9. Mimpi dan Masa Lalu
Sore itu hujan lebat dan gelegar petir tengah menemani bumi yang kesepian. Sama sepinya seperti Aluna yang baru saja bertengkar dengan Nindya, teman kuliahnya.
"Tolonglah, Nin. Aku butuh uangnya sekarang ini. Bunda panti sedang butuh uang dan aku harus membayar hutangku pada Bunda panti." Aluna yang rambutnya basah akibat menerobos hujan, berkata penuh permohonan pada temannya.
"Ya kamu kan, punya kakak dokter. Bisa minta dia,Lah!" elak gadis itu setengah teriak.
"Tapi uangku di kamu lima juta dan itu belum kamu kembalikan sepeserpun. Aku bahkan meminjam uang Bunda panti untuk menolongmu. Tolong bantu aku mengembalikan uang itu pada Bunda." pinta adik Abimana dengan tubuh yang mulai mengigil kedinginan.
"Heh, Aluna! Aku kasih tau,ya! Uang segitu tuh, bukan masalah besar buat aku. Pasti aku bayar semua hutangku ke kamu. Tapi tidak sekarang. Kamu susah banget sih, suruh sabar!" Berkacak pinggang, Nindya membentak Aluna.
"Aku sudah bersabar lebih dari enam bulan, Nindya. Selama itu kamu tidak membantuku membayar uang Bunda."
"Kubayar! Nanti kubayar! Mulai sekarang, jangan dekat-dekat aku lagi!" Lalu gadis itu masuk ke mobil miliknya, meninggalkan Aluna sendiri di koridor Fakultas Ilmu Komputer kampus ini.
Aluna duduk sendiri pada bangku besi panjang. Ia menunduk berfikir. Harus bicara apa dia pada Mas Bima nya? Bertengkar dengan Abimana adalah hal yang tak pernah ia inginkan. Hanya Abimana keluarga yang ia miliki dan ia ingin menjaga kakak semata wayangnya itu. Namun, ini masalah uang. Aluna membantu Nindya memberikan pinjaman hingga ia memberanikan diri meminjam uang Bunda panti.
"Mau teh hangat?" Satu gelas kertas terulur di depan Aluna. Ia menoleh pada laki-laki dengan kaus berlapis kemeja flanel yang duduk disampingnya.
Aluna menunduk tak menjawab ataupun menerima minuman hangat itu.
"Seriusan. Tadi lagi promo di Lawson. Aku beli Coffeemix, eh dikasih gratis teh manis. Mungkin kasirnya naksir aku," canda laki-laki itu pada Aluna. "Gak ada yang minum, nih. Buat kamu aja."
Malu-malu, tangan Aluna akhirnya terulur menerima gelas berisi teh hangat itu. "Terimakasih, Anggara," ucap Aluna lirih, parau, dan gemetar kedinginan.
Anggara tersenyum manis. Lesung pipitnya tercetak sempurna di pipi. "Masih inget aku, ternyata. Kita satu SMA tapi gak pernah tegur sapa."
Aluna hanya mengangguk dan tersenyum canggung. "Di beberapa mata kuliah, kita sekelas juga sekarang."
"iya." Anggara mengangguk. "Kamu nunggu hujan reda?"
"Iya."
"Sama. Aku antar pulang ya. Aku juga nunggu hujan, kok. Mama bilang tidak boleh naik motor saat hujan."
"Aku pulang sendiri saja," tolak Aluna.
"Kenapa? Rumah kamu bukannya---"
"Aku tidak tinggal dirumah," jelas Aluna lirih.
Anggara diam. Wajahnya menatap intens gadis itu dan menunggu penjelasannya.
"Aku ... tinggal di panti asuhan. Sejak sekolah dasar sampai sekarang."
"Kamu ...?" pelan-pelan Anggara ingin memastikan apa yang terjadi pada hidup si gadis pendiam dan kutu buku ini.
Aluna mengangguk. "Aku yatim piyatu. Yang dulu selalu mengambil raporku adalah Bunda Asuh panti atau Masku. Mas sekarang sedang PTT di Halmahera. Tidak pulang hingga tahun depan. Aku tidak berani sendiri di rumah, jadi ... aku tinggal dipanti asuhan."
"Tidak apa, tetap aku antar." Anggara mengangguk memahami cerita Aluna. "Tadi aku lihat Nindya marah-marah. Kalian bertengkar?"
Lagi, Aluna mengangguk. "Aku menagih uangku pada Nindya. Dia marah. Padahal itu uang Bunda panti dan aku harus mengganti uang itu untuk belanja makan kami. Aku bingung."
"Aluna, lihat aku," pinta Anggara. Aluna yang sejak tadi hanya memandangi sepatunya yang basah, kini menoleh dan menatap wajah Anggara. "Aku ada pekerjaan. Kamu mau membantu? Aku sedang membangun aplikasi jual beli. Ada investor yang mendanai proposal bisnisku ini. Kalau kamu mau, kita bisa mulai jalan. Investor itu mau mendanai seharga profesional meskipun kita masih berstatus mahasiswa."
Aluna mengerjap setengah terkejut. "Benarkah?"
Anggara mengangguk antusias. "Iya. Dan aku hanya ingin membangun aplikasi ini dengan orang yang tepat. Aku rasa ... kamu orang itu."
"Aku ... belum tentu mampu, Anggara."
Anggara tertawa kecil. "Kamu selalu menjadi juara umum di angkatan kita saat SMA. Lalu, sekarang jadi andalan dosen di beberapa mata kuliah. Aku punya alasan kenapa mau kamu yang mendampingi aku, Luna."
Aluna tersipu malu. Ia mengulum senyum. Berusaha menyembunyikan buncahan bahagia di hatinya. Ternyata, ada juga laki-laki yang mampu melihatnya bukan dari sifat dan penampilan.
"Hujan sudah agak reda. Ayo, aku antar pulang." Anggara berdiri lantas melepas kemeja flanelnya, lalu menyodorkan benda itu ke Aluna. Gadis itu mendongak menatap Anggara bingung. "Biar gak masuk angin. Pakai ini. Aku ada jaket kulit di motor," jelas Anggara dengan senyum manis menenangkan. "Jangan kaget kalau nanti aku ngebut ya!" Kerlingan mata penuh canda itu, seketika menghentikan waktu Aluna sesaat. Ia terpaku membisu hingga laki-laki itu menduluinya jalan menuju parkiran motor.
Aluna, pertama kali jatuh cinta.
******
Mata Aluna terbuka. Mimpi dan kejadian itu lagi. Saat dimana Aluna tak lagi merasa sepi dan sendiri. Ada orang lain yang sejak saat itu, selalu ada di hari-harinya. Tertawa, belajar, dan berbagi bersama.
Menghela napas berat, netra Aluna melirik angka pada jam digitalnya. Sudah waktunya ia bersiap ke kantor lagi. Owh, jangan lupa untuk menyiapkan seragam sekolah Gio, Faisal, Erlangga dan Delisha.
"Pagi, Mbak." Aluna menyapa Pramitha yang tengah menyeduh kopi untuk suaminya.
"Mau minum apa, Lun? Teh?" tawar wanita yang sudah cantik bahkan disaat matahari belum terbit.
Aluna menggeleng, "Kopi. Sama seperti Mas," pinta Aluna. "Aku siapian bajunya anak-anak dulu, Mbak. Oya, minta tolong Mas Bima mandikan Erlangga. Ada ruam di punggung belakang anak itu. Biar di cek sama Mas Bima sekalian."
Pramitha mengangguk seraya mengoleskan selai pada roti-roti yang akan menjadi bekal anak-anak asuh mereka. Si Ibu asuh baru ini, sedang semangat-semangatnya belajar memasak.
Aluna terdiam sesaat memperhatikan kakak iparnya. Wanita ini bangun jam berapa, mandi jam berapa, sudah rapih dan cantik saja sepagi ini. Padahal sejak hamil, kakaknya tak lagi membolehkan Pramitha bekerja di rumah sakit. Wanita itu hanya akan sibuk di rumah dengan beauty vlog dan instagramnya. "Oya, sama ada acara di sekolah Gio. Tapi kayaknya aku gak bisa datang. Mbak dan Mas Bima, mau kan dateng?"
"Iya. Nanti aku hubungi Sarah kalau soal Gio," jawab Mitha. "Oya, tumbler kamu, mau diisi apa? Teh Chammomile? Aku punya. Atau mau cobain Earl grey pake lemon tanpa gula?"
"Enggak, Mbak. Diisi kopi aja, tumblernya. Kopi hitam dengan gula. Itu sudah cukup."
Tumbler. Aluna baru teringat. Tumbler yang semalam itu ... pemberian mantan kekasih kakak iparnya. Ia menghela napas lagi. Ia harus seperti apa pada Ethan?
Aluna tengah menyisir rambut panjangnya. Ia bercermin dan menatap lekat pada pantulan wajahnya. Pikiran adik Abimana itu bertanya pada dirinya. Bagaimana cara agar Angga mampu melihatnya lebih dari yang sekarang ini? Atau ... bagaimana caranya agar dia bisa keluar dari cinta dalam diamnya pada sang sahabat? Aluna kini memakai kaca matanya. Ia teringat Ethan. Ia kembali bertanya pada hatinya. Apa yang harus ia lakukan pada pria bermata hitam kebiruan itu? Sejujurnya ..., Aluna sedikit terharu dengan perlakuan manis Ethan padanya. Namun, mengingat ada masa lalu diantara Ethan dan Pramitha membuat Aluna harus berpikir ribuan kali sebelum mengambil keputusan untuk dekat dengan pria itu.
Ponsel Aluna berdering. Tanda pesan masuk.
Ethan : Aku on the way menjemput kamu. Jangan pergi dulu.
Aluna : Tidak usah, saya bisa naik taksi atau bareng Mas Bima.
Ethan : Terlambat. Saya sudah di depan rumah kamu. Pramitha tampak beda mengasuh anak-anak dengan seragam sekolah itu. Apa dia tidak kelelahan?
Sial! Aluna bergegas mengintip ke arah luar. Ada Harrier hitam milik Ethan terparkir di depan rumah dan Pramitha yang tengah mengantar anak-anak memasuki jemputan sekolah mereka. gadis itu lantas bergegas mengambil tas, lalu berlari keluar rumah.
"Mbak, cepetan masuk! Mas Bima udah kesiangan kayaknya." Aluna berteriak seraya berjalan cepat keluar pagar. Tak sempat memperhatikan wajah Pramitha yang penuh dengan tanda tanya.
"Good morning," Sapa Ethan dengan suara bariton seksinya. Mata tajam itu terlindungi kaca mata hitam yang entah mengapa, menambah maskulinitasnya.
"Saya sudah bilang. Jangan kerumah ini jika sedang ada Mbak Mitha! Saya tidak ingin---" Aluna membatu. Ia blank seketika kala Ethan mengecup singkat bibirnya pagi ini.
"Aku sudah bilang. Tidak ada Pramitha dalam kedekatan kita. Semua hanya soal aku dan kamu." Tangan Ethan menggapai persnelling lalu menjalankan kemudi mobilnya. Tak memperdulikan Aluna yang wajahnya tiba-tiba pucat.
Satu menit ... sepuluh menit ... tiga puluh menit. Ethan sedari tadi tetap fokus pada kemudinya di tengah lalu lintas yang padat. Sesekali, pria itu mencuri pandang pada Aluna yang duduk bagaikan patung. Sedang Aluna, tetap membisu dan tak tahu harus bagaimana.
"Jangan tegang, Aluna. Aku melakukan itu hanya ingin mengingatkan beberapa hal." Ethan berucap santai seolah mengecup bibir gadis polos seperti Aluna, bukanlah dosa besar.
"Saya akan tetap ingat jika Bapak pernah menjalin hubungan dengan kakak ipar saya,"
Ethan menggeleng seraya tertawa lirih. "Bukan ... bukan itu yang ingin aku ingatkan padamu. Satu, Aluna, kamu harus mau menjadi orang terdekat saya saat ini. Karena, saya tidak memiliki tunangan seperti pria yang menjemput kamu semalam. Kedua, saya lebih bisa kamu andalkan dari pada dia yang ruang batasnya terbatas karena saya tahu betul sifat kekasihnya."
Jika tadi wajah Aluna pucat akibat kecupan Ethan. Kini wajah gadis itu semakin pasi layaknya tak memiliki liran darah lagi. Mengetahui bahwa Ethan, tahu tentang Anggara dan hubungan rahasia mereka.
******
Happy Reading!
Jangan lupa vote, yess ...
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top