22. Makan Siang Luna

Saya bawa bekal lagi hari ini. Mau bergabung di pantry?

Ethan tersenyum mendapati pesan dari Aluna. Tentu saja, jangankan di pantry, di manapun asal berdua dengan Aluna, dia mau.

"Another lunch, hah?" Sapa Ethan saat ia memasuki pantry dan mendapati Aluna yang sudah berada disana. Gadis itu tengah menata dua box bento berisi dua menu yang sama.

"Bisa buatkan dua gelas teh tawar hangat?" pinta Aluna saat netra wanita itu mendapati Ethan datang.

Ethan menautkan alis. "Aku," ucapnya seraya menunjuk dirinya dengan satu jari, "membuat teh hangat?" lalu jari itu berpindah menunjuk meja pantry.

Aluna menghentikan aktifitasnya. Menoleh lalu menatap Ethan dalam diam sesaat. "Owh..., maaf." Seakan mengerti, gadis itu akhirnya bergerak menuju tempat mug dan teh. "Saya lupa. Anda adalah atasan kami disini. Sekali lagi, saya minta maaf." Tanpa menoleh, Aluna berucap dengan tangan yang bergerak lincah menyeduh minuman itu.

"Bukan begitu, Luna." Ethan berjalan mendekati gadis pujaannya. "Aku hanya ...,"

"Terbiasa dilayani," sela Aluna datar.

"Bukan," sanggah Ethan tak terima. "Sejak dulu, aku tinggal sendiri dan tak ada yang melayani." Kecuali di ranjang.

Teh tawar hangat buatan Aluna sudah jadi. Gadis itu kini membawa dua mug ke meja pantry, lalu meminta Ethan duduk dan menikmati makan siangnya.

Mereka makan dan tak ada percakapan hingga beberapa menit. Netra Ethan kerap mencuri pandang pada Luna yang asyik dengan bekal makan siangnya. Pria itu sesekali tersenyum saat mengunyah. Mengingat, sejak malam dimana mereka berpelukan, Luna menjadi lebih terbuka padanya. Minimal, Luna seperti sudah membuka hati dan menerima dirinya. Buktinya, ini sudah hari ketiga gadis itu membawa bekal dan mengajak Ethan makan siang bersama.

"Aluna," ucap Ethan memecah keheningan ditengah makan siang ini.

Mendongak, Aluna menatap Ethan dengan raut tanya.

Ethan tersenyum. "Apa ini yang dinamakan chemistry, ya?" Luna semakin tak mengerti. "Bekal buatan kamu, somehow adalah makanan kesukaan saya."

"Kesukaan?" tanya Luna heran. "Itu masakan jawa dan indonesia," tunjuk Luna pada kotak bento.

"Iya," jawab Ethan seraya mengangguk. "Rasanya juga menyerupai masakan nenek saya."

"Nenek? Ibu Pak Bennedict bisa memasak garang asem?"

Ethan tertawa lirih, lalu tangan pria itu terulur mengusap lembut pucuk kepala Luna. "Saya sayang sama kamu, Luna," ucap Ethan. "Maksud saya, nenek saya dari keluarga Atmadja. Kamu lupa jika saya masih keturunan Indonesia?"

Mengendikkan bahu dengan tetap mengunyah makan siangnya, Aluna berusaha tidak terpengaruh dengan ucapan Ethan. "Saya hanya ... ingin Bapak makan dengan baik."

"Jangan menunduk terus dong," goda Ethan. "Coba tatap saya dan tersenyum."

Aluna mengangkat wajahnya menatap Ethan. Dari balik kaca mata, netra gadis itu menembus bola hitam kebiruan milik Ethan. Seakan ia mencoba memberikan pesan yang ada di dalam hatinya. "Kata orang, salah satu cara wanita menumbuhkan cinta di hati pria adalah dengan membuatkannya makanan. Satu cara lagi, dengan selalu berada di sisi pria itu dalam suka dan duka. Saat ini---"

"Ya ... ya ... saya tau," sela Ethan membuat Aluna tak sempat menyelesaikan ucapannya. "Kamu belum bisa menjadi milik saya dan berada di sisi saya karena kakak kamu, kan? Jadi, kamu menyatakan rasa kamu pada saya dengan cara ini. Kreatif," puji Ethan yang kini tersenyum dan melanjutkan makannya. "Masakan kamu enak, Aluna. Saya suka."

"Saya percaya," jawab Luna tanpa memutus pandangannya pada Ethan. "Bapak selalu menghabiskan bekal yang saya bawa. Apapun menunya."

"Saya tidak bisa berbohong jika soal rasa. Ini enak dan kamu berhasil membuat saya bahagia hanya dengan menu sederhana seperti ini." Ethan menatap Aluna dengan binar penuh cinta. Tangan Pria itu kini menggenggam satu tangan Luna yang tak memegang sendok. "Saya harap hal seperti ini akan berlangsung selamanya."

"Tidak mungkin," tolak Luna dengan gelengan pelan. "Implementasi kami di sini hanya tinggal beberapa minggu lagi. Saya akan kembali bertugas di Elba's."

Kedua tangan Ethan kini naik menangkup wajah Aluna dan menggoyangkannya gemas. "bukan begitu, Luna. Maksud saya, jika kamu menjadi milik saya, kamu akan melakukan hal ini untuk saya selamanya." Ethan terkekeh lirih melihat bentuk wajah Aluna saat ini.

Aluna tersenyum simpul saat tangan Ethan sudah pergi dari wajahnya. "Jika memang akhirnya begitu, saya akan belajar untuk memasak dengan lebih baik lagi."

"Ini sudah baik," puji Ethan lagi, "Enak, Sungguh. Tapi jika kamu ingin membuat yang lebih baik, tidak masalah." Ethan tersenyum manis sekali dengan wajah bahagia saat Aluna menjawab dengan anggukan.

Ponsel Aluna berdering. Netra Ethan yang sempat menangkap nama Anggara, membuat pria itu mendadak sebal. Anggara. Kapan pria itu bisa benar-benar hilang dari hidup Aluna?

"Iya. Nanti seperti biasa. Aku akan standby di jam yang sama dan kita akan melakukan itu bersama."

Mata Ethan membesar dan mulutnya bergerak tanpa suara. "Melakukan apa? Bersama?"

"Iya. Memang riskan jika kamu mempercayai hal ini pada orang yang salah." Aluna tak menjawab Ethan. Netra gadis itu hanya menatap Ethan yang wajahnya tampak bosan dan sebal. Sebenarnya Aluna ingin tertawa, namun pembahasan serius dengan Anggara tak bisa ia duakan.

"Hati-hati dalam mempercayai seseorang. Kita harus mencari tau sebelum memulai sebuah hubungan. Sekalipun itu hanya bisnis." Aluna bicara lagi pada Anggara. "Syukurlah jika masalah ini sudah membaik. Tapi aku akan tetap mengawasi dan memantau sekali lagi untuk memastikan bahwa bagian itu memang sudah mulai normal."

Bola mata Ethan berputar. Ia tak mengerti sedikitpun apa yang tengah Aluna bicarakan dengan Anggara. Bertopang dagu, Ethan menatap Aluna dalam diam. Memperhatikan gadis yang masih bicara entah tentang apa itu, seraya berfikir bagaimana caranya agar ia bisa secepatnya mendapatkan Aluna.

"Maaf," ucap Aluna saat sambungannya pada Anggara sudah terputus. "Ada masalah dengan sistim buatan Anggara dan kami sedang bersatu untuk memperbaiki itu," jelas Aluna pada pria yang berwajah masam didepannya. "Mohon untuk tidak berasumsi tanpa mencari tau lebih dulu."

Ethan menyeringai malas. "Asumsiku hanya satu sejak dulu. Pria itu ingin memiliki kamu dan aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

"Kami hanya sahabat dan dia sudah punya tunangan." Aluna mengambil box bento kosong Ethan dan miliknya, lalu membereskan sisa makan siang mereka dari meja pantry. "Bapak selalu minta pada saya untuk fokus pada kedekatan kita. Jadi, saya minta pada bapak untuk tidak berfikir selain itu juga." Aluna sudah selesai membereskan perbekalannya. "Saya kembali ke meja saya. Sampai bertemu lagi jika besok saya membawa bekal." Gadis itu tersenyum, lalu melangkah meninggalkan Ethan.

*****

"Bisa bicara sebentar?" Langkah Ethan terhenti dan ia menoleh pada asal suara. Abiaman Barata. Sedang apa pria itu di lobby kantornya sore ini? "Mumpung saya masih menunggu Aluna. Bisa kita bicara sebentar?" Abimana mempertegas nada bicaranya. Pria ini tak sekalipun berwajah santai jika berhadapan dengan Ethan.

Ethan mengangguk sekali lalu menunjuk salah satu set sofa yang ada di lobby besar itu. Abimana mengikuti langkah Ethan dan kini mereka berdua duduk bersama.

Sesaat, hanya hening diantara mereka. Ethan menunggu apa yang hendak Abimana lakukan padanya. Sedang suami Pramitha, masih berfikir harus memulai bicara dari mana.

"Pramitha ...," ucap Abimana memulai, "hanya masa lalu kamu. Saya tau itu. Tapi saya tidak lupa jika kamu pernah mengganggu dia dalam hubungan kami."

Ethan bergeming. Matanya tajam menatap Abimana dan telinganya fokus pada apa yang suami mantan kekasihnya ucapkan. Baiklah, sialnya, pria gemuk di depannya ini, juga calon kakak ipar jika ia berhasil memiliki Aluna. Double sial memang!

"Jika kamu pikir saya tutup mata pada perasaan Aluna terhadap kamu, itu salah. Saya tau apa yang adik saya simpan di hatinya."

"Kalau begitu, biarkan kami bersama. Kali ini, kamulah pengganggu dalam hubungan kami," sanggah Ethan santai.

Abimana menaikkan satu alis. "Posisi kita berbeda. Dulu, kamu benar-benar pengganggu Pramitha. Sedang sejak dulu sampai kapanpun, saya adalah pelindung Aluna."

Triple sial! Ethan mengembuskan napas kesal. Kenapa posisi dia justru terpojok saat ini? "Saya dan Pramitha hanya masa lalu. Kamu tidak perlu takut. Sekalipun wanitamu berlutut padaku memohon kembali, saya tidak mau." Ethan bicara pelan namun gestur serius dapat Abimana baca. "Sedang Aluna, dia memiliki rasa pada saya. Namun ia menahannya hanya demi 'pelindung' egois yang tak sekalipun memikirkan apa isi hatinya."

"Saya tidak egois," desis Abimana. "Sudah kewajiban saya untuk memastikan bahwa Aluna berada disekitar orang yang tepat. Sekalipun ia harus sendiri, saya pasti memastikan ia terlindungi. Dan kamu ...," Abimana mencondongkan tubuhnya lebih dekat pada Ethan, "belum bisa meyakinkan saya bahwa kedekatan kalian bisa dipercaya."

"Kamu meragukan Aluna?"

Abimana menggeleng. "Saya meragukan kamu."

Ethan tertawa mengejek. "Tanya adikmu. Apa pernah ia menangis selama ini? Apa pernah ia tidak bahagia saat bersama saya?" tantang Ethan dengan senyum jumawa.

Kini giliran Abimana yang mengembuskan napas. "Satu hal yang harus kamu ingat. Saya akan terus mengawasi Aluna, sekalipun ia akan dimiliki pria lain nantinya." Abimana menutup matanya sejenak seraya memijit pelipisnya pelan. Ini adalah hal yang entah mengapa, terasa berat baginya. Oh Tuhan, jika boleh Abimana meminta, tolong jangan Ethan yang Kau kirim untuk adiknya. Abimana membuka matanya dan kembali mengunci tatapan Ethan. "Saya hanya minta satu hal."

Ethan bergeming dan tetap menatap tajam Abimana. Jika boleh jujur, kedua telapak tangan kekar itu sudah dingin sejak tadi. Berhadapan dengan Abimana, ternyata cukup menyeramkan.

"Jangan ada penghianatan untuk Aluna. Apapun bentuknya itu."

"Mas Bima?" Panggilan Aluna mengurungkan Ethan yang hendak menjawab. Pria itu kini menoleh pada Aluna yang berjalan cepat mendekati kakaknya. "Kalian sedang apa?" Aluna bertanya dengan raut penuh curiga dan khawatir. "Semua baik-baik saja, kan?" tanya Aluna pada Bima. "Tidak terjadi apa-apa, kan?" kali ini, netra Aluna menatap Ethan penuh tanya.

Ethan tersenyum. "Kami hanya bicara tentang kamu. Tidak lebih."

Aluna menoleh pada Bima. "Benar, Mas?"

Abimana mengangguk. "Mas hanya memastikan pada pria ini. Jika memang dia ingin dekat dengan kamu, jangan coba-coba berhianat." Abimana menekankan kata terakhir ucapannya.

"Mas?" Aluna menatap Bima dengan binar penuh tanya sekaligus takjub. "Maksudnya?"

"Iya," jawab Abimana dengan helaan napas pasrah. "Pergilah dengannya jika memang itu yang membuat kamu bahagia. Tapi satu hal," pinta Abimana dengan tatapan penuh sayang pada adiknya. "pastikan kamu tidak disakiti olehnya sedikitpun. Mas sendiri yang akan membunuhnya jika itu terjadi."

"Mas ...," cicit Aluna lirih. Netra gadis itu kini berkaca mendengar ucapan kakaknya. "Aluna baik-baik saja dan kami---,"

"Tidak pernah ada masalah diantara kami," sela Ethan santai. "Kamu hanya terlalu khawatir."

Aluna menatap Ethan dan menggeleng pelan pada pria itu. Meminta agar Ethan jangan bicara apapun saat ini.

"Aluna sayang Mas Bima." Senyum Aluna merekah sempurna. Ia lantas memeluk sang kakak dan terisak didalamnya.

"Baju Mas basah. Sudah, jangan nangis," goda Abimana yang tertawa lirih seraya mengelus punggung adiknya. "Tapi tetap ya, pulang pergi harus sama Supri atau Mas. Jangan sama pria itu. Mas belum percaya sepenuhnya." Aluna mengangguk dalam pelukan sebelum melepasnya.

Ethan memutar bola mata. Pria di hadapannya ini, sifatnya melebihi nenek-nenek kolot.

"Terimakasih, Mas." Aluna tersenyum pada Abimana lalu netra gadis itu menatap Ethan. Ia memberi isyarat untuk mengucapkan hal yang sama pada kakaknya.

Menghela napas malas, Ethan akhirnya menatap Abimana. "Terima kasih atas kesempatannya, meski ruang gerak kami masih dibatasi---- baiklah, baiklah!" Ethan gusar dengan tatapan tajam netra Aluna padanya. "Makan siang setiap hari dengan bekal buatan kamu seperti tadi, sudah cukup untuk saya."

"Bekal?" Abimana menoleh pada Aluna penuh tanya.

Aluna meringis salah tingkah lantas menarik tangan kakaknya untuk segera pulang. "Kami pamit pulang. Sampai bertemu besok," ucap Aluna yang menunduk sopan pada Ethan.

Langkah cepat Aluna yang menggandeng tangan Abimana, membuat pria itu baru bisa bertanya saat mereka sudah duduk dalam mobil miliknya. "Bekal, Luna? Kapan kamu membuatnya?" tanya Abimana dengan kening yang berkerut, saat supir pribadi pria itu sudah menjalankan kendaraan. "Kenapa Mas tidak dibuatkan juga?"

Aluna tersenyum salah tingkah. Ia enggan menjawab.

"Lagipula ... bukankah akhir-akhir ini kamu selalu bangun siang? Hingga baju seragam anak-anak saja, harus Mas sendiri yang menyiapkan."

*******

Vote dan Komen yess ... Muuaaccchhhh!!!


LopLop

Hapsari








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top