7. Kopi pagi
"Pagi, Aluna."
Aluna melirik angka yang ada di jam tangannya. Jam tujuh lebih sepuluh. Tumben hari ini dia tepat waktu. Tidak seperti biasanya yang baru datang jam sembilan.
"Kita ... jadi ngopi, kan?" Ethan menghampiri Aluna yang tengah mengecek beberapa laporan trouble di aplikasi chatting internal milik Elba's.
Aluna menoleh pada asal suara itu. Matanya mengerjap. Astaga, Ethan pagi ini tampak tampan. Kemeja biru langit, entah mengapa terlihat menenangkan. Senyum manis dan lembut yang ia sunggingkan bahkan mampu menghipnotis Aluna tanpa sadar.
Namun, Aluna dan kemampuannya menutupi hati dan perasaan, hanya membalas senyum itu dengan tatapan datar dan biasa saja. "Kebetulan ada beberapa trouble yang harus saya remote sesaat lagi. Jika tidak keberatan, di pantry lantai ini saja."
Ethan mengangguk, lantas berjalan mendahului Luna menuju pantry.
Aluna mengembuskan napas pelan. Gadis itu sejak semalam berusaha untuk abai dan melupakan apa yang ia dengar dari sahabat boss-nya kemarin siang. Apa yang Ethan lihat dari dirinya hingga pria itu ingin menjadi dekat?
Beranjak dari kursi, adik Abimana Barata itu menyusul Ethan menuju pantry dan mendapati satu cappucino sudah tersaji dengan croisssant isi keju yang menemani di meja.
"Sebelum kesini, saya mampir toko roti dan membeli croissant ini." Ethan menjelaskan saat Aluna menatap piring kecil berisi dua croissant itu.
"Roti seperti ini, di kantin karyawan ada," celetuk Aluna seraya duduk di salah satu kursi.
Ethan tersenyum tipis, "Tapi ini beda."
Tak lagi menjawab, luna mengambil cangkir dan menyesap cappucinno hangat itu pelan. Ya, kopi di pagi hari memang menenangkan. Membayangkan banyak hal pada sistim aplikasi yang harus ia perbaiki, membuat sedikit penat hadir di kepalanya.
Beberapa menit mereka saling diam. Aluna hanya fokus pada cairan kecoklatan di dalam mug itu seraya menetralkan kegugupan yang sejak tadi melanda. Sedang Ethan, pria itu tak lepas mengamati setiap inchi wajah dan tubuh gadis dihadapannya.
"Kamu belum menjawab pernyataan saya, Luna."
Aluna medongak menatap Ethan penuh tanya.
"Pernyataan saya kemarin. Saya ingin dekat dengan kamu."
Diam-diam, Aluna menelan ludah. Ia tak tahu harus menjawab apa. Seumur hidupnya, jujur hanya Anggara pria yang dekat dengan dirinya. Tak ada pria lain. Apalagi pria seperti Ethan. "Bukankah pernyataan tidak perlu jawaban?"
Ethan menyernyit sesaat, lalu tersenyum tipis yang entah mengapa, mampu menambah debar dan gugup di hati ipar Pramitha itu. "Jawaban bukan hanya untuk pertanyaan, Aluna. Pernyataan dan ajakan juga butuh jawaban," jelas pria itu. "Bagaimana jika saya mengajak kamu untuk berkencan? Kamu harus menjawab, bukan?"
Aluna lagi-lagi menelan ludah. Kali ini dengan tenggorokan yang terasa tercekat. Perlahan, ia menyesap cairan yang diharapkan mampu mengembalikan kesadaran dan fokusnya dari pria yang gadis itu sadar, bukan tandingannya.
"Aluna?"
"Ya?"
"Bagaimana?"
Hening. Tak ada suara apapun dari Aluna. Gadis itu menunduk dengan tangan gemetar yang mencengkeram gelas kopi. Kencan? Seperti apa bentuk kencan? Aluna sekalipun belum pernah melakukan itu.
Dan saat ini, bukan hanya kedua tangan Aluna yang gemetar. Tubuhnya pun ikut bergetar kala dua telapak tangan Ethan, membungkus tangannya yang masih setia melingkari gelas kopi berlambang Arnold Property. "Saya serius ingin lebih dekat dengan kamu dan kamu harus mau."
Sekali lagi hening. Aluna butuh waktu untuk merangkai kata. Harap maklum, wanita itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan layar dan jutaan kode aplikasi, daripada manusia apalagi pria.
Aluna hendak berucap, sebelum ... "Mati lampu!" Aluna seketika panik. "Server! Saya harus cek server dibawah!" Tak lagi menghiraukan apapun yang terjadi di pantry lantai ini sesaat lalu. Ia lantas melepas genggaman tangan mereka dan beranjak pergi secepat mungkin.
"Aluna! Lift juga pasti mati!" Ethan berteriak.
"Saya pakai tangga! Donna dan Cantika butuh saya. Pak Sastro hari ini tidak masuk."
Sekejap mata, gadis incaran Ethan seketika tak terlihat.
.
.
"Bapak ini bagaimana!?" Cantika bersuara tinggi penuh emosi. Gadis itu sepertinya lupa jika ia hanyalah vendor yang harus selalu menjaga sikap di depan klien. "Kalau mau matikan aliran listrik satu gedung, bilang-bilang dong!"
"Lah Mbak, ini kan masih pagi. Setengah delapan saja belum. Jam kerja Arnold Property itu dimulai jam delapan. Kok Mbaknya sewot? Komputer juga belom pada nyala semua." Pria berperut buncit tak mau kalah. Cantika baru tau bahwa dialah yang meminta teknisi mematikan total semua arus listrik pagi ini.
Donna hanya diam mematung. Wajahnya bahkan sudah mau basah karena air mata.
"Pak! Maaf ya, Bapak sudah kerja berapa lama urusin gedung? Kalau mau putus aliran listrik, seenggaknya woro-woro dong!"
"Cantika!" Aluna memanggil sahabatnya dengan napas naik turun. Yah ... meski hanya turun tangga, dia berlari.
"Anjay, Lun! Mati listrik gak pamit-pamit. Server bisa mampus ini!"
"Aduh, Mbak! Biasa aja, sih!" Bapak dengan name tag Totok S itu tetap ngotot. "Saya kan cuma matikan listrik satu menit saja! Kok hebohnya kayak saya matikan aliran listrik satu tahun!"
"Ada apa ini?" Ethan datang dan melihat Donna yang sudah menutup wajahnya.
Pria berseragam ala teknisi itu menggangguk hormat sebelum menjawab pertanyaan Ethan. "Sinkronisasi genset, pak. Tiga genset yang ada di basement mau kami sinkronkan agar jika ada pemadaman listrik, genset tersebut bisa langsung mem-back up kebutuhan listrik seketika tanpa harus merasakan mati lampu meski beberapa detik."
"Lalu kenapa tadi sempat mati?"
"Hanya satu menit," sanggah pria itu. "Kami butuh satu menit memadamkan listrik untuk uji coba berapa lama waktu yang genset itu butuhkan untuk mem-back up kebutuhan listrik jika belum di sinkronkan. Data itu yang kami butuhkan untuk meminta vendor listrik membuat alat setting sinkronisasi."
"Satu menit, Ya Allah ...!" Cantika histeris. "Satu menitnya Bapak udah berhasil hancurin hidup saya!" Gadis itu kini bahkan menutup wajahnya sambil membenturkan kepala ke lemari berkas.
"Ya Allah, Mbaaak ...," Bapak itu ikutan heboh. "Saya cuma matiin listrik! Bukan ambil perawannya Mbak!"
"Maaf, Pak," sela Aluna datar, namun nada bicara gadis itu cukup menekan. "Saya hanya mau kasih tau kenapa dua rekan saya jadi begitu. Bapak tau ruangan dengan dua AC khusus di pojok sana?" Aluna menunjuk pada satu ruang kecil di lantai itu. "Meski gedung ini sudah tersedia AC central, namun khusus ruangan itu, kami menambah dua AC lagi. Kenapa? Ada server seharga lima milyar yang harus kami jaga seluruh isi datanya."
Bapak itu tiba-tiba membeku. Wajahnya mulai pasi.
"Satu menit kegiatan sinkronisasi bapak, mampu membuat tim saya lembur selama satu minggu bahkan lebih, untuk sinkronisasi data yang pastinya, sudah berantakan atau bahkan hilang."
Kini Ethan juga ikut terdiam, membisu, dan membeku. Sebesar ini kah tanggung jawab anak buah Ernest?
"Tapi kan ... ini bukan jam ...," sanggah pelan pria paruh baya itu.
"Bukan masalah jam kerja," sela Aluna lagi. "Server bekerja dua puluh empat jam sehari dan tujuh hari dalam seminggu. Aplikasi yang kami buat, membutuhkan server itu tetap hidup agar semua data mampu diakses kapanpun dimanapun oleh siapapun di Arnold Property ini. Bahkan, tak menutup kemungkinan di akses oleh Tuan Benedict dari Australia sana."
Kini Pak Totok melirik Ethan takut-takut. "Saya minta maaf, kalau begitu," cicit sesal pria itu akhirnya.
"Percuma, Pak, maaf bapak. Udah gak kepake," isak Donna. "Intinya mulai malam ini tim kami lembur. Bapak mungkin belum tau ya? Industri teknologi informasi itu, nyawanya listrik. Bayangin kalo Mitradagang dot com lagi flash sale, eh kantor dia mati lampu dan servernya down. Rugi bandar itu owner-nya!"
Mitra dagang? Owner-nya? Astaga! Aluna lupa jika ia ... juga harus bekerja setiap malam untuk Anggara! Bagaimana nanti jika harus lembur betulan?
"Ehm," suara Ethan membuat seluruh orang di lingkaran itu menoleh padanya. "Saya akan meminta tim IT kami membantu tim Elba's untuk memperbaiki data paska matinya server itu. Untuk biaya lembur, saya akan katakan pada Ernest bahwa Arnold Property yang akan menanggung. Jika Elba's mau menambah tim, kami tak masalah menambah biaya."
Aluna menoleh pada Ethan. Menatap pria itu. Tatapannya berbalas. Ethan menatap tepat pada mata Aluna dan memberikan binar penuh ketenangan. Seakan pria itu ingin memastikan pada Aluna, bahwa ia akan berusaha untuk ada membantu mereka.
"Bahkan selama kamu lembur nanti," ucap Ethan dengan tetap mengunci tatapan mata itu. "saya akan selalu ada disini untuk menemani kamu, Aluna."
Aluna lemas pagi-pagi. Otaknya memikirkan lembur yang entah sampai jam berapa setiap hari, Ethan dan pendekatannya, serta ... tanggung jawab dia pada aplikasi jual beli milik Anggara. Bagaimana ia harus mengatur semua itu nanti? Ia merogoh saku dan mengambil ponsel yang selalu ia bawa kemanapun. Ia harus memberitahu pelanginya.
Luna : Anggara, ada masalah di klienku dan kami harus lembur selama satu minggu bahkan bisa lebih. Sepertinya aku ... tidak bisa meretas aplikasi kamu seperti biasanya selama masa itu. Bagaimana?
Anggara : Aku berdoa semoga kamu selalu ada waktu untuk membantuku melawan peretas culas yang berusaha memberiku masalah.
Luna : Aku tidak bisa janji. Kali ini masalahnya ada di server. Kamu tau itu bukan masalah kecil
Anggara : Berusaha untukku, Luna. Aku percaya kamu mampu.
"Aluna!" Panggilan itu membuat Luna meninggalkan percakapannya dengan Anggara.
"Ya?"
"Jaga kesehatan. Mulai sekarang, kamu harus makan siang dan malam dengan saya." Ethan bertitah sebelum beranjak meninggalkan seluruh orang yang mendadak menatap Aluna penuh tanya.
********
Besok libur Up, yess!!! Mau kerumah Vania Rahma ( Yang baca Mitha inshaallah inget karakter ini.) nebeng makan sama minta es disana hahahahaha ...
Happy reading! Jangan lupa vote!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top