Shadow #8 - Mendalami kasus pertama

Kantor kepolisian kota New York.


Kini Nicholas duduk di dalam ruangannya bersama Noel. Kedua detektif muda itu bagai amplop dan lemnya yang tak dapat dipisahkan akhir-akhir ini. Ditambah lagi, usia mereka yang hanya berbeda dua tahun membuat keduanya cukup seimbang dalam berkomunikasi.

Tapi keberadaan mereka berdua di ruangan Nicholas siang itu, bukan untuk sekadar berbincang antar pria. Melainkan keharusan untuk segera mengusut tuntas kasus pembunuhan yang terjadi selama sepekan ini.

"Lalu apa yang kau dapatkan?" Nicholas menyandarkan punggungnya ke kursi. Sementara Noel mulai mengeluarkan jurnal pribadinya dari saku celana. "Kudengar kalian sudah memeriksa gedung teaternya."

Noel-pun mengangguk cepat. "Tapi kami tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Pada loker korban juga kami hanya menemukan pakaian ganti dan sebuah jaket berwarna hitam."

Nicholas mengerutkan keningnya. "Apa jaket itu memang miliknya?"

"Ya. Saksi yang bernama Pete mengatakan bahwa korban memang menggunakan jaket saat datang ke pusat teater hari itu," jawab Noel. Ia lalu membalik halaman jurnalnya. "Sedangkan pemilik bangunan itu sendiri tidak terlalu mengenal korban karena beliau tinggal di Jepang dan hanya mendapat informasi seputar acara dari pengelola gedungnya. Kurasa terlalu jauh mengaitkan hubungan korban dengan pemilik bangunan karena dia sudah lama tidak kembali ke New York."

Detektif bermata cokelat terang itu lalu mengusap dagunya. "Bagaimana dengan stockingnya? Apa kalian menemukannya?"

Tapi lagi-lagi Nicholas harus menelan kekecewaan. "Kurasa tidak ada apapun di sana, selain lokasinya yang dekat dengan lokasi pembunuhan." Noel menggeleng putus asa. "Selain hal itu, tidak ada yang bisa kami temukan."

Dan di saat itu juga, perkataan Alicia melintas cepat di otak Nicholas. "Apa kalian sudah memeriksa rumah sakitnya?"

Namun Noel justru menundukkan kepalanya. Ia menatap lantai di bawah kakinya dengan tatapan khawatir.

"Ada apa, Noel? Apa kalian menemukan sesuatu di sana?" tanya Nicholas lagi, memastikan.

Tapi setelahnya, Noel hanya mendongak dan menatap sang atasan dengan perasaan tidak enak. "Kami tidak menemukan riwayat kegiatannya di sana. Bahkan pihak rumah sakit mengonfirmasi bahwa mereka tidak pernah memiliki seorang perawat bernama Natalie Heele." Noel menggaruk tengkuk lehernya canggung. "Sepertinya korban berbohong soal pekerjaannya kepada orang-orang sekitar."

Tebakan Noel barusan mungkin benar, tapi bisa jadi juga salah. Kasus ini benar-benar lebih rumit dari dugaan Nicholas sebelumnya.

Sampai akhirnya ia menghela napas panjang dan memutuskan, "Baiklah, kau bisa kembali. Aku akan memeriksa kerabat korban lebih dalam dan melihat lokasi pembunuhannya sekali lagi," tutur Nicholas. "Aku tidak ingin melewatkan satu titik kecil jejak yang ditinggalkan pelaku untukku."

"Baik, detektif." Lalu Noel-pun berlalu pergi meninggalkan ruangan sang detektif muda itu.

Selanjutnya Nicholas mulai berpikir, dimana dia harus memulai semuanya. Tapi lagi-lagi pikirannya buntu. Dan nama Alicia-lah yang justru selalu muncul mengusiknya.


Lalu bagaikan dewi fortuna sedang berpihak kepadanya, ponsel pria bertubuh tinggi itu tiba-tiba berbunyi. Dan saat memeriksa panggilan itu, ada nama Alicia di sana.

"Halo, Alicia?"

"Ya... aku baru akan pergi ke tempat itu lagi untuk memeriksa ulang. Kau apa?" Nicholas melebarkan bola matanya tak percaya saat mendengarkan Alicia. "Sungguh?"

"Oh, ya, ya. Aku akan menemuimu di sana. Sampai jumpa."

***

"Alicia," sapa Nicholas.

Nicholas baru saja sampai di dekat gedung Town Square, tepatnya di sebuah gang kecil yang ditetapkan menjadi TKP dari sebuah kasus pembunuhan berencana beberapa hari lalu.

Sementara Alicia, sudah berdiri di sana dengan jumpsuit denim dan inner berwarna hitam. Ia-pun berbalik saat mendengar Nicholas memanggil namanya.

"Aku senang kau mau membantuku," tukas Nicholas. Ia berusaha mengatakannya dengan setenang mungkin agar Alicia tak tahu perasaan Nicholas saat ini seperti apa.

"Yaa ... sejujurnya aku hanya akan membantu sampai kau mendapatkan bukti kuat," jelas Alicia. "Setelah itu, aku akan berhenti dan kau urus sisanya."

Nicholas-pun mendengus geli. "Penawaran yang menarik."

Lalu keduanya masuk ke dalam gang kecil yang di bagian depannya dilindungi oleh garis polisi. Mata mereka langsung berpendar mengamati sekitar. Meski pada akhirnya tidak ada yang aneh di sana.

Lalu Alicia merendahkan pandangannya, mengamati aspal di bawah kakinya. "Kurasa pelaku menyeret korbannya ke dalam gang." Begitu Nicholas menoleh, Alicia langsung menunjukkan guratan aspal yang tampak menyisakkan jejak sepatu seseorang di sana. "Mereka bertemu dari luar gang."


"Mungkin korban diikuti sejak keluar gedung teater," tebak Nicholas. "Atau... mungkin pelakunya justru penonton di dalam gedung teater itu sendiri."

Alicia menatap Nicholas serius sekarang. "Mungkin kau benar. Mau periksa kamera pengawasnya sekarang?"

Setelah mengangguk setuju, keduanyapun berjalan meninggalkan gang kecil tersebut untuk masuk ke dalam gedung teater. Dan mereka berdua disambut seorang pria bertubuh gempal dengan pakaian serba hitam yang tiba-tiba menghentikan langkah mereka. "Kalian tidak bisa masuk. Pertunjukkannya baru akan dimulai pukul enam," katanya memberi tahu. Jika boleh diperkirakan, pria itu mungkin berusia antara empat puluh atau puluh lima tahun. "Aku akan mengantar kalian keluar."

Dan Nicholas dengan cepat mengeluarkan identitasnya sebagai seorang detektif kepolisian kepada pria bertubuh tambun itu. "Kami akan masuk sebentar." Sementara Alicia memperhatikan pria itu dengan waspada. "Kami hanya perlu mengecek loker Natalie."

"Astaga," desah pria itu kesal. "Hampir setiap hari aku harus menghadapi pertanyaan polisi dan wartawan. Lama-lama aku bisa gila karena Natalie."

"Apa kalian dekat?" tanya Nicholas.

"Aku dekat dengan semua anggota teater karena aku pengelola bangunan ini," ujarnya. Ia kemudian menghela napas panjang. "Silakan masuk dan segera temukan penjahat itu. Aku sudah muak dengan semua ini."

Alicia dan Nicholas kemudian berjalan mengekor di belakang pria gempal bernama Mike itu. Ia menceritakan banyak hal selagi dalam perjalanan menuju ruang latihan. Tentang bangunan gedung, sikap seluruh anggota teater dan kepribadian Natalie yang ia ketahui.

"Ruang latihan ada di sebelah kanan. Loker anggota di kiri dan toilet ada di ujung sana," tutur Mike saat mereka sampai di sebuah lorong pada bangunan itu.

"Bagaimana dengan kamera pengawasnya?" Kali ini Alicia yang bersuara. Yang membuat pria paruh baya itu mendelik tajam ke arahnya.

"Kamera pengawas apa?"

Nicholas melihat Alicia lalu ke Mike bergantian. Kedua orang itu sedang beradu tatap sekarang.

"Kubilang, bagaimana dengan kamera pengawas di gedung ini?" Alicia mengatakannya dengan nada yang dingin. "Bolehkah kami memeriksanya, Mr. Mike Mollison?"

"Apa yang kau katakan?"

"Namamu Mike Mollison, bukan?" Alicia menunjuk papan nama pria bertubuh tambun itu yang justru bertuliskan Mike Houston dengan dagunya. "Seharusnya kau menulis Mollison di sana, bukan Houston. Aku melihat namamu di papan anggota saat kami masuk." lalu ia bersedekap. "Kenapa kau mengganti namamu, Mr. Mollison?"

Dan pria yang tak lebih tinggi dari Alicia itupun memicing tajam ke arah Alicia. "Apa maumu, nona?"

"Sudah kusebutkan dengan jelas. Dimana kami bisa memeriksa kamera pengawasnya?" Suara Alicia penuh dengan tekanan kali ini.

Yang membuat Mr. Mike Mollison itu mendecih sinis dan melihat kedua tamunya dengan tak senang. "Sistem kami error tadi malam dan semua data kamera pengawasnya hilang," timpal Mike ketus. "Tapi tukang pembersih bilang seseorang mungkin masuk ke dalam gedung di malam hari karena pintunya tak lagi terkunci."

Nicholas menatap pria tambun itu tak percaya. "Maksudmu, data di dalam kamera cctv itu sudah dicuri?"

"Kemungkinan besar begitu." Ia mengedikkan kedua bahunya cepat. "Tapi lebih baik begitu. Karena aku tidak perlu repot-repot menjelaskan isi datanya pada wartawan."

"Ini tidak mungkin," tukas Nicholas kesal.

"Mau bagaimana lagi, bukan?" Mike kemudian berbalik, hendak pergi meninggalkan lorong. "Kalian bisa memeriksa seluruh ruangan ini dan aku akan menunggu kalian di luar."

"Tunggu, Mr. Mollison," cegah Alicia.

Membuat pria itu berbalik dan memandang Alicia tak senang. "Jangan panggil aku dengan nama itu."

"Dimana kau menyembunyikan data kamera pengawas itu omong-omong?" tanya Alicia santai.

Sedangkan Nicholas justru membungkam mulutnya dan tampak sangat terkejut dengan ucapan Alicia barusan.

"Kau menuduhku?" Pria bernama Mike itu jelas terlihat sangat kesal pada Alicia.

"Kau pikir aku akan tertipu dengan kata-katamu?" Alicia menyilang kedua tangannya di dada. "Kau pikir siapa lagi yang memiliki akses bebas untuk keluar dan masuk ke dalam gedung selain dirimu, Mr. Mike Mollison?" Ia menaikkan satu alisnya menantang. "Jadi, bisa kau katakan dimana data kamera pengawas itu kepada kami sekarang? Atau... aku akan mengungkap penggelapan uang yang kau lakukan di gedung teater ini pada polisi?" []

***

Halo semuanya..
Sekali lagi saya ingatkan, bahwa cerita ini merupakan sequel dari cerita saya yg sebelumnya
ROOMATES : Secret Series
Kalian bisa baca terpisah, tapi akan lebih afdal kalo dibaca dulu cerita yang sebelumnya hehe
Sejauh ini, bagaimana tanggapan kalian tentang Alicia?
Apa sebaiknya dia membantu Nicholas atau tidak demi menjaga perasaan kekasihnya, Ace?
Berikan dukungan kalian dengan komentar di bawah ini atau votes ya!

Thank you
X

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top