23. Lovey - Dovey

"Kamu pasti capek, ya? Dua minggu lebih begadang hingga dini hari."

Aluna tersenyum pada kamera yang menghubungkannya saat ini dengan Anggara. "Tidak," jawabnya sambil menggeleng pelan. Netra gadis itu melirik pada pojok kanan bawah dan mendapati ia baru saja selesai bekerja dengan Anggara di pukul dua dini hari.

"Maafkan aku," ucap Anggara penuh sesal. Melihat sahabatnya meregangkan tangan dan melemaskan lehernya. Gadis yang menjadi partner-nya ini, memang tahan banting. "Mau langsung tidur setelah ini?" Anggara tersenyum melihat wajah Aluna yang mengangguk. "Istirahatlah. Jika semua masalah disini sudah selesai sepenuhnya, aku akan ke Jakarta untuk menemui kamu."

"Benar?" Mata Aluna bersinar mendengar kabar dari sahabatnya. "Aku ingin bercerita padamu. Sesuatu terjadi padaku dan ... aku ingin membaginya denganmu. Bisakah nanti kamu meluangkan waktu untukku?"

Anggara terlihat mengangguk mantap. "Pasti. Kita akan pergi ke suatu tempat dan bicara berdua saja. Siapkan waktumu jika saat itu tiba nanti."

"Pasti. Apapun untuk kamu, Angga," jawab Aluna dengan senyum lembut dan mata sayu. "Aku tidur dulu, ya! Besok harus kerja lagi."

*****

"Yassalam ... yang lagi training jadi istri idaman." Cantika menggeleng saat melihat Aluna datang terlambat dengan mata panda khas miliknya. "Tau, tau ... lo lagi mesra-mesranya sama Pak Ethan. Tapi gak gini juga keleusss."

Ethan yang semula hendak keluar ruangan, urung. Sepertinya, mengintip dan menguping interaksi Aluna dan kawan-kawannya lebih asyik.

"Tidur jam berapa lo buat motongin daging sama ayam?" tanya Donna menggoda, "Trus bangun jam berapa buat mulai masak?"

"Kalian apaan, sih?" elak Aluna yang mulai membuka komputer jinjing dan mnghidupkan perangkat itu.

"Jaman sekarang yah, Lun. Istri idaman itu gak diukur dari bekal atau masakan. Banyak cara untuk kita menunjukkan kalau kita itu istri idaman. Contohnya Mpok lu, cakep plus banyak duit sama fans. Bodi Mpok Mitha tuh, gue yakin bikin Mas Bima betah. Udah idaman banget itu menurut gue." Cantika berpendapat.

Donna mengangguk. "Yang penting lagi Lun ..., bukan antara merica dan ketumbar yang harus lo inget terus. Tapi, antara La Senza dan Victoria Secret. Mana yang laki lo demen. Urusan yang satu itu, udah maha nomor satu, deh!"

"Kalian bicara apa?"

Cantika berdecak. "Aluna bener-bener, dah. Semoga bekal-bekal lo itu beneran bisa bikin Pak Ethan bertekuk lutut."

Dari ruang kerjanya, Ethan tersenyum menahan tawa. Bertekuk lutut? tentu saja pria itu sudah pada fase kalah telak terhadap Aluna. Bayangkan, lebih dari dua minggu lamanya Aluna membawakan bekal dan tak sekalipun bekal yang Aluna bawa mengecewakan dirinya. Memang jodoh, tanpa harus repot-repot menjelaskan, Aluna seakan sudah tau apa kesukaannya.

Mengintip dari kaca ruang kerja, Ethan mendapati Aluna sudah konsentrasi pada pekerjaannya di meja. Menghela napas dengan binar mata penuh sayang pada gadisnya, Ethan akhirnya meninggalkan posisinya berdiri saat ini, dan kembali ke meja kerjanya lagi.

Aluna : Saya bawa bekal lagi hari ini. Saya tunggu di pantry seperti biasa.

Ethan : Tidak. Di ruang kerjaku saja.

Aluna : Lebih enak di pantry.

Ethan : Untuk hari ini, di ruang kerja saja.

Aluna menghela napas lirih seraya menggeleng samar. Ethan dengan sifatnya yang suka memaksa dan kadang manja. Beberapa kali pria itu menggoda Luna saat makan siang mereka berdua. Ethan yang terkadang minta disuapi, Ethan yang minta makan satu sendok berdua, atau Ethan yang tidak mau menyentuh duri ikan hingga harus Aluna yang melakukannya. Pernah juga, Aluna bahkan harus menyuapi Ethan dengan tangan gadis itu karena kekasihnya yang memaksa. Kekasih? Aluna kini tersneyum sendiri. Apa ... hubungan mereka benar-benar sudah sedekat itu?

Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul dua belas dan para pekerja di lantai itu satu per satu beranjak menuju kantin Arnold Property. Kecuali Aluna. Gadis itu menuju pantry untuk membuat teh manis hangat lalu berjalan menuju ruang kerja Ethan.

"Tidak usah mengetuk. Ruangan ini bebas kamu masuki kapanpun," sambut Ethan saat membuka pintu ruang kerjanya. "Bekalnya mana?"

Aluna yang menggenggam dua mug di kedua tangannya, berjalan masuk menuju set sofa yang ada dalam ruang itu. "Masih di meja. Saya taruh ini dulu, lalu ambil bekal kita." Tersenyum, gadis itu lantas beranjak keluar ruangan dan kembali dengan bekal beberapa saat kemudian.

"Katakan pada Ernest, kamu tidak boleh pindah dari gedung ini selamanya. Maksudku, selama aku bekerja disini." Ethan sudah duduk di sofa panjang, tepat disebelah Aluna. "Makan siang dengan kamu sudah menjadi waktu kesukaanku," tambahnya dengan tangan yang merengkuh pundak Luna. "I Love you, Luna." Pria itu berbisik lirih ditelinga, lalu mendaratkan kecupan di pipi gadis itu.

"Tidak bisa," jawab Aluna dengan tubuh yang mencoba tetap fokus dari godaan-godaan Ethan. "Pak Ernest sudah menunjuk junior programmer yang akan melakukan perawatan pada sistim buatan kami. Itu sudah bukan lingkup kerjaku." Aluna sudah selesai membuka dua kotak bekal dan meletakkan tepat dihadapan mereka masing-masing. "Ayam bakar kalasan, menu siang ini. Suka tidak?"

Ethan tersenyum sumringah hingga memperlihatkan deretan gigi putihnya. "My most favorite grilled ever! Dari mana kamu tau aku suka ini!?" tanya Ethan antusias dengan binar penuh bahagia pada gadisnya. Aluna mengendikkan bahu dengan senyum yang jangan sampai Ethan tau artinya. "Kamu sungguh berhasil mengambil semua hati aku, Aluna."

"Mau ayam punya saya?" tawar Luna saat melihat Ethan yang menikmati menu itu layaknya orang belum makan satu tahun. "Saya bisa ambil rendang di kantin atau ayam penyet."

"Arkhania hanya membuat menu ini saat acara keluarga saja. Aku rindu cita rasa ayam bakar ini." Senyum Ethan semakin terkembang saat ayam milik Luna sudah sampai di kotak bekal Ethan. "Kamu serius memberikan ayam punyamu untukku?" tanyanya dengan wajah haru.

Aluna mengangguk dan mengulum senyum. "Semua bekal ini dibuat khusus untuk kamu. Saya hanya menemani kamu makan. Saya tinggal ke kantin sebentar ya, ambil lauk," pamit Luna yang dijawab Ethan dengan gelengan. "Lalu?"

"Suruh OB saja antar apa yang mau kamu ambil dari kantin."

Aluna mendengus pasrah lalu menelepon Donna untuk meminta tolong OB mengantar lauk untuk Aluna. Tak lama, rendang sapi dan paru goreng sudah tersedia di hadapan gadis itu. Mereka makan dalam hening. Bukan karena tidak ada topik, tapi lebih karena Ethan yang seperti enggan diganggu saat menikmati ayam bakar itu. Aluna menatap pria yang menjadi prioritasnya kini, penuh sayang. Ada keinginan untuk mengobati sakit atau menutupi lubang yang ada di hati pria itu. Aluna tau, Ethan bernasib tak lebih baik dari dirinya.

"Akhir minggu ini kamu di panti lagi?" tanya Ethan saat makan siang mereka selesai. "Aku ada undangan pesta di Pulau Tidung. Pulau tersebut akan tutup selama kami berada disana. Mau ikut?"

Aluna menggeleng. "Mas Bima tidak akan mengijinkan. Saya minta maaf,"

Ethan mendengus sebal. "Kita sudah dewasa, Luna. Kamu pun perhak untuk bebas."

"Saya tidak merasa dikekang," sanggah Aluna. "Semua yang Mas Bima beri sudah cukup membuat saya nyaman." Senyum Aluna yang sarat akan kasih sayang, entah mengapa mebuat hati Ethan berdesir hangat. "Ethan ...," panggil Aluna lirih saat wajah pria itu mendekati bibir Aluna.

"Say my name, Luna," pinta Ethan yang tetap mengejar wajah Aluna, meski gadis itu sudah bergerak mundur.

"Jangan ...," tolak Aluna halus saat gadis itu sudah sampai di pojok sofa. "Jika Mas tau, dia akan membunuh kita," tambahnya mengingatkan Ethan.

Ethan menyeringai. "Dia akan membunuhku, lebih tepatnya. Tapi ..., aku mau, Luna." Ibu jari Ethan bahkan sudah bergerilya di bibir Aluna

Dengan degup jantung dan kinerja hormon yang mendadak amburadul, Aluna berusaha tetap tersenyum. Gadis itu lantas mendaratkan bibirnya di pipi Ethan lama. Aluna merasakan pipi pria itu bergerak tersenyum. "Saya sayang. Tapi bukan berarti kita bisa melakukan itu sekarang," bisik Aluna malu-malu. "Saya belum siap. Maaf," lanjutnya lirih.

"Do you love me?" Tanya Ethan lembut dengan biar penuh cinta pada gadis di hadapannya.

Aluna mengangguk. Malu-malu dan ada rona merah pada wajahnya. "I do," jawabnya berbisik lirih namun telinga Ethan mampu mendengarnya jelas.

Gemas, Ethan merengkuh tubuh Aluna dan memeluk gadis itu erat. Ethan bahkan mendaratkan banyak kecupan di rambut, pucuk kepala, hingga beberapa bagian wajah kecuali bibir yang selalu Aluna jaga. Mereka sesekali tertawa lirih disela kemesraan ini. Aluna pun, meski canggung, mencoba memberikan beberapa kecupan di pipi Ethan seraya berkata, "Ini dulu saja, ya. Saya hanya bisa melakukan ini," ucapnya lalu mengecup rahang pria itu.

Namun kemesraan mereka siang ini harus terhenti saat ponsel Aluna berdering kencang.

"Siapa yang berani mengganggu!?" Ethan berteriak kesal saat Aluna merogoh kantungnya mengambil ponsel. "Pasti si sial Anggara itu atau ... Abimana?" dahi Ethan berkerut saat melihat nama Mas Bima pada layar ponsel Luna.

Aluna meringis tak enak hati. "Maaf. Ini pasti penting,"ucap Aluna seraya menggeser tombol hijau dan memulai percakapan mereka. "Mas yang tenang. Semua akan baik-baik saja." Ethan melirik Aluna penasaran. Ada apa dengan pria kurang tampan itu? "Iya, nanti Aluna yang urus itu semua. Mas fokus saja pada Mbak Mitha."

Ethan mendengus pasrah bercampur sebal. Kapan ya bisa bermesraan intim dengan Aluna tanpa ada pria yang datang ditengah mereka?

"Ada apa?" tanya Ethan setelah sambungan telepon Aluna terputus.

"Mbak Mitha melahirkan. Mas Bima panik luar biasa. Padahal, seluruh keluarga Mbak Mitha sudah ada di sana."

"Kakakmu memang terlalu berlebihan."

Aluna tersenyum simpul. "Semakin panik Mas Bima pada kondisi seseorang, semakin saya bisa tau bagaimana perasaannya."

"Hmm," tanggap Ethan malas. Pria itu kembali merengkuh Aluna dan mengangkat gadis itu hingga duduk di pangkuannya. "Sungguhan tidak ikut aku ke Pulau Tidung? Kita bisa bermain jet ski disana atau sekedar berjemur."

"Tidak. Aku sudah janji dengan seseorang di panti besok dan akan sibuk menjaga anak-anak karena mami dan papi mereka sedang menunggu kelahiran anak pertama." Aluna menangkup wajah Ethan dan menahan pria itu agar mulutnya tidak menjelajah kemana-mana lagi. "Lagi pula, Rainbow Land akan kedatangan tamu dan aku harus menggantikan Mas Bima untuk meeting bersama mereka."

"Biarkan aku mencium rambutmu, Luna."

"Tidak," tolak Aluna. "Yang tadi itu sudah cukup." Aluna kini beranjak dari pangkuan Ethan lalu bergerak membereskan sisa bekal makan siang mereka. "Jangan lakukan hal seperti tadi sering-sering. Itu tidak akan baik untuk kinerja kita disini," tegur Aluna dengan mata yang tetap fokus pada kotak bekal kosong mereka.

"Hanya satu kali sehari itu tidak sering, Luna," sanggah Ethan

"Tapi setiap hari seperti itu juga ... saya takut akan menjadi kebiasaan nantinya. Yang tadi itu tidak baik dilakukan ditempat seperti ini."

Ethan menyeringai jahil. "Kalau begitu, kita menikah saja. Biar bisa melakukan itu setiap hari, setiap malam, setiap waktu."

Aluna tersenyum menatap Ethan. "Katakan itu pada Mas Bima. Aku hanya akan melangkah pada pria yang sudah mengantungi restu darinya." Ethan mengangguk dan Aluna bersiap kembali ke meja kerja. "Jadi, sampai bertemu minggu depan. Karena akhir minggu ini, kamu tidak akan menemaniku di panti, bukan?"

"Yup." Ethan mengangguk. "Dan itu menyebalkan."

******

Terik matahari, embusan angin dan ... "Kelapa es tanpa gula?" Ethan mengangguk saat pelayan mengantar pesanannya yang tengah berjemur.

Weekend short get away seperti ini memang sering Ethan dan teman-teman terdekatnya lakukan. Mereka hanya menghabiskan satu malam dengan menyewa full satu pulau atau resort dan membuat pesta ala mereka.

Wanita cantik, seksi, dan menggoda dengan bikin berbagai model dan warna. Entah mengapa, kaum yang selalu berhasil menarik hati Ethan, kali ini tidak membuatnya respon sedikitpun. Melakukan percakapan dengan Aluna dan bertukar photo lebih menarik baginya saat ini. Tak peduli ejekan Ernest dan teman-teman lainnya yang mengatakan ia tak lagi menyukai kaum hawa.

"Sudah berhasil, hm?" Ethan melirik malas pada wanita berbikini merah transparan yang duduk di sampingnya. "Lalu ... aku bisa bantu apa untuk menghacurkan hati gadis itu?"

Ethan mendengus lalu membuka kaca mata hitamnya. Beranjak dari rebahannya, ia lalu menatap wanita berdarah campuran itu serius dan tajam. "Rencanaku berubah. Aku justru ingin memiliki dia dan berbahagia. Terimakasih jika kamu tak lagi menggangguku mulai saat ini, Veronica."

*******

Aku no check. Langsung publish. Maap kalo ada yang aneh atau kurang.

Happy Reading sayangnya Erneesstt ...!!! Jangan lupa vote dan komen yess!


LopLop

Hapsari








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top