20. Gadis Masa Lalu (1)

Cerita ini sudah bisa diakses di Karya karsa sampai tamat ya friends.

###

"Kamu pasti bercanda." Suara Larasati memecah kebungkaman beberapa saat yang lalu.

"Jadi ini tujuan kamu meminta kakek untuk mengurus hotel di Surabaya? Benar-benar licik." Yudhistira menambahi.

"Aku secara kebetulan bertemu dengannya. Ternyata dia sejak bertahun-tahun lalu bekerja di sana. Dan aku baru bertemu dengannya setelah pindah ke sana." Surya menjelaskan.

"Sulit dipercaya." Yudhistira mencibir. "Buang perasaan sentimentilmu itu. Kamu sudah beristri. Pernikahanmu nyaris karam, sekarang kamu dengan seenaknya memperburuk keadaan. Coba aku tahu jika peserta diklat yang kamu temui beberapa waktu lalu adalah Tari tentu aku akan meluangkan waktu untuk melihat, seperti apa rupa seorang Mentari yang sudah membuat sang Surya tergila-gila." Yudhistira lagi-lagi memberikan cibirannya.

"Kamu beruntung menikah dengan orang yang kamu cintai. Jadi tak usah mencibirku."

"Kamu jangan sok berpura-pura menikah dengan orang yang tak kamu cintai. Kalian berpacaran. Bahkan cukup lama. Tidak ada yang memaksamu menikah dengan Airin. Jangan bersikap selayaknya kamu menjadi korban."

"Perasaanku mati saat aku mengenal Tari." Surya berucap pelan. Semuanya memang salahnya. Seandainya dulu ia bisa memilah permasalahan dan menyelesaikannya dengan benar pasti saat ini ia sudah bisa hidup bersama Mentarinya.

Saat itu ia memikirkan nama baik keluarga Airin. Kedekatannya dengan Airin sudah terlalu lama. Mereka bahkan sudah melewati batas normal dalam berpacaran. Airin memberikan semuanya tentu Surya dengan suka rela menerimanya. Ia pria normal, dan tentu saja tergoda dengan apa yang Airin tawarkan. Wanita itu juga sepertinya tak mempermasalahkan kesuciannya yang hilang. Entah karena ia begitu mencintai Surya ataukah kehidupannya memang begitu bebas? Surya enggan mengetahui itu.

Namun, kenikmatan yang Airin berikan lama kelamaan membuat Surya bosan. Airin terlalu mudah menyerahkan segalanya. Surya merasakan hubungannya dengan Airin begitu hampa. Tak ada perjuangan atau usaha apapun yang ia lakukan untuk mendapatkan hati Airin. Bahkan ia sempat ragu, setelah wisuda strata satu, mereka menjalani hubungan jarak jauh. Airin kembali ke Jakarta sedangkan ia masih menetap di Malang karena harus melanjutkan program pasca sarjananya.

Terbesit tanya, apa Airin bisa menahan dirinya saat mereka berjauhan? Apakah gadis itu bisa menjaga tubuh juga hatinya? Bukankah diantara mereka berdua, gadis itulah yang selalu menginginkan hubungan terlarang itu selalu terjadi? Gadis itu selalu memanjakan Surya dengan tubuhnya.

Hal yang berbeda ia rasakan pada Tari. Gadis bau kencur yang baru saja melepas seragam putih abu-abunya. Jatuh bangun Surya mendekatinya hingga akhirnya gadis itu mau menerimanya meskipun tahu status Surya yang telah memiliki sandaran hati.

"Lalu kenapa kamu menikahinya jika sudah tidak mencintainya?" Lagi-lagi pertanyaan Yudhistira terlontar dengan nada menyindir.

"Karena adik kamu itu sudah terlanjur menidurinya. Adik kamu yang brengsek itu harus mempertanggung jawabkan kebejatannya. Bahkan hingga saat ini pun masih belum ada niat untuk berubah," Archandra menyela. "buktinya dia lagi-lagi bermain-main dengan Mentari," lanjutnya.

"Aku serius untuk mendapatkan Tari. Aku tidak mau kehilangan dia lagi," ucap Surya penuh tekad.

"Lalu Airin? Memangnya Tari belum berkeluarga? Jangan gila kamu!" tegur Larasati. Kali ini semua orang di ruangan itu memojokkannya.

"Aku akan menyelesaikan semuanya."

Sedetik setelah kalimat Surya terucap suara tawa Yudhistira terdengar. "Sepertinya kamu benar-benar butuh pertolongan. Semoga saja kamu tidak berakhir di rumah sakit jiwa akibat obsesimu itu," cibir Yudhistira pada akhirnya.

***
"Kenapa kamu pulang tanpa memberi kabar? Apa ada sesuatu yang telah terjadi?" Airin menyambut kedatangan suaminya dengan suka cita. Ia sama sekali tak menyangka jika pria yang berdiri di hadapannya ini akan pulang. Hampir dua bulan sejak pindah ke Surabaya, pria ini tak sekalipun pulang. Pria itu beralasan begitu sibuk dan kesulitan mengatur jadwal untuk kepulangannya.

"Ada urusan penting yang harus aku selesaikan dengan ayah. Begitu tiba, aku tadi langsung ke rumah." Surya menjawab tegas kemudian berlalu memasuki rumah diikuti istrinya.

"Besok lusa aku kembali. Apa kamu bisa ikut sekalian denganku? Setidaknya habiskan waktu beberapa hari saja di sana. Ada pertemuan dengan salah satu investor. Kami akan saling memperkenalkan keluarga masing-masing."

Wajah Airin seketika muram. Bimbang dengan apa yang harus ia lakukan. "Maaf, Mas. Aku sepertinya tidak bisa. Beberapa hari lagi jadwal terapi ayah. Dan itu tidak bisa ditunda. Aku juga tidak mungkin meninggalkan mereka begitu lama sendirian."

"Cari lagi orang untuk bekerja di rumah ayah. Tambah satu atau dua orang lagi agar kamu tak kerepotan dan setiap hari mondar-mandir ke sana. Kamu juga butuh istirahat." Pembicaraan seperti ini mau tak mau membuat Surya sedikit jengah. Setiap waktu mereka selalu dibebani dengan permasalahan yang sama. Bahkan setelah hampir dua bulan ia tidak berada di kota ini, hal itu pun tetap sama.

"Aku tidak percaya jika tidak mengawasinya sendiri, Mas. Mereka bisa saja tidak melayani ayah dan ibu dengan benar." Airin membela diri.

"Lalu apa kamu tidak ingin melayaniku juga, Rin? Apa kamu tidak merindukanku setelah kita hampir dua bulan tidak bertemu?" Surya menghentikan langkah lalu membalik tubuhnya menatap Airin di belakangnya. Pria itu kemudian meraih tubuh Airin dan mendekapnya.

"Tidakkah kamu memikirkanku di sana? Kamu bahkan jarang menghubungiku. Apa kamu tidak mengkhawatirkan suamimu?"

"Mas, aku ---, kamu harus mengerti. Untuk saat ini kamu bisa tanpa aku. Tapi ayah dan ibu tidak." Airin mencoba membela diri.

"Aku tahu, makanya aku menyuruhmu menambah jumlah pekerja di rumah ayah."

"Itu tidak akan sama. Aku sudah menjelaskannya, bukan?" potong Airin cepat.

"Ya, kamu sudah menjelaskannya. Dan aku juga masih bebal bertanya." Surya menjeda kalimatnya, tangannya masih melingkar ditubuh istrinya namun hal itu justru membuat Airin merasa tak nyaman. Ia tahu emosi Surya perlahan mulai naik.

"Aku minta maaf," bisik Airin pelan.

"Jangan meminta maaf. Apa kamu pernah memikirkan bagaimana kebutuhanku selama hampir dua bulan ini? Siapa yang mengurusku?"

"Ada banyak orang di hotel. Mas bisa mendapatkan apapun di sana," sanggah Airin lagi yang dibalas Surya dengan desahan keras.

"Termasuk kebutuhanku di ranjang!? Bagus kalau kamu sudah menyerahkan semuanya pada mereka di sana." Surya mencibir.

"Eh, bukan itu maksudku, Mas. Kamu jangan main-main." Airin mencoba menenangkan hatinya yang perlahan merasa was-was dengan ucapan Surya.

###

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian ya friends. Biar penulisnya makin rajin update. Untuk cerita2 lain mohon maaf masih ngumpulin ide yang berserak. So, harap bersabar ya.

Nia Andhika
06102020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top