22. Aroma yang Mulai Tercium (1)

Sebelum jalan terlalu jauh, aku pengen nanya. Ini lapaknya siapa sih?

Jika teman2 masih bingung, coba baca ulang blurb juga judulnya di depan. Kl masih gak cukup, baca prolognya sekalian.😜

Maaf jika cerita ini banyak mengecewakan. Happy reading n jangan lupa tinggalkan jejak ya.

Versi lengkap bisa diakses di playstore, KBM, dan karya karsa.

###

"Kamu beneran nggak mau ikut?" Surya sekali lagi memastikan apakah Airin akan ikut ke Surabaya dengannya atau tidak. Namun, saat wanita itu tetap teguh dengan keinginannya, ia pun tak lagi memaksa. Sepertinya Airin tak berkeinginan untuk memperbaiki hubungan mereka. Hal yang di satu sisi cukup melegakan karena ia tak perlu terlalu repot jika suatu saat mereka akhirnya berpisah meskipun juga terselip rasa tak suka.

Otaknya seketika teringat Tari. Mulai membandingkan wanita itu dengan Airin. Wanita itu benar-benar mengusahakan keutuhan rumah tangganya. Hingga pada akhirnya mau menuruti Surya untuk kembali bekerja kepadanya karena tak ingin Surya mengirim bukti-bukti kejadian di kamar hotel bersama Surya diketahui keluarga suaminya.

Wanita itu juga dengan setia menunggu suaminya bangun yang entah kapan hal itu akan terjadi. Ia tak sekalipun goyah meskipun Surya berkali-kali mendekatinya. Jangan salahkan Surya jika masih tetap melabuhkan hatinya pada Mentari. Ia juga ingin dicintai dengan begitu besar oleh wanita itu. Seperti belasan tahun yang lalu.

"Sepertinya kamu sudah mulai terbiasa tanpa kehadiranku," Surya kembali berucap.

"Mas yang membuatku terbiasa, kan?" Kali ini Airin membalas ucapan Surya. Wanita itu menatap tajam suaminya seolah menunjukkan ketidak sukaannya.

"Bagi keluarga kamu, aku pasti terlihat sebagai istri tak tahu diri karena membiarkan suaminya bekerja di luar kota tanpa didampingi padahal aku juga tidak sedang bekerja," Airin menjeda kalimatnya, sepertinya keinginannya untuk memuntahkan semua isi hatinya harus ia lakukan. Tak mungkin ia menyimpannya terlalu lama lagi. "tapi aku punya cara untuk melindungi hatiku. Orang tuaku lebih membutuhkan aku dari kamu, Mas. Lagipula jika aku ikut denganmu ke sana aku pasti akan sendirian dan merana di rumah menunggu kamu pulang bekerja yang entah kapan seperti halnya di sini."

"Orang tuamu sehat. Mereka tidak sedang sakit. Usia senja sangat wajar jika seseorang mulai lemah dan tidak bisa melakukan semua hal sendiri. Ada asisten rumah tangga juga perawat yang menjaga mereka."

"Aku tetap akan terus memantau mereka. Aku lebih memilih orang tuaku. Mereka tidak pernah mengkhianatiku."

Surya mendesah lelah. Topik ini akan semakin berat jika terus dibahas.

"Aku tidak pernah mengkhianatimu." Surya membela diri. Namun, detik berikutnya ia seolah sadar. Hampir dua bulan ini ia sudah mengkhianati Airin. Namun, itu semua setelah hubungan mereka memburuk.

"Apa dengan menyebut nama wanita lain di depanku itu bukan pengkhianatan? Sikap dinginmu itu apa juga bukan bukti pengkhianatan? Bahkan kamu pernah menyebut nama wanita itu saat kita sedang di atas ranjang. Kamu membayangkan wanita itu saat sedang menyentuhku. Betapa menjijikkannya dirimu. Apa itu juga bukan disebut pengkhianatan?" Airin sudah menaikkan volume suaranya. Kali ini ia tak mau hanya disalahkan seorang diri. Apa yang ia lakukan ada penyebabnya.

"Maafkan aku," potong Surya. Ia tahu dialah yang bersalah. "kamu berhak bahagia."

"Kenapa kamu nggak mencoba sedikit saja untuk berbohong."

Surya mengerutkan kening tak mengerti dengan ucapan Airin.

"Kenapa kamu terlalu jujur mengatakan perasaan kamu? Kenapa kamu tidak berusaha membohongiku dan berusaha membuatku merasa tetap dicintai seperti dulu saat awal kita menikah? Kenapa kamu tak mencoba meyakinkanku bahwa kamu masih mencintaiku?"

"Maafkan aku, Rin," ulang Surya pelan.

"Jangan meminta maaf lagi. Seharusnya aku mundur dari dulu. Tapi bukankah itu hal yang sangat menggelikan. Aku kalah hanya dengan sebuah kenangan. Dia sudah tidak ada. Dia sudah pergi. Seharusnya kamu menyadari hal itu. Makanya hingga detik ini aku tetap bertahan karena aku tak mau kalah pada sebuah kenangan. Sesuatu yang sudah tidak ada."

Surya ingin menyela ucapan Airin namun ia kembali menutup mulutnya. Wanita ini masih tak tahu jika dirinya sudah bertemu Tari lagi.

"Entah, dulu apa yang telah dia berikan kepadamu hingga kamu begitu tergila-gila kepadanya."

Surya membenarkan ucapan Airin. Ia juga tak tahu kenapa begitu tergila-gila pada Mentari. Bahkan saat belasan tahu berlalu ia masih merasakan hal itu. Saat ini ia bahkan nyaris gila saat memikirkan bagaimana jika wanita itu bisa saja benar-benar pergi meninggalkannya.

"Maafkan aku, Rin. Semuanya terserah kamu. Aku ingin kamu bahagia," balas Surya pelan.

"Bahagiaku jika memiliki hatimu lagi."

Surya menggeleng. "Maaf." Dengan kata itu akhirnya Surya berpamitan. Kali ini lagi-lagi Airin juga tak mengantarkan suaminya ke bandara. Biarlah, Airin tak perlu melakukan hal itu. Percuma. Toh mereka tidak dalam tahap memperbaiki hubungan mereka. Namun, satu hal yang Airin pikirkan. Akan sampai kapan hubungan mereka seperti ini? Apakah ia harus mengakhirinya ataukah hanya cukup diam dan menunggu Surya menendang dirinya dari hidup pria itu?

***
"Kondisi Pak Andra hari ini kami pantau menurun, Bu. Kami telah melakukan beberapa pemeriksaan dan diketahui Pak Andra mengalami Ventilator Associated Pneumonia atau VAP, yaitu salah satu jenis infeksi paru-paru yang sering ditemukan pada pasien pengguna ventilator atau mesin pernapasan ventilasi mekanis di unit perawatan intensif seperti pak Andra."

Tari seketika menahan napas saat salah satu dokter yang merawat Andra memberikan penjelasan kondisi Andra saat ini.

"Akan seperti apa dampaknya untuk suami saya, Dok?" Tari perlu tahu hal itu. Ia ingin tahu dengan jelas gambaran kondisi Andra saat ini.

"VAP biasanya mempengaruhi orang yang sakit. VAP juga menjadi sumber utama peningkatan penyakit dan kematian. Pasien dengan VAP mengalami peningkatan lama perawatan di ICU dan memiliki tingkat kematian hingga 20-30%. Kami sudah melakukan beberapa tindakan untuk mengatasi hal itu."

Kalimat berikutnya yang dokter itu sampaikan kepadanya tak terlalu Tari pahami. Yang Tari tahu hanyalah kondisi suaminya semakin lama tidak menunjukkan tanda-tanda membaik, namun justru sebaliknya.

Ia hanya meminta dokter yang menangani suaminya melakukan yang terbaik. Ia ingin Andra sembuh dan kembali berkumpul dengan keluarga seperti sedia kala. Ia tak sanggup memikirkan kemungkinan terburuk dan pada akhirnya ia kehilangan suaminya. Tidak, ia tak akan sanggup menjalaninya.

Pria itu tidak boleh meninggalkannya sendirian, ia dan anak-anak mereka membutuhkannya.

###
14102020

Friends, mampir ke lapak baru, yuk. Ada Riverside yang sudah mulai publish beberapa bab dan The Pursuit of Perfection 2. Jangan lupa masukkan ke perpus teman2 ya. 😘😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top