4. Penyelamatan di Awal

Banyak banget nih ngiklannya. 😆😆 teman2 pecinta ebook mari yuk meluncur ke playstore. Ada Upgrade, Kejar Tenggat, Serpihan Rindu, Juni & Isi Dompetmu, The Pursuit of Perfection, Another, Sunshine juga Siap, Pak!

###

"Mas, kalau misalnya aku merealisasikan rencana yang dulu sempat tertunda gimana?" Tari melontarkan pertanyaan pada suaminya yang saat ini sedang duduk menghadap televisi. Tayangan pertandingan sepak bola sedang berlangsung disana.

"Rencana yang mana, Ma?" Pria itu balik bertanya dengan jari jemarinya menyisir rambut tari yang berbaring di pangkuannya.

Begitulah kebiasaan mereka hampir setiap malam. Setelah kedua buah hati mereka, Rasya dan Tasya terlelap mereka akan memanfaatkan waktu sebelum beranjak tidur untuk sekadar berbagi cerita sambil menonton televisi. Terkadang mereka hanya sekadar berbincang di sofa teras belakang rumah sambil menatap bintang juga saling berbagi pelukan.

Hal yang selalu menjadi favorit mereka sejak delapan tahun lalu saat mereka menikah hingga memiliki dua orang buah hati yang begitu menggemaskan.

Sempurna. Begitulah Tari menyebut kehidupannya. Ia menikah dengan pria yang dicintai dan mencintainya. Penerimaan keluarga suaminya juga benar-benar luar biasa. Mereka sudah menganggapnya layaknya anak mereka sendiri.

Hal yang benar-benar Tari syukuri karena ia hanyalah gadis yatim piatu. Sedari masih di sekolah dasar ia sudah tak merasakan kasih sayang seorang ibu. Ayahnya yang membesarkannya sendirian. Pria baik hati itu bahkan tak menikah lagi begitu ibu Tari meninggal. Fokus hidupnya hanya untuk anak semata wayangnya.

Dua tahun setelah duduk di bangku kuliah, cobaan kembali menghampiri Tari. Sang ayah meninggal mendadak saat pria itu bekerja di kantor pemerintah setempat.

Beberapa rekan kerja ayah Tari mengatakan pria itu tak mengeluh apapun. Bahkan pria itu masih sempat bercanda dengan rekan-rekan kerjanya hingga akhirnya tiba-tiba saja ia merosot dari kursi kerjanya lalu tak sadarkan diri dan saat dibawa ke rumah sakit, pria itu dinyatakan sudah meninggal.

"Resign," jawab Tari singkat. Namun seketika mampu menghentikan gerakan tangan Andra, yang mengusap rambutnya.

"Kamu ada masalah? Coba cerita dulu sama aku, Ma. Kok kamu tiba-tiba saja ambil keputusan. Dari kemarin-kemarin kita sudah nggak pernah bahas masalah itu kan? Lagi pula Tasya juga sudah besar. Sudah sekolah jadi kamu tidak terlalu sibuk untuk mengurus mereka." Benar yang Andra katakan. Dulu Tari memang sempat berkeinginan mengundurkan diri dari pekerjaannya karena kehadiran Tasya. Anak ke duanya yang saat ini berusia lima tahun. Ia takut tak mampu membagi waktu antara kantor juga mengurusi kedua buah hatinya yang berjarak usia dua tahun.

Namun keberuntungan berada dipihaknya, sang mertua, orang tua Andra bersedia membantu. Pasangan baya itu sering kali menginap di rumah mereka. Orang tua Andra membantu mengawasi cucu-cucu mereka. Sebenarnya saat itu Andra dan Tari sudah menyewa jasa seorang pengasuh anak. Seorang asisten rumah tangga juga sudah bekerja sedari Rasya, sang kakak lahir di rumah itu. Namun karena kekhawatiran sang anak tidak terurus dengan baik maka mereka dengan senang hati menerima bantuan kedua orang tua Andra hingga kedua anak itu memasuki masa sekolah.

"Nggak ada sih, Mas. Aku cuma agak emm... Gimana ya. Aku merasa sedikit tak nyaman dengan situasi kantor saat ini. Suasananya sudah berbeda." Tari begitu berhati-hati saat melontarkan kalimatnya. Ia masih begitu ingat kejadian tadi siang di hotel tempat ia bekerja. Ia khawatir efek kedatangan Surya akan berbuntut panjang. Anggap saja Tari terlalu percaya diri jika Surya akan kembali mengejarnya. Namun, setidaknya lebih baik ia mengantisipasi, bukan?

"Kenapa, General managernya mengerikan ya? Baru hari pertama kok kamu sudah patah semangat." Andra melabuhkan kecupan di bibir sang istri sebelum kembali mengusap rambut Tari. Kali ini pikirannya sudah teralih sepenuhnya pada topik yang istrinya bahas. Pertandingan bola di depan sana tiba-tiba terasa tak menarik lagi.

Tari menahan napas. Tebakan suaminya benar-benar tepat mengenai sasaran. Namun, ia tak mungkin menceritakan alasan sebenarnya kan. Tak mungkin ia mengatakan bahwa pria itu sudah memeluknya, bukan? Tidak mungkin juga ia menyampaikan kekhawatirannya yang belum tentu akan terjadi. Ia masih cukup waras untuk tidak menyakiti hati sang suami. Cara inilah akhirnya ia tempuh. Ia mengatasi sendiri masalah yang ia hadapi tanpa membuat suaminya khawatir.

"Aku nggak nyaman dengan cara kerjanya, Mas. Kayaknya aku nggak bakalan sanggup deh. Makanya aku minta pendapat Mas agar bisa kasih aku solusi."

Terdengar helaan napas berat, "Benar hanya karena masalah itu saja kamu ingin resign? Tidak ada masalah lainnya kan? Atau juga ada suatu kecurangan di hotel yang tiba-tiba kamu ketahui jadi akhirnya kamu memilih mundur?"

Tari menggeleng pelan. Ia memang pernah mengalami hal yang disebutkan suaminya beberapa tahun lalu. Ada kecurangan di divisinya hingga ia pun turut merasakan getahnya.

"Cuma itu aja, Mas. Entahlah, perasaanku tidak nyaman. Aku tak ingin terjadi sesuatu yang tidak aku inginkan." Tari berusaha berkata jujur meskipun alasannya masih terdengar tidak masuk akal. Untung saja Andra yang selalu paham apa yang ia rasakan segera menyetujui permintaannya.

"Jika hal itu yang kamu mau, maka lakukan. Aku yakin kamu pasti tahu mana yang terbaik. Tapi kamu harus janji untuk mengatakan alasan sebenarnya. Asal kamu tahu, Sayang. Apapun yang kamu lakukan. Aku akan selalu mempercayaimu. Apapun yang kamu lakukan selalu mempertimbangkan perasaanku di setiap keputusan yang kamu ambil. Kita akan menghadapi ini semua bersama. Kamu punya aku yang akan seterusnya menjaga kamu dan anak-anak." Tari tak mampu menahan lelehan air matanya.

Ia bangkit lalu memeluk tubuh suaminya. Inilah pria yang dicintainya. Pria yang selalu menjaganya. Pria yang selalu ia harap akan terus menemaninya hingga kelak mereka menua bersama menyaksikan anak-anak mereka tumbuh besar bersama.

"Loh, kok malah nangis?" goda Andra sambil melabuhkan kecupan sayangnya di wajah istrinya. Istri yang selalu menjadi dunianya.

"Kamu jangan jadi cengeng terus. Kamu harus jadi wanita yang kuat. Anak-anak butuh kamu."

"Kan ada Mas." Tari menikmati usapan lembut suaminya yang menghapus lelehan air matanya.

"Seorang istri harus tangguh. Harus kuat agar jika terjadi sesuatu pada diri sang suami, ia bisa tetap melanjutkan hidup dan membesarkan anak-anak mereka."

"Ih, ngomong apaan sih, Mas." Tari mencubit gemas pinggang suaminya yang justru mendapatkan ciuman panas di bibirnya. Andra memagut pelan namun perlahan semakin menggebu diiringi balasan Tari yang tak kalah panas.

"Berarti program agar Tasya punya adik bisa dilakukan kan? Dia sudah berumur lima tahun. Usia yang cukup untuk mempunyai adik. Lagi pula Rasya juga sudah ingin mempunyai seorang adik lagi. Mungkin laki-laki seperti dirinya atau mungkin sepasang bayi kembar." Andra berucap di sela-sela ciumannya yang hanya mendapat desahan sebagai balasannya.

Merasa tak akan cukup, ciuman panas Andra berpindah menuruni leher hingga bagian depan tubuh Tari. Dan bisa dipastikan tak lama setelahnya ruangan itu hanya akan terisi oleh desahan juga erangan dari dua orang yang saling mengejar kenikmatan hingga malam pun semakin larut. Menjadi saksi jika ada dua pasang manusia yang tautan hatinya tak akan begitu mudah terlepas antara satu dengan lainnya.

###
Nia Andhika
28072020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top