terselip kebingungan di sana.

"Mama dari tadi nangis. Kakek, nenek, Om Rihan juga. Aku juga tadi ikut nangis sama Kak Rasya. Tapi katanya Budhe Ratmi kita nggak boleh nangis. Biar papa nggak sedih." Surya segera memeluk gadis kecil itu. Pria itu mengangkat tubuh Tasya dalan gendongannya. Sedangkan tangannya yang bebas meraih Rasya, membawa anak itu untuk duduk di kursi tunggu tak jauh dari mereka berdiri.

Surya mulai membuka mulut. Mengajak kedua anak Tari untuk berbicara. Memberi mereka penjelasan yang mudah dimengerti tentang ayah mereka juga berusaha menghibur mereka. Terbesit rasa malu pada dirinya sendiri. Beberapa waktu lalu ia dengan mudahnya mengatakan kepada Tari akan membesarkan anak-anaknya jika kelak mereka bersama. Namun kini, melihat kesedihan di wajah mereka ia merasa rendah diri. Akankah ia mampu memberikan kebahagiaan kepada dua bocah ini? Tak ada yang bisa menandingi rasa cinta juga kasih sayang seorang ayah kandung yang selalu mendampingi mereka semenjak mereka lahir ke dunia.

"Kenapa kamu ada di sini!? Dasar tak tahu malu. Pergilah! Aku tak ingin ada keributan. Hormati keluarga kami yang sedang berduka."

Surya seketika mendongak begitu kalimat bernada mengusir itu ia dengar. Di hadapannya, Rihan tampak berdiri dengan wajah tidak sukanya. Raut sedih juga terlihat di sana.

"Maaf. Aku ke sini berniat baik. Aku turut berbela sungkawa atas kepergian Pak Andra."

"Tidak usah sok peduli dan berbasa-basi. Pergilah. Jangan tampakkan wajahmu lagi di depan kami! Tasya, Rasya. Ayo sini." Rihan mengulurkan tangannya agar kedua keponakannya mengikutinya. Kedua bocah itu terlihat kebingungan. Tasya yang berada dalam pangkuan Surya terlihat mencari persetujuan sang kakak. Dan saat Rasya mengangguk pelan di samping Surya, gadis kecil itu dengan terpaksa turun dari pangkuan Surya dan mendatangi pamannya.

Beberapa menit kemudian ayah mertua Tari memanggil mereka. Memberitahu jika mereka sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Mobil jenazah yang membawa Andra sudah siap berangkat.

Pria baya itu sempat memandang Surya sekilas. Surya berjalan mendekati pria itu lalu menjabat tangannya. Mengucapkan rasa bela sungkawa yang sedalam-dalamnya yang mendapat respons baik dari pria itu. Sejenak Surya lega. Ia yakin pria baya ini masih belum tahu jika dirinyalah dibalik pengiriman videonya bersama Tari. Pria itu juga tampaknya tak tahu jika dirinya adalah orang yang sama yang ada dalam video itu. Hal yang patut Surya syukuri. Sepertinya Rihan dan Tari tak memberikan informasi apapun tentang video itu kepada pria ini.

Suasana haru seketika menyelimuti rumah Tari begitu jenazah Andra tiba. Beberapa kerabat juga tetangga dan juga rekan kerja Tari dan Andra tampak berkumpul. Surya hanya bisa melihat dari kejauhan. Ia cukup tahu diri untuk tak masuk terlalu dalam di keluarga yang sedang berduka itu.

Tari terlihat dua kali pingsan yang membuat suasana semakin suram. Sedangkan anak-anak Tari akhirnya luput dari perhatian karena semua orang sibuk membuat Tari sadar dan mengurus jenazah Andra. Kedua bocah itu keluar rumah dan akhirnya menemukan Surya yang sedang duduk di halaman yang telah beralaskan tikar bersama orang-orang yang datang melayat. Kedua bocah itu seketika duduk di pangkuan Surya. Tasya masih terlihat kebingungan sedangkan sang kakak sepertinya sudah tahu situasi yang sedang mereka alami.

"Om, aku lapar." Tasya seketika berucap setelah duduk di pangkuan Surya.

"Tadi Budhe Ratmi sibuk di dalam. Jadi aku nggak berani bilang." Kini ganti Rasya yang berucap mewakili adiknya.

"Kalian belum makan siang?" tanya Surya pada kedua bocah itu.

Keduanya kompak menggeleng.

"Kita makan sekarang mau?"

Keduanya menganggukkan kepala. Surya menarik napas lega. Ia menggerakkan kepalanya. Mencari seseorang untuk ia tinggali pesan. Saat sosok Ratmi ia lihat berjalan entah membawa apa ditangannya, iapun menghampiri wanita itu. Mengatakan jika ia akan mengajak kedua anak Tari untuk makan.

Sejenak wanita berpikir. Saat ini ia begitu sibuk membantu menyiapkan segala hal. Ia juga masih tak sempat mengurus anak-anak majikannya. Dengan terpaksa ia mengiyakan dan meminta Surya agar tidak membawa kedua anak itu terlalu lama karena sebentar lagi jenazah Andra akan dimakamkan.

Akhirnya Surya pun mengiyakan. Pria itu membawa kedua anak Tari untuk makan di sebuah resto makanan cepat saji sederhana yang berjarak tak lebih dari seratus meter dari rumah Tari.

Tasya terlihat lahap menikmati makanannya sedangkan Rasya sebaliknya. Surya harus memaksa bocah itu untuk menelan makanannya. Surya tahu, kesedihan yang anak Tari rasakan saat ini. Anak itu sudah cukup besar untuk paham dengan situasi yang terjadi di sekitarnya. Berbeda halnya dengam sang adik, Tasya. Bocah itu sepertinya masih belum begitu paham jika seseorang yamg meninggal tak akan bisa kembali lagi.

Setelah mengenyangkan perut kedua bocah itu, Surya juga menyempatkan diri untuk mampir ke mini market yang bersebelahan dengan resto. Pria itu membeli makanan ringan dan minuman agar bisa dinikmati kedua bocah itu saat kembali ke rumah.

Begitu ia kembali ke rumah Tari. Hiruk pikuk semakin terasa. Beberapa saat kemudian setelah Rasya dan Tasya memasuki rumah, jenazah Andrapun diberangkatkan untuk dimakamkan. Lagi-lagi Tari meraung, menjerit dan akhirnya tak sadarkan diri. Membuat Surya yang melihat dari kejauhan seketika merasakan pilu. Sedih merasakan wanita yang dicintainya begitu terpukul saat kehilangam suaminya. Teriris saat mengetahui betapa besar rasa cinta wanita itu pada suaminya yang tak mungkin akan bisa kembali bertemu.

Ia membatin. Akankan ia bisa mendapatkan rasa cinta yang demikian besar seperti yang Tari berikan pada suaminya itu?

###
Tinggal dua bab lagi yg dipublish di wp ya friends. Versi lengkap bisa intip karya karsa, playstore, dan KBM.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top