6 Perubahan Ethan
Ponsel Ethan bergetar lagi. Lagi-lagi, pria itu tak menghiraukan panggilan dari Veronica. Ia hanya melirik nama yang terpampang sebagai penelepon, lantas kembali tak acuh dan memilih fokus pada pekerjaannya.
Ini sudah satu bulan sejak Aluna resmi duduk di lantai top management berada. Sebagai programmer yang Elba's tugaskan untuk membantu para petinggi memonitor pekerjaan bawahan mereka dari aplikasi buatan Aluna dan kawan-kawan, Aluna sangat terampil dan selalu mampu memberikan solusi bagi para penggunanya.
Sejak satu bulan lalu itu pula, Ethan memutuskan untuk 'break' dengan teman berbagi malamnya. Ia harus menjalankan misinya. Menghancurkan hati Aluna dan hidup Abimana. Jika semua itu berhasil, langkah selanjutnya, tinggal merebut Pramitha untuk kembali ke pelukannya.
Lalu, apa langkah pertama misi balas dendam Ethan?
"Siska," panggil pria bermata hitam kebiruan itu pada sekretarisnya melalui sambungan intercom. "Tolong panggil Aluna untuk masuk ke ruangan saya," pinta Ethan.
Tak lama, sosok pendiam, datar, dan ala kadarnya menurut Ethan, datang. Gadis itu hanya memakai celana bahan hitam dengan kemeja putih bercorak bunga hitam. Sungguh tak ada keindahan dan terkesan tua. Kasihan Pramitha, batin Ethan. Citranya sebagai pencipta keindahan wanita bisa hancur akibat kesederhanaan adik iparnya.
"Ada yang bisa saya bantu?" sapa Aluna sopan, datar, dan ala kadar. Tidak ada nada menggoda atau sok ramah dari perempuan itu.
"Ehm, ini. Saya kenapa tidak bisa log in di divisi marketing, ya? Saya mau monitor sales planning mereka untuk tiga bulan kedepan sebelum produk baru kami launching," basa-basi Ethan.
Aluna maju mendekati meja kerja Ethan. Menunduk agar bisa menyentuh keyboard komputer pria itu untuk membantu membuka akses yang diminta. "Bapak sebaiknya hubungi Bu Emily agar bisa mendapat sandi dan akses menuju divisi ini. Karena kami men-setting hanya Ibu Emily yang bisa menyetujui akun siapa saja yang bisa masuk dan melihat pekerjaan divisi marketing dan PR," saran adik Abimana seraya membuka akses. "Jadi, lain kali tidak perlu memanggil saya hanya untuk membuka akses. Cukup hubungi para pemegang kunci dan Bapak bisa bebas keluar masuk aplikasi divisi manapaun."
Wajah Ethan dan Aluna, berjarak tipis. Ethan sengaja mendekatkan wajahnya saat Aluna tengah konsentrasi membuka akses pada aplikasi buatan gadis itu. Ethan tersenyum tipis kala netranya mengamati setiap lekuk wajah Aluna. Sangat tidak menarik, batinnya menilai.
"Sudah, pak." Aluna seketika terperanjat mengetahui ia berjarak sedekat ini dengan seorang pria. "Saya permisi," pamitnya seakan ia harus segera keluar dari kandang singa ini.
"Sebentar, Luna." Ethan mencengkeram pergelangan tangan Luna dan pria itu tak sengaja menyentuh jam tangan yang ia beli di Milan saat menjadi kekasih Pramitha lalu.
"Ada apa?"
"Ini ..." Ethan menatap jam tangan indah yang tadinya, ingin ia gunakan sebagai tanda cintanya pada Pramitha. "Kamu yang meminta, apa dia yang memberikannya padamu?"
"Mbak Mitha yang memberi dan saya menerima karena saya tau ini pemberian mantan kekasihnya. Mbak Mitha berkata bahwa ia hanya mau menggunakan barang yang diberikan oleh Mas Bima."
Mantan kekasih, baiklah. Ethan memang harus sadar jika dirinya hanyalah mantan kekasih dari kakak ipar perempuan di hadapannya ini.
Ethan tersenyum seakan ia ikhlas dan turut bahagia atas Pramitha dan rumah tangganya. Ia tak lantas melepas genggamannya pada telapak tangan Aluna meski gadis itu mencoba menarik tangannya. "Sebentar lagi makan siang," ucap Ethan tak penting.
Aluna mengangguk, "Donna sudah menunggu saya di kantin karyawan."
"Mau makan bersama?" tawar Ethan.
"Tidak, terimakasih."
Ethan menatap Aluna teduh, "Saya hanya ingin mengenal kamu lebih jauh."
"Maaf, saya tidak tertarik."
Senyum tetap terbit di bibir Ethan meski hatinya sudah jengah mendapat penolakan dari wanita yang tidak menarik sedikitpun bagi dirinya. "Saya ... ingin minta maaf. Sempat salah sangka saat pertama kali kamu datang ke tempat ini. Saya merasa seperti tuan rumah yang tidak sopan," basa-basi Ethan. "Kamu ... mau kan, memaafkan sikap saya dulu?"
Aluna mengangguk, "Sudah saya anggap angin lalu. Saya permisi."
"Bagaimana dengan kopi? Besok pagi?"
Netra berbingkai milik Aluna mencoba mencari apa yang pria di hadapannya ini inginkan. Ada binar ketulusan dan permohonan dimata pria itu. Entah mengapa ..., Aluna merasa ia jahat jika tak membuka satu pertemanan dengan klien potensial kantornya ini.
"Baik. Tapi kopi pantry ... atau cafe karyawan di pojok kantin. Bagaimana?"
Ethan mengangguk semangat. "Boleh. Toh saya juga karyawan di sini, kan?" Senyum sejuta pesona itu, perlahan berhasil memukau adik Abimana. Bagaimanapun, Ethan adalah salah satu idola Aluna. Ethan, kulit eksotisnya akibat berjemur, tubuh bisepsnya, caranya dia berbicara di depan kamera, dan bebagai gayanya saat berada di berbagai belahan dunia. Tak ada satu wanitapun yang bisa lolos dari perangkap maskulinitasnya.
.
.
"Alhamdulillah ... rejeki banget sumpah kita ditugasin disini," ucap syukur Cantika yang tengah menyedot jus Mangga dan mulai menikmati caesar saladnya.
"Hooh, Puji Tuhan banget!" tambah Donna yang bahagia karena asupan camilan berat dan gurih, bisa dia akses secara gratis di kantin ini. "Kemaren gue nyobain ayam geprek keju. Sekarang gue dapet pasta yang saosnya gilak enak bangets!"
"Gak perlu bawa bekal lagi, ya." Aluna tersenyum seraya menyendok nasi padang yang ia ambil dari salah satu counter makanan sesaat lalu. "Arnold Property gak setengah-setengah kasih fasilitas ke karyawan."
"Embeerrr ...," koor Cantika dan Donna.
"Eh, Lun. Sorry nih ya ...," Donna memulai topik baru. "Gue perhatiin tuh, Pak Ethan sering banget nyusahin elu. Dia gaptek?"
Aluna menggeleng, "Enggak. Dia cuma minta bukain akses ke divisi yang bukan dia pemegang authorized access-nya. Dia suka kepo ke kerjaan divisi lain."
"Tapi aneh, menurut gue," sangkal pemuja Ernest itu. "Dia sering banget nyamperin elu ke meja lu dan tanya hal gak penting. Sumpah, gue pikir dia ganteng-ganteng gaptek, lho. Terus, lo sadar gak sih, dia suka curi-curi pandang ke elu?"
"Ethan naksir elu kali," timpal Cantika.
"Gimana gue mau sadar? Mata gue kan fokus ke layar," jawab Aluna sekenanya. "Lagian, perasaan lu aja kali. Gak mungkin banget cowok kayak Ethan diem-diem naksir gue. Ceweknya dia banyak. Di vlog travelling-nya aja, dia gak pernah sendiri. Selalu ada cewek yang temenin dia setiap perjalanan dan petualangan."
"Ya itu guest star atau co-host. Wajarlah ikutin Ethan sepanjang perjalanan. Lagian, akhir-akhir ini, udah jarang loh dia masuk infotainment. Udah gak laku, kali ya?"
Cantika tertawa kecil mendengar pertanyaan Donna. "Bukan gak laku, emang lagi hiatus, kan? Lah tau sendiri tiap hari ngendon di lantai atas sama Luna," jawab cantika tanpa mengurangi tawanya. "Tapi hati-hati juga, Lun. Kadang, analisa Donna itu bisa bener loh! Kita harus akui, kalo Donna, selain senior programmer, dia juga analis kebanggaan Pak Ernest," puji wanita berhijab itu. "Jadi ... bisa jadi apa yang Donna bilang tadi, mengandung kebenaran meski sedikit."
"Terbukti deh, sebentar lagi kebukti!" Donna tiba-tiba berbisik penuh keyakinan.
Dan ... analisa Donna bisa jadi terbukti! Aluna mengerjap heran saat pria yang tengah menjadi perbincangan mereka berjalan santai ditengah para karyawan yang tiba-tiba berbisik heboh dari meja mereka masing-masing. Ethan Arnold mengambil satu piring potongan buah dari salah satu counter makanan. Ditangannya juga sudah ada air mineral botol dingin.
Donna dan Cantika bahkan sempat menganga saat Ethan berjalan semakin dekat dengan meja mereka. Aluna bergeming dengan seribu tanya, apalagi yang idolanya lakukan saat ini? Pria itu duduk di sebelah Aluna, sebelum meminta ijin untuk bergabung yang langsung disetujui oleh kedua temannya.
"Bukannya besok pagi ya? janji ngopi kita?" tanya aluna lamat dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Janji? Ngopi?" Suara Donna dan Cantika serentak dengan wajah kaget menatap Luna. Seakan mengatakan 'kok bisa lo janjian ngopi?'
Ethan tersenyum manis pada Aluna dan kawan-kawannya. "Sekarang saatnya saya makan siang. Ternyata, makan dikantin karyawan, asik juga."
Aluna justru menoleh ke kanan dan ke kiri. "Tapi tempat kosong masih banyak, selain disini."
Tangan Cantika memukul punggung tangan Aluna pelan. "Gak sopan ikh! Ngusir yang punya kantin!" bisiknya penuh penekanan dan peringatan.
"Saya cuma mau ngobrol ringan kok sama kalian."
"Ada masalah pak, dengan sistim aplikasi buatan kami?" tanya Donna profesional.
Ethan menggeleng. "Bukan. Kita bisa ngobrol tentang Ernest dan bagaimana dia sebagai pemimpin di mata kalian. Atau ... tentang kalian agar kita bisa terasa lebih dekat."
"Heh?" Cantika mulai tak paham. Ia tidak pernah sedekat ini dengan pemilik perusahaan. Apalagi perusahaan besar.
Ethan menoleh pada luna dan tersenyum lembut. "Saya ingin tau banyak tentang Aluna. Saya ingin lebih dekat dengan dia."
Lalu nama yang baru saja disebut, mendadak tersedak rendang sapi yang baru saja ia telan.
Apa lagi ini, Ya Tuhan!
********
Happy Reading. Jangan lupa Vote, yess!!
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top