Part 1
Ayu Kencana, gadis berusia 19 tahun itu melangkahkan kakinya gontai menyusuri koridor kampusnya yang ramai dengan berbagai jenis mahasiswa dari segala jurusan. Hari pertama kuliah di tahun keduanya ini tidak bisa dibilang spesial tentu saja. Bagaimana bisa? Jadwal ngampus di pagi hari terpaksa membuatnya menyeret badan ogah-ogahan menuju kampusnya. Jika saja bukan karena dosen killernya, tentu saja ia akan lebih memilih bergelung seharian bersama kasur empuk dan selimut bulu-nya, berkelana dalam dunia imajinasi dimana dia tak perlu belajar, kampus, dosen, dan tugas.
Ah seandainya saja dia terlahir sebagai princess, tentu dia akan dilayani, berpesta, dan memakai gaun sepanjang hari. Ah.... Seandainya!
~~~
"Gusti Putri!" panggilan di pagi hari itu membuat gadis itu membuka matanya malas dan langsung menutupnya kembali karena paparan sinar matahari pagi yang terpancar langsung dari jendela besar di samping tempat tidurnya.
"Ya, mbok," Gadis itu tak lantas bangun. Ia malah menutupi mukanya dengan bantal.
"Oh Gusti! Sudah jam berapa ini? Kanjeng Ratu akan memarahi mbok jika anda tidak bergegas. Tayuban akan dimulai sebentar lagi, sementara anda belum bersiap sama sekali. Saya pasti akan di penjara setelah ini." Suara wanita itu kembali terdengar membuat Suhita mau tak mau terduduk di tepi ranjangnya.
"Baiklah.... Baiklah mbok." Gerutu Suhita terpaksa menuruti mbok Galuh, pengasuhnya sejak kecil itu.
"Aku benci menjadi putri!" gerutu Suhita pelan sementara para pelayan membantunya menggunakan kemben ketat yang membungkusnya ketat, salah satu benda yang paling dibencinya dalam sejarah hidupnya. Suhita tidak akan pernah mau menggunakan benda satu itu jika bukan karena Kanjeng Ratu sendiri yang memintanya menggunakan benda 'terkutuk' itu untuk acara resmi pagi ini.
"Aja orang kaya sing. Ora pantes putri kaya sampeyan ngomong kaya sing, Gusti Putri (1)," ujar mbok Galuh memperingatkan yang hanya dibalas dengan gerutuan panjang pendek dari putri Maharani Kusumawardhani, Kanjeng Ratu-nya tersebut.
Lupakan tentang kemben, tata krama, dan sopan-santun! Terserah kalian jika kalian pun ingin mencapnya sebagai putri kerajaan yang tidak 'ber-tata krama'. Karena nyatanya Suhita sama sekali bukanlah tipe-tipe wanita kerajaan yang bisa duduk bersimpuh selama berjam-jam dengan memakai kemben yang sempit, hanya untuk menghadiri acara kerajaan yang menjemukkan! Dia bukanlah gadis seperti itu. Dia adalah gadis remaja yang lebih menyukai kebebasan alam di luar kerajaan yang nyatanya tidak bisa diwujudkannya sejak kecil karena aturan kerajaann yang mengekangnya.
Bahkah di usianya yang ke-19 tahun, beberapa bulan lagi sebelum dia akan dilantik menggantikan Kanjeng Ratu Kencanawungu 1, yang tidak lain dan tidak bukan adalah ibundanya sendiri. Bahkan terkadang, beliau sendiri merasa Dyah Kertawijaya, adik dari Suhita itu lebih pantas menjadi seorang Kanjeng Ratu dibandingkan dengan Suhita sendiri, jika saja dia tidak mengingat peraturan Kerajaan yang mewajibkan putri pertama sebagai penerus takhta.
"Suhita!" panggil Ratu Maharani bernapas lega ketika putri sulungnya itu memasuki balairung menggunakan kemben berwarna salem dengan rambut disanggul dan dihiasi bunga-bunga. "Pangeran Ratnapangkaja sedang dalam perjalanan kemari untuk meminangmu."
"Apa! Aku tidak mau ibu! Umurku baru 19! Aku tidak mau menikah dengan Pangeran Rat...Ratnajangkapa atau apalah itu. Pokoknya aku tidak mau!" Suhita berteriak, membuat para abdi dalem istana seketika menghentikan kegiatan mereka masing-masing.
"Kakak! Jaga ucapanmu!" Dyah Kertawijaya memperingati Suhita yang tampak gusar.
"Tidak ada penolakan, Suhita!" perintah Ratu Maharani tegas. "Kita sudah sepakat bahwa siapapun yang berhasil memenangkan sayembara itu, maka dialah yang akan menjadi calon pendampingmu. Hanya Pangeran Ratnapangkaja yang bisa mengalahkan Menak Jingga! Jika tidak, maka perang saudara akan terus berlanjut. Kau seharusnya mengerti itu. Umurmu sudah 19 tahun, seharusnya kau sudah memiliki pendamping jika membandingkanmu dengan ibu dulu. Beberapa bulan lagi tanggok kememimpinan akan berada dalam tanganmu, ibu hanya berharap kau bersikap dewasalah sedikit!" Lanjutnya terlihat lelah dengan sikap membangkang putri sulungnya.
"Tetapi Bu...."
"Tidak ada tapi-tapian Suhita! Kau harus menikah dengan Pangeran Ratnapangkaja! Titik! Tidak ada penolakan," Ratu Maharani menatap Suhita tajam.
"Terserahlah! Atur saja terus hidupku sesuka kalian!" Suhita berlari meninggalkan balairung, tidak dipedulikannya sama sekali panggilan-panggilan mereka. Lelah akan kehidupan kerajaan, dimana dia lebih menginginkan kebebasan layaknya rakyat biasa.
Suhita berlari menuju Tembok Baluwerti di sisi belakang istana. Satu-satunya tempat favoritnya sampai-sampai para pelayan pun hapal dengannya. Tembok Baluwerti merupakan tembok bersisi rendah dimana Suhita senang duduk di atasnya seperti sekarang ini. Dari tempat ini dia bisa mengitarkan pandangannya pada rumah-rumah penduduk dan perbukitan hijau yang menjadi latarnya.
Dari tempat itulah Suhita dapat membebaskan khayalannya tentang daerah di luar kerajaan, suatu tempat yang belum pernah dijamahnya selama 19 tahun hidupnya. Sekalinya ia bisa melangkahkan kakinya diluar kerajaab, ia harus ditemani oleh minimal dua orang abdi dalem. Suhita ingin berjalan di luar sana layaknya orang biasa pada umumnya, tanpa pengawasan ketat dari siapapun. Namun sayangnya itu sepertinya sesuatu yang mustahil untuk dilakukan karena kemanapun ia melangkah, pasti ada saja seseorang yang mengintainya diam-diam.
Mata Suhita menyipit ketika suatu sinar terang muncul tiba-tiba di hadapannya. Dan dari dalamnya keluar seorang gadis yang kira-kira berusia sepantaran dengan dirinya, terjatuh dari dalan lubang itu yang letaknya lumayan tinggi.
"Siapa kau?" tanya Suhita curiga ketika gadis itu merintih pelan akibat terjatuh dari lubang yang kini telah menghilang entah kemana.
Gadis itu berbalik dan menatap Suhita. "Aargggghhhh!!!" teriak keduanya berbarengan. Bagaimana tidak, Suhita bagai melihat wajahnya sendiri pada gadis itu.
Gadis itu menatap Suhita heran dari ujung kepala hingga ke ujung kaki yang dibalas dengan tatapan yang sama. "Ini dimana? Dan kau siapa? Mengapa kau sangat mirip denganku?"
Suhita terbelalak heran. Dari manakah datangnya gadis berpakaian aneh seperti laki-laki yang muncul begitu saja dari sebuah lubang, yang berani menatapnya terang-terangan.Tak tahukah dia bahwa dirinyalah adalah putri keraton? Ditambah dengan fakta bahwa wajah gadis itu hampir tidak ada bedanya dengan dirinya. Apakah selama ini dia mempunyai kembaran?
"Kau berada di Kerajaan Majapahit."
Mata gadis itu terbelalak sempurna. "Oh dear! Sepertinya aku salah tempat. Bagaimana caranya aku kembali?"
"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti," balas Suhita tak peduli pada gadis aneh itu yang berbicara dalam bahasa yang tidak di-mengertinya.
"Benarkah ini Majapahit?"
"Kau pikir?" balas Suhita sinis. "Kau siapa? Dan mengapa kau muncul tiba-tiba di hadapanku?"
"Ermhhh well, namaku Ayu Kencana."
"Kau bercanda?! Apa maksudmu? Nama lainku adalah Ayu Kencana. Dan mengapa kau mempunyai wajah yang sama denganku? Siapa kau sebenarnya! Apakah kau mata-mata? Akan kulaporkan kau!" sergah Suhita langsung tanpa basa-basi. Dihadapkan pada fakta seperti ini membuatnya tidak habis pikir dengan kehadiran gadis 'aneh' itu.
Ayu bersedekap dan memutar bola matanya malas. "Ok, pertama aku bukan mata-mata. Kedua, aku tidak tahu mengapa aku malah terdampar disini. Aku berharap menjadi princess abad pertengahan, namun nyatanya aku malah berada di negeri antah berantah seperti ini. Tetapi sepertinya berdasarkan pengamatanku, mesin waktu itu tidak bekerja dengan baik sehingga aku terdampar di sini. Ketiga, aku berasal dari tahun 2017, aku berasal dari 'masa depan'. Keempat, aku tidak tahu mengapa kau mempunyai wajah dan nama yang sama denganku. Jadi, gimana caranya aku kembali?"
Sebuah senyum licik tiba-tiba terukir di bibir Suhita sementara otaknya dipenuhi dengan rencana. "Karena kau sudah berada disini, kau harus membantuku menjalankan misiku. Lalu setelah itu aku akan membantumu menemukan jalan untuk pulang."
"Misi?"
"Ya! Misi melarikan diri dari istana!"
"Maksudmu?"
"Aku menjadi kau, dan kau menjadi aku," ujar Suhita tak sabaran. "Kau harus menggantikan peranku sementara aku akan berkelana di luar untuk sementara."
"Apa?! Kenapa harus aku?"
"Karena kau mempunyai wajah yang sama denganku. Ayo cepatlah! Sebelum pelayan-pelayan bodoh itu mengetahui keberaaan kita disini!"
"Lalu apa keuntungannya untukku?" Ayu kembali memprotes sementara Suhita merampas bajunya paksa.
"Kau ingin menjadi putri kan? Toh, menjadi putri abad pertengahan atau pun menjadi putri majapahit tak beda jauh bukan? Lagipula aku akan membantumu menemukan jalan untuk pulang setelah ini. Sampai nanti!" Dalam sekejap Suhita telah menghilang di balik tembok. Pakaiannya benar-benar memudahkannya untuk memanjat tembok.
"Gusti Putri! Apa yang anda lakukan di sana? Tayuban akan segera dimulai!"
Ayu menatap seorang wanita paruh baya yang memintanya untuk bergegas dan kembali menatap tembok tempat Putri Suhita yang asli menghilang sepersekian detik yang lalu. Baiklah, perannya sebagi 'putri Suhita' akan dimulai. Baru kali ini dia berharap pelajaran sejarah akan benar-benar membantunya.
***
Glosarium :
1. Raden Ajeng : sebutan untuk perempuan muda yang belum menikah
2. Kanjeng Ratu : sebutan untuk perempuan yang telah menikah dan memiliki gelar ratu
3. Tayuban : semacam acara resmi keraton
4. Balairung : semacam aula
(1) : Aja orang kaya sing. Ora pantes putri kaya sampeyan ngomong kaya sing, Raden Ajeng kurag lebih : jangan berbicara seperti itu. Putri keraton seperti Raden Ajeng tak pantas berbicara seperti itu
***
Mohon maaf apabila ada kata yang salah dalam penulisan, dan mohon sarannya. Aku baru pertama kali nulis sesuatu yang out of the box, sesuatu yang diluar passion aku yang biasanya. Tapi toh yang namanya nyoba kan?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top