21. Gadis Masa Lalu (2)
"Semoga kamu berbahagia dengan pilihanmu, Mas."
"Aku minta maaf, Ri." Surya menghapus air mata yang mengalir deras di wajah gadis kesayangannya. Sungguh ia pun tak tega membuat gadis cantik itu meneteskan air mata karena keputusannya.
"Aku juga yang salah. Sudah tahu kamu bukan milikku tapi tetap mengizinkan kamu masuk dalam hidupku. Kalau sudah seperti ini, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Salahku sendiri dengan suka rela berlari kepelukanmu."
"Kamu nggak salah. Akulah yang salah." Surya tetap menyalahkan dirinya sendiri. "Satu hal yang harus kamu ingat. Selamanya di sini," Surya membawa telapak tangan Tari ke dadanya, "nama kamu tak akan pernah hilang. Kelak jika suatu saat kita bertemu lagi, maka saat itu adalah bukti kalau kita berjodoh. Jika masa itu datang, aku tak akan pernah melepas kamu lagi."
Tari tergeragap begitu alarm ponsel yang ia letakkan di atas nakas samping tempat tidurnya berbunyi. Diusapnya wajah berulang kali. Keringat terasa membasahi tubuhnya meskipun pendingin ruangan masih bekerja.
Memejamkan mata sejenak sebelum ia mulai mengumpulkan kesadarannya yang masih berserak, ingatannya seketika kembali pada mimpinya beberapa menit yang lalu. Janji itu. Janji konyol itulah penyebab kerumitan yang ia alami saat ini. Surya benar-benar menepati janjinya tanpa memikirkan apapun.
Tari menarik napas untuk melegakan sesak di dadanya. Bagaimana mungkin kejadian tiga belas tahun lalu muncul dalam mimpinya? Apakah karena ia terlalu memikirkan Surya? Memikirkan semua ketakutan yang ia alami saat ini.
Memikirkan hal itu seketika Tubuh Tari merinding. Kilasan kejadian kemarin siang di rumah sakit kembali bercokol di otaknya. Bagaimana jika perkataan Surya benar. Bagaimana jika bayi yang saat ini tumbuh dalam perutnya adalah darah daging pria itu? Lalu bagaimana nanti ia harus menghadapi Andra saat suaminya itu bangun?
Namun, jika diingat lagi, bukankah Surya telah menikah sekitar delapan tahun dan belum mempunyai keturunan. Jadi tak mungkin kan bayi dalam perut Tari adalah darah daging pria itu?
Tari mengusap wajahnya kasar. Ia tak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Apa yang akan ia lakukan setelah ini? Pasti Surya akan semakin gencar mendekatinya. Dan bagaimana Tari harus bersikap di depan keluarga Andra? Apa ia akan menyembunyikan kehamilannya ataukah---, entahlah Tari benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan. Otaknya kosong. Terlalu banyak hal yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini hingga ia merasa begitu lelah bahkan ingin mengakhiri ini semua.
Ia ingin membuat dirinya sendiri nyaman, membiarkan semuanya terjadi tanpa ia berusaha melakukan apa-apa. Termasuk keinginannya untuk berhenti bekerja meskipun efek yang ditimbulkannya begitu buruk. Tapi apa semua itu sepadan?
Entahlah. Sepertinya Tari akan membiarkan semuanya mengalir. Ia tak mungkin mampu mengendalikan semua hal sendirian. Ia akan melakukan yang ia mampu. Dan sisanya, biarkan Yang di Atas yang akan memberikan sentuhannya.
***
Tiga hari Surya berada di Jakarta. Banyak hal yang ia lakukan termasuk mengunjungi mertuanya. Sepertinya Airin terlalu khawatir dengan keadaan orang tuanya. Saat mengunjungi mereka, Surya masih sempat mengobrol dengan pasangan baya itu. Sekilas mereka terlihat baik-baik saja. Mereka bisa berjalan sendiri tanpa dibantu apapun meskipun hanya di dalam rumah atau juga di teras.
Tak ketinggalan, Surya juga mengunjungi sang kakek yang masih tetap bugar di usia senjanya. Mungkin pola hidupnya yang sehat di masa mudanya yang membuat pria itu masih bugar hingga saat ini.
"Kenapa kalian tidak mengusahakan tindakan medis seperti inseminasi atau bayi tabung saja? Uang kamu banyak. Airin juga tidak ada kegiatan apapun di rumah. Pasti akan mudah jika diharuskan ke rumah sakit berkali-kali. Bahkan yang kakek tak habis pikir kenapa Airin tidak ikut ke Surabaya?" Kresna, kakek Surya berpesan saat obrolan mereka semakin jauh.
Embusan napas berat terdengar dari cucu juga istrinya yang sedang menemaninya menikmati teh juga kudapan hangat pagi ini.
"Maafkan saya, Kek." Airin hanya mampu melontarkan kalimat itu. Sedangkan Surya tak merespons apapun. Sekilas senyum tipis tersungging di bibirnya namun sedetik kemudian hilang tanpa ada yang menyadari.
"Kalian justru santai seolah tak memikirkan apapun. Ingat! Sebanyak apapun harta yang kamu miliki tak akan sebandingkan dengan kehadiran anak-anak di dalam hidup kalian. Bekerjalah dengan keras tapi urus juga kehidupan pribadimu. Kalian bekerja untuk bisa hidup bahagia. Jangan justru mengorbankan kebahagiaan kalian untuk pekerjaan." Pria tua itu memandang wajah Surya dan Airin. Ia tahu ada yang tidak beres dalam rumah tangga cucunya. Untuk saat ini ia tak mungkin ikut campur. Biarkan mereka menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.
"Kakek tahu ada yang salah dalam hubungan kalian. Apapun itu perbaiki. Jangan biarkan berlarut-larut atau kalian akan menyesal di kemudian hari." Kresna akhirnya menutup kalimatnya. Surya seketika mengubah topik pembicaraan.
"Bagaimana pendapat kakek setelah hampir dua bulan aku yang memegang hotel itu?"
Dengusan sebal seketika keluar dari mulut pria tua di depan Surya. "Kamu diajak ngomong yang lebih penting jadi bisu. Sekarang urusan pekerjaan seketika saja buka mulut."
Surya hanya membalas ucapan kakeknya dengan senyuman.
"Tanggal satu nanti pergilah ke Lombok. Tinjau lokasi untuk hotel baru kita. Arjuna yang akan membantumu nanti," Kresna menyebut nama salah satu adik Surya. Surya sendiri adalah empat bersaudara. Yudhistira sebagai si sulung, Surya sebagai yang kedua. Sedangkan ke tiga dan ke empat adalah Arjuna dan Sekar.
"Iya, Kek. Beberapa waktu yang lalu saya sudah membicarakan hal itu dengan Juna. Kami sudah siap berangkat," jawab Surya mantap.
"Bagus kalau begitu. Oh ya, Rin. Meskipun kamu tidak tinggal di Surabaya. Sesekali tengok suamimu di sana jika kebetulan kamu punya waktu. Suamimu di sana bekerja. Pasti waktu untuk pulang ke sini cukup terbatas. Lebih baik kamu mengalah sesekali." Kresna menutup pembicaraan pagi itu--- yang lagi-lagi membahas permasalahan rumah tangga cucunya---yang entah mengapa bagi Airin terdengar tidak nyaman. Sekali lagi ia hanya mampu mengiyakan saran kakek suaminya itu.
Mungkin ia harus mulai memikirkan hal itu. Setidaknya ia akan berusaha memperbaiki pernikahannya yang sudah terlanjur dingin itu.
###
Versi lengkap bisa diakses di google playstore dan karya karsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top