ASoM: Be With You
Title : ASoM: Be With You
Author : Aurelia
Genre : Fiction, Angst, Hurt
Length : One Shot
Rating : PG+15
***
Happy Reading
❤❤❤
***
Langit begitu gelap. Gemericik hujan masih betah meramaikan suasana sore itu. Banyak pasang kaki melangkah cepat demi menghindari serbuannya. Ada yang berlindung di bawah kanopi toko, sebagian lain lebih memilih masuk ke dalam mall besar. Entah untuk berlindung, atau sekalian cuci mata.
Aku memilih untuk menunggu di bawah kanopi toko. Berjaga-jaga saja, agar dia bisa melihatku saat melintas. Ya, dia. Seseorang yang sudah dua tahun ini mengisi diary hatiku. Mengukir banyak kenangan yang tak akan pernah hilang tergerus waktu. Meski masih terbilang singkat, namun diary hatiku sudah penuh berjejalan.
Tanganku terulur mewati batas kanopi. Membiarkannya menyentuh serbuan hujan. Dingin memang terasa mencekik, sampai aku harus merapatkan lagi mantel yang memeluk erat, namun itu bukan masalah. Aku suka hujan. Aroma tanah basah selalu membuatku tenang. Suaranya yang keras menghujam bumi, sudah seperti melodi dalam indera pendengaranku.
Brak
Aku terkejut sesaat. Mendengar suara keras yang berasal dari dua buah mobil yang saling bertubrukan. Jaraknya tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri. Meski hujan menyamarkan pandangan, namun aku bisa melihat dengan jelas salah satu mobil itu, pun hapal dengan plat nomornya.
B 3*9* NCY.
Otakku seakan membeku. Tubuhku ikut kaku. Mulutku menganga lebar. Napasku tertahan.
Apa ini?
Apa ini mimpi?
Indra pendengaranku yang semula tuli karena syok, kini mulai kembali normal. Napas panjang aku ambil demi mengais oksigen masuk ke dalam paru-paru. Otakku mulai kembali bekerja dan mengantar kaki menuju keramaian yang mengitari area kecelakaan.
Kedua mobil rusak parah. Terutama mobil sedan hitam yang kaca depannya hancur sampai si pengemudinya terpental keluar.
Darah menghiasi jalan yang tersapu air hujan. Mengalir entah sampai mana.
"Permisi, saya mau lewat. Permisi." Aku menerobos masuk ke dalam kerumunan. Hujan masih deras, aku tak peduli. Air mataku terus mengalir tersamarkan hujan. Dingin makin mencekikku hingga gemetar.
Aku melihatnya.
Dia.
Yang sejak tadi aku tunggu kehadirannya, kini tergeletak di antara bangkai mobil yang remuk. Kepalanya terluka pun dengan wajah dan tubuhnya yang sudah dilumuri darah.
Wajah itu.
"Jun, kau kah itu?" Tanganku makin gemetar, saat langkah pelan aku ambil untuk lebih dekat dengannya. Hati terus mengucap, semoga itu bukan dia. Tapi takdir rupanya berkata lain. Laki-laki yang tergeletak itu benar-benar dia.
Aku berlutut di sampingnya. Tanganku yang gemetar, menyentuh tangannya yang sudah pias. Dia tak merespon. Matanya terpejam rapat.
"Arjun, ini aku," bisikku lirih.
Dia masih tak merespon.
Tanganku merogoh ke dalam tas. Mencari ponsel untuk meminta pertolongan. Suaraku parau tersamarkan hujan, sedang seseorang di seberang memintaku untuk kembali mengulang kalimat yang rasanya sulit keluar dari tenggorokanku.
"Kekasihku kecelakaan. Kami ada di Persimpangan Salemba. Lukanya parah. Tolong segera kirimkan ambulance!" teriakku pada akhirnya, lalu sambungan terputus.
Sesak di dadaku makin menghimpit. Pening makin menguasai kepala, saat oksigen rasanya mulai menipis kembali di dalam paru-paru.
Aku seakan terlempar ke belakang. Waktu bergerak mundur dengan cepat, hingga membawaku ke masa lalu. Membuat rasa sesal itu makin terpatri dalam.
***
"Jun, kamu dengar Mama! Apa hebatnya Nessa? Dia cuma anak yatim piatu yang gak jelas asal usulnya. Mama gak mau dengar lagi, nama anak itu disebut-sebut!"
Rentetan kalimat itu begitu tajam. Bak sembilu yang berhasil menyayat hati tanpa henti. Perihnya bukan main.
Aku sandarkan kepala pada dinding rumah Arjun. Mendengarkan pertengkaran ibu dan anak itu dalam diam. Semula ingin masuk, namun kakiku tertahan karena teriakan keras itu.
"Ma, Jun sayang sama Nessa. Tolong hargai perasaan Jun!"
"Berani kamu lawan Mama? Iya? Cuma karena anak gak jelas itu, kamu berani sama Mama?!"
Rasanya aku ingin berteriak keras, saat penghinaan itu makin tajam menusuk perasaanku. Namun urung aku lakukan. Aku tak ingin menambah beban di dalam hidup Arjun. Penolakan itu, aku tak ingin ambil peduli. Selama Arjun masih bersih keras mempertahankan hubungan ini, aku juga akan berjuang di sampingnya.
Aku buang napasku keras-keras, lalu mengusap bulir bening yang tanpa sengaja datang. Senyum kupaksakan mengembang, lalu melangkah masuk untuk bertamu. Seolah tak terjadi apapun sebelumnya. Seolah aku tak mendengar apapun sebelumnya.
Langkahku terhenti, saat Arjun tiba-tiba keluar dari balik pintu yang tak tertutup rapat tadi.
"Jun?"
"Kita pergi dari sini, Nes."
Arjun menarikku pergi dari rumahnya. Tanpa penjelasan apapun, ia kebut mobil hitamnya membelah jalanan yang lumayan sepi.
Entah apa yang sedang dia pikirkan saat ini. Aku tak bisa menebaknya. Wajahnya terlihat merah, pun dengan sorot matanya yang terlihat marah.
"Apa kita bisa menemukan kebahagiaan dalam situasi ini, Jun? Aku takut. Tapi aku tak bisa merelakanmu pergi," gumamku dalam hati.
Batinku berkecamuk hebat.
***
"Jika ini yang dinamakan akhir, aku lebih baik berpisah saat tahu kalau orang tuamu menentang hubungan kita beberapa bulan lalu. Aku tak sanggup, jika harus berpisah denganmu dalam keadaan seperti ini, Jun."
Andai waktu dapat diputar kembali. Andai firasat kehilangan itu kuat. Aku rela berpisah dengannya karena terhalang restu. Bukan karena hal tragis itu. Pikiranku sudah melayang ke berbagai arah. Memikirkan kemungkinan terburuk yang rasanya sangat sulit untuk aku enyahkan dari dalam pikiranku. Menempel kuat seperti dua buah magnet yang bersebrangan. Terlalu kuat sampai kepalaku rasanya sudah pening luar biasa.
Andai aku tak mementingkan egoku saat itu, segalanya tidak akan seburuk ini. Andai aku pertahankan harga diriku saat dihina ibunya, lalu pergi meninggalkannya, Arjun tidak mungkin mengalami kesialan ini.
Andai ...
Andai ...
"Tuhan, rasanya berat sekali cobaan ini."
Aku masih duduk termenung di depan ruang UGD. Perawat melarangku untuk ikut masuk ke dalam. Tirai penutup dibentangkan, sementara dokter yang berjaga sibuk menyelamatkannya.
Tangisku tak berhenti di situ. Terus mengucur deras seiring dengan hati yang berteriak meminta tolong pada sang pemilik hidup. Meminta pada-Nya, untuk mengembalikan Arjun kepadaku. Tanganku terkepal kuat. Sekuat keyakinanku pada sang pencipta.
Langkah berat membuyarkan khusyukku berdoa. Kedua mataku yang terasa perih karena terlalu lama terpejam, kini kembali terbuka. Seorang dokter keluar dar balik pintu UGD yang terbuka. Bahunya tampak lesu. Keringat mengucur deras, saat masker ia turunkan dari wajahnya. Pakaiannya sudah tak karuan terkena noda darah.
"Dok, bagaimana keadaannya?" Nada bicaraku pelan. Sangat pelan. Tenggorokanku sudah kering karena terlalu banyak menangis. Sakit sekali.
Sang dokter menepuk bahuku. "Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi kami tak bisa menyelamatkannya. Maaf," ujarnya pelan.
Seperti tersambar petir di siang bolong. Asaku pupus begitu saja. Ada dendam apa takdir padaku? Mengapa harus sekejam itu? Apa aku tak berhak bahagia? Apa aku tak berhak memiliki siapapun di dunia ini? Mengapa semuanya pergi meninggalkanku? Mengapa?
Tanda tanya itu penuh berjejalan di dalam pikiranku. Tangisku makin keras, saat dokter mempersilahkanku untuk masuk ke dalam ruang UGD.
Arjun ada di sana. Terbujur kaku di atas pembaringan dan tertutup kain putih. Langkah membawaku mendekat. Dengan tangan yang gemetar, aku sibak kain penutup itu dari wajahnya. Ah, wajah itu. Wajah yang masih terlumuri banyak darah itu.
"Jun ... Hey, bangun, Jun. Ini aku! Kamu bercanda, kan?" Aku mencoba untuk mengesampingkan fakta. Menganggap bahwa Arjun sedang mengusiliku. Namun tubuhnya sama sekali tak bergerak. Bahkan saat aku kelitiki, Arjun sama sekali tidak merespon.
Aku tertawa keras, namun aku tak bisa menghentikan air mataku yang makin deras mengalir. "Arjun. Bercandanya kamu tuh gak lucu! Hey, ayo bangun!"
Satu detik.
Dua detik.
Mataku terpejam. Aku mulai bisa menerima kenyataan, meski rasanya sangat berat. Napasku mulai teratur, namun tanganku masih bergetar saat mengelus wajahnya. "Jun, aku sayang kamu. Kamu tahu itu, kan? Kamu baik-baik, ya, di sana. Aku juga akan baik-baik aja di sini. Semoga takdir mempertemukan kita kembali suatu hari nanti, ya."
Air mataku makin sulit dikontrol. Terus berjatuhan membasahi kain putih itu. Hingga detik-detik selanjutnya kakiku makin melemas. Aku jatuh terduduk di samping pembaringan Arjun. Menangis sejadi-jadinya di sana. Tak kuasa lagi melihat wajah itu. Hingga gelap tiba-tiba menyergapku.
"Jika ini yang dinamakan takdir, lantas mengapa aku masih saja berat menerimanya?"
***
The End
***
Hey Ho!
Ada yang rindu aku?
Huhuhu
Udah lama banget aku gak publish cerita.
Bahkan FF solo aku ajah masih pada pending gegara hiatus nulis.
Maafkan aku, reader-nimdeul!
Semoga aku bisa cepat2 nuntasin FF aku yang masih gantung kek jemuran gak kering2 itu, ya.
Gak janji, tapi diusahakan.
Btw, semoga suka sama cerita ini, ya.
Cerita ini aku publish buat project ulang ulang pacar baru aku.

Wish aku buat dia gak muluk2.
Cuma berharap dia sehat terus, bahagia terus.
Biar bisa terus berkarya dan jadi salah satu mood booster-nya aku.
❤️❤️❤️
Salam,
Aurelia
29 November 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top