3. Semua Tak Lagi Sama
Cerita ini berpotensi menimbulkan racun dan mungkin tidak akan sesuai harapan teman-teman. So, jangan terlalu banyak berharap ya. Perbanyak doa biar nggak ngumpat terus2an.😉😉
Cerita ini tidak sesuai bagi kalian yang masih dibawah umur. Bukan berarti ada adegan desah-desah manjah, tapi konflik dan isi cerita ini yg tidak diperuntukkan untuk para adek2 unyu.
Satu lagi, apa yang dipikirkan setiap tokoh tidak mewakili pemikiran penulisnya. Harap bijak dalam memahami sebuah cerita.
###
"Mel, sudah berapa lama Mentari bekerja di hotel ini?" Surya bertanya sambil membubuhkan tanda tangan pada lembaran-lembaran kertas di hadapannya.
"Maksud Bapak, Mbak Tari akunting ya?" Melly bertanya memastikan. Sejak beberapa jam lalu ia dan hampir semua orang yang melihat adegan Surya menyapa Tari, cukup mengundang pertanyaan. Jika sekadar menyapa mungkin tidak akan terlalu menyita perhatian, namun pria itu terlihat enggan melepas pandangan dari Mentari hingga mereka semua kembali ke ruangan mereka masing-masing.
"Iya."
"Sudah cukup lama, Pak. Dari sebelum menikah hingga sekarang."
Alis Surya seketika bertaut. Menikah? Detik berikutnya Surya merasa begitu tolol. Tentu saja wanita itu sudah menikah. Bukankah usianya sudah tidak muda lagi. Lagi pula, apa yang ia harapkan? Toh ia juga sudah tak sendiri lagi.
"Tolong siapkan data seluruh karyawan, Mel. Satu jam lagi bawa ke sini." Surya tak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Ia harus tahu kondisi Mentarinya saat ini, matahari kecil yang dulu pernah menyinari hari-harinya. Atau bolehkah saat ini ia menyebut wanita itu sebagai matahari kecilnya lagi?
***
Satu jam berlalu begitu cepat. Data yang Surya minta sudah ada di hadapannya. Tak butuh waktu lama, Surya seketika mendapatkan apa yang ia cari.
Mentari. Wanita itu ternyata sudah cukup lama bekerja di hotel ini. Surya merutuk, bagaimana mungkin ia tak tahu jika seseorang yang selama ini begitu ia harapkan kehadirannya ternyata bekerja di hotel keluarganya. Bahkan ia sudah berkali-kali datang ke hotel ini namun tak sekalipun ia bertemu dengan wanita itu.
Surya masih memindai deretan kata pada kertas di hadapannya. Tadi setelah mendapatkan soft copy data seluruh karyawan, Surya segera mencetak data-data milik Mentari. Wanita itu bahkan sudah memiliki dua orang anak yang telah berusia tujuh dan lima tahun.
Membayangkan hal itu rasa sesak seketika menyeruak dalam dadanya. Seandainya dulu ia hidup bersama wanita itu, sudah berapa banyak bocah lucu yang menjadi duplikatnya yang akan menghiasi hari-hari indahnya? Satu, dua, tiga, ataukah lima mengingat Surya begitu menginginkan rumah yang ramai akan teriakan juga tawa malaikat-malaikat kecil itu.
Namun, kini kenyataan berkata lain. Setelah tiga belas tahun tak bertemu wanita itu, ia hanya mampu mengelus dada nelangsa, semakin menyadari hingga setelah delapan tahun pernikahannya ia masih tak juga memiliki bayi mungil yang akan menjadi penerus di masa depannya.
Mungkin hal itu juga hukuman karena ia selalu mengabaikan Airin, istri cantiknya. Namun, ia bisa apa? Rasa berdebar, percikan-percikan menyenangkan itu telah lenyap dari hatinya bahkan sejak hari di mana ia menjabat tangan ayah mertuanya untuk menikahi Airin.
"Panggil Mentari sekarang juga, Mel. Suruh menghadap saya. "Keputusan yang sembrono. Surya seketika menyadari begitu ia meletakkan gagang telepon setelah memerintahkan sekretarisnya memanggil Mentari.
Pasti hal ini akan menimbulkan pembicaraan tak sedap. Bagaimana mungkin tanpa alasan yang jelas dirinya memanggil salah satu staf yang sama sekali tidak ada urusan dengannya? Namun, Surya tak mampu lagi menahan keinginannya untuk segera bertemu wanita yang selalu menjadi Matahari kecil yang selalu ia sembunyikan dalam hidupnya itu.
Biarkan saja jika semua orang tahu ada yang tak beres pada atasan mereka. Ia hanya berharap semoga keluarga besarnya tak akan mendengar kabar tak sedap dari sikap sembrono yang telah diambilnya saat ini.
Tak sampai lima belas menit pintu ruangan Surya terbuka menampakkan Melly yang menyilakan Tari untuk masuk. Setelah berpamitan, wanita itu menutup pintu dan berlalu dari ruangan itu menyisakan Surya yang seolah tak peduli pada seseorang yang begitu ia tunggu kehadirannya.
Matanya fokus pada tumpukan kertas di hadapannya. Seolah-olah meneliti setiap kata yang tertulis di sana. Tangannya juga bergerak membolak-balik kertas-kertas itu seolah ia begitu sibuk mengerjakan tugas-tugasnya.
"Selamat siang, Pak. Bapak memanggil saya?" Sapaan itu seketika menghentikan gerakan tangan Surya yang sebenarnya hanya berpura-pura demi mengusir kegugupannya. Jujur. Surya merasa begitu gugup saat akhirnya kembali bertatapan langsung dengan gadis di depannya ini. Wanita, lebih tepatnya. Karena dia sudah berubah menjadi seorang istri dan ibu dari dua orang anak.
Surya mengangkat pandangannya. Sorot matanya bertemu langsung dengan wanita itu. Dadanya berdebar hebat seolah akan meledak. Tanpa menunggu lagi Surya seketika bangkit dari kursi kebesarannya berderap maju mengitari meja mendekati wanita yang bagi Surya tak pernah berkurang kecantikan meskipun tahun demi tahun berganti.
Tanpa basa-basi Surya mendekap tubuh tak seberapa tinggi itu dalam pelukannya. Mendekap erat menyalurkan kerinduannya yang telah belasan tahun tak bertemu.
"Apa kabarmu. Akhirnya aku bisa melihat mu lagi."
Wanita itu seketika terasa menegang, berusaha mendorong tubuh Surya. Namun, belitan kuat Surya membuatnya tak bisa mengelak pelukan erat pria itu.
Lengan Surya bergerak di punggung Tari. Tak hanya itu jemarinya bergerak mengelus rambut wanita itu dan melabuhkan hidungnya di sana. Berlama-lama menghirup aroma yang begitu ia rindukan. Aroma shampo yang bahkan setelah belasan tahun berlalu masih tetap sama.
"Pak. Tolong lepaskan saya. Kita sedang berada di kantor." Suara Tari terdengar memohon. Namun, Surya begitu menikmati waktunya. Dorongan kuat seketika ia rasakan membuat tubuhnya sontak mundur beberapa langkah.
"Maaf. Aku begitu bahagia akhirnya bisa kembali bertemu denganmu lagi setelah sekian lama." Suara Surya terdengar sendu yang akhirnya mau tak mau membuat Tari menarik napas berat sebelum melontarkan kalimatnya.
"Apa yang baru saja Bapak lakukan itu tidak pantas. Apa lagi kita tidak mempunyai hubungan apapun."
"Tolong berhentilah memanggilku dengan panggilan Bapak. Kita pernah menghabiskan waktu bersama."
"Karena posisi kita saat ini hanya atasan dan bawahan. Tidak lebih." Tari terlihat kembali menarik napas berat. "Saya sudah berkeluarga. Sudah mempunyai anak, Pak. Tolong hormati itu. Lagi pula Bapak juga sudah berumah tangga, kan? Demi kebaikan bersama, saya mohon jangan bersikap kurang ajar seperti tadi."
"Aku menunggu saat-saat kita kembali bertemu sudah begitu lama."
"Maaf, Pak. Tapi tindakan Bapak salah. Anggap saja kejadian barusan adalah kekhilafan Bapak. Saya harap di waktu mendatang hal itu tidak terulang lagi. Ada apa Bapak memanggil saya?" Tari langsung menanyakan tujuan pria itu memanggilnya ke ruangannya.
"Aku ingin menyapamu. Aku begitu bahagia akhirnya bisa melihatmu kembali di hadapanku." Tari memalingkan wajah. Menolak untuk melihat wajah pria menawan di hadapannya itu.
Tari tahu, pria seperti apa yang sedang ia hadapi saat ini. Ia tak boleh menyepelekan kehadiran Surya. Buktinya, baru beberapa jam mereka bertemu kembali, pria itu dengan beraninya memintanya menghadap ke ruangannya. Bahkan bersikap begitu sembrono dengan memeluknya.
Banyak hal yang harus Tari jaga. Kehormatan dirinya juga suaminya. Ia adalah wanita bersuami. Mendapatkan izin untuk tetap bekerja setelah menikah saja sudah suatu keberuntungan baginya. Maka tentu saja ia tak akan mengkhianati kepercayaan suaminya. Ia dan suaminya sudah menata masa depan yang indah bersama kedua buah hati mereka. Dan hal itu tak akan begitu mudah musnah hanya karena kedatangan Surya. Pria yang hadir dari masa lalu Tari.
"Tidakkah kamu mengingat kebersamaan kita dulu? Setidaknya tetaplah di sini. Kita bisa saling bertukar kabar, berbagi cerita tentang masa yang telah terlewati saat kita tak bersama." Suara Surya membuat Tari mengangkat pandangannya.
"Itu sudah tiga belas tahun yang lalu. Saya sudah berbahagia dengan keluarga saya. Begitu juga dengan Bapak. Saling mengingat hal di masa lalu bukanlah hal yang tepat. Saya hanya bisa menawarkan hubungan atasan dan bawahan yang akrab dan saling menghormati. Hanya itu. Bapak bisa memutuskannya sendiri." Tari mengeluh dalam hati, entah mimpi apa ia semalam kenapa hari ini begitu banyak kejadian mengerikan yang ia hadapi.
###
26072020
Repost 17052022
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top