21. Angin malam dan kehangatan Ethan

"Jadi ..." Ethan melirik Aluna yang berdiri disampingnya dalam lift menuju rooftop.

Aluna menatap Ethan penuh tanya. Dengan tangannya yang masih mengait dengan jemari Ethan.

Ethan tersenyum dengan helaan napas seakan lega bisa merasakan indahnya dunia lagi. "Jadi ... dokter itu, Anne Atmadja?"

Aluna mengangguk. Tetap dengan wajah yang tidak paham kenapa Ethan tampak sebahagia ini mendapati ia makan malam dengan Anne.

Tanpa Aluna duga, Ethan memajukan wajahnya hendak menyentuh bibir gadis itu. Aluna terkesiap, lantas reflek memukul wajah Ethan dengan botol merica yang ia bawa di satu tangannya yang lain. "Aawww! Alunaaaaaaa." Ethan mendesis menahan sakit.

"Jangan." Aluna menggeleng. "Jangan lakukan apapun yang berpotensi membuat kacau. Saya ....," gadis itu menunduk "tidak ingin membuat Mas Bima marah lagi," cicitnya lirih.

Ethan mendengus kesal, namun tetap menuruti pinta gadis itu. Ia kembali dia dan membiarkan kotak besi itu membawa mereka.

Lift berdenting dan pintu besi itu terbuka. Terpaan angin malam adalah hal pertama yang Aluna nikmati. Sambutan bintang yang tampak samar malam ini, membuat gadis itu tersenyum. Alunan musik yang terdengar dari penyanyi akustik, menambah ketenangan yang selalu menjadi favoritnya.

Ethan terpana menatap Aluna dengan busana indah dan rambut yang berterbangan lembut. Senyum manis gadis itu, membuat Ethan harus mati-matian menahan hasratnya menikmati bibir dengan sapuan lipstik pink pastel. Ya Tuhan, sudah berapa lama ia tak menjamah wanita!?

"Saya sudah makan dan sedang tidak ingin minum." Aluna melirik bartender yang tengah meracik minuman yang Aluna yakin, tidak baik untuk kesehatan.

"Kita kesana saja. Melihat Jakarta dari atas gedung ini." Ethan menarik Aluna dan membawa gadis itu pada pinggir pagar. Aluna meletakkan botol merica di saku coat, lalu tangannya kini menggenggam pinggiran pagar. Kerlip lampu yang tampak indah dari tempat Aluna berdiri kini, membuat gadis itu tersenyum senang. Ini indah. Ini adalah daftar baru ketenangan yang bisa ia dapatkan selain laut dan gunung.

Tubuh Aluna berjengit saat tiba-tiba Ethan melingkarkan tangan kekarnya di tubuh gadis itu dari belakang. "Ikat coat-nya. Angin malam bisa bahaya untuk tubuh," ucap Ethan yang tengah mengikat tali coat di depan perut Aluna. Pria itu tak sedikitpun peduli dengan tubuh Aluna yang kaku karena tegang.

Hingga tali itu sudah tersimpul sempurna, tangan Ethan tak juga beranjak dari tubuh Aluna. Ia justru semakin merapatkan tubuh dan memeluk punggung adik Abimana yang jantungnya tengah bertabuh kencang.

"Sejak tadi kamu bertahan melawan hawa dingin. Pelukan seperti ini, bisa menghalau hipotermia yang mungkin saja mengancam tubuh kamu," bisik Ethan di telinga Aluna. Ia menyukai rona merah pada pipi Aluna yang netranya tangkap dari samping sini.

"Ini bukan gunung. Saya tidak mungkin terserang hipotermia," sanggah Aluna yang tubuhnya sedikit gemetar karena gugup.

Ethan mengeratkan pelukannya dan menumpukan dagu di pundak Aluna. "Yang jelas, Luna. Saya hanya ingin memberikan kehangatan. Kamu butuh itu saat ini."

Aluna bergeming.

"Rileks," pinta Ethan dalam bisiknya di telinga Aluna. "Nikmati angin malam, bintang, kerlip lampu dan ... kedekatan kita saat ini. Aku tengah menikmati itu semua dan bantu aku dengan tidak merusak momen ini."

Aluna mengangguk samar. Perlahan, tangan gadis itu terlepas dari pagar dan memilih bersarang diatas tangan Ethan yang berada di perutnya. Tak ada kata, karena Aluna belum mampu mengutarakan apa yang ada di dalam hatinya. Tangan lembut yang biasa bermain dengan komputer itu, kini menarikan jemarinya mengelus tangan kekar Ethan yang berbulu tipis di beberapa tempat. Biarlah angin malam dan bintang yang mendengar suara hatinya saat ini. Biarlah Tuhan dan semesta yang mendengar doanya dari sini.

******

"Sayang. Kamu kok kayak gak fokus sih, dari tadi! Ngeliatin siapa sih?"

Anggara menggeleng lalu tersenyum pada kekasihnya. "Tidak. Tidak ada. Aku hanya kelelahan karena semalam tidak bisa tidur sampai pagi. Lalu kerja, dan langsung ke Jakarta. Lalu lintas Bandung - Jakarta sedang tidak bersahabat mulai Karawang sampai Bekasi. Itu membuatku lelah."

Tiara Azalea mendengus manja. "Aku sudah bilang, kan. Kalau kesini itu, pakai helikopter milik papa saja. Kamu hanya tinggal menghubungi Mas Seno untuk menjemputmu."

"Tidak ada helipad, Tiara."

"Sudah berapa kali aku meminta kamu untuk membangun helipad diatas gedung Mitra Dagang? Jika kita menikah nanti, aku butuh itu untuk mobile."

Anggara mengangguk setengah hati. Menikah? Menikahi Tiara? Ia bahkan tak pernah dan tak ingin membayangkan berumah tangga dengan sosialita yang menjadi politikus ini. "Ya, nanti aku rencanakan untuk membangun helipad di atas gedung."

Tiara tersenyum penuh kemenangan. Sang papa memang selalu mampu memberinya apapun. Termasuk Anggara yang berhasil membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak menyesal ia menjadi brand ambassador Mitra Dagang saat masih kuliah dulu. Karena pekerjaan itu membuatnya memiliki pria pekerja keras yang selalu berhasil membuatnya mimpi indah.

Netra Anggara kembali menuju pada gadis yang tengah dipeluk seorang pria. Anggara terlalu mengenal postur tubuh gadis itu. Tak perlu mendekat untuk memastikan, melihat bagaimana gestur gadis itu berjalan dan berdiri, Anggara sudah yakin itu adalah Aluna. Napas pemilik mitra dagang itu sedikit memburu mendapati sahabatnya berada di dalam pelukan pria lain. Bukan dirinya.

"Kamu perlu istirahat." Tangan lembut milik Tiara mengusap lengan Anggara dengan sesual. Entah mengapa, tak sedikitpun Anggara tergoda. "Kita ..., ke apartemen aku aja ya, sekarang," ajak Tiara dengan suara lembut dan seksi.

Anggara mengusap wajahnya kasar. "Aku kehotel saja. Kamu mau aku antar atau pulang dengan supir kamu seperti biasa?"

"Diantar saja, sampai hotel tempat kamu istirahat malam ini. Aku temani sampai kamu tertidur, lalu aku akan pulang dengan supirku."

******

"Kenapa tidak ikut makan malam dengan dokter Anne?" Aluna yang kini sudah berbalik badan dan bersandar pada pagar, menatap Ethan lembut. Tangan gadis itu kini ia masukkan ke kantung coat.

Ethan menggeleng. Giliran tangan pria itu yang menggenggam pagar, dengan tubuh Aluna yang berdiri dalam kungkungannya. "Aku tidak punya kewajiban untuk menemaninya makan. Dia bisa melakukan apapun sendiri."

"Dokter Anne pernah cerita. Dia ... menyayangi putranya."

Ethan mengendikkan bahu. "Aku tidak pernah mempercayai ucapannya. Bagiku, ia hanya istri seorang Bennedict." Angin menerbangkan rambut Aluna. Dengan sigap, Ethan mengambil sejumput rambut lalu menyelipkannya di telinga Luna.

"Aku menyayangi Mas Bima meski ia pernah meninggalkanku selama sepuluh tahun."

Ethan mengunci netra Aluna dengan tatapannya. "Aku sedang tidak ingin membahas apapun selain kamu dan hubungan kita."

"Kita tidak memiliki hubungan apapun. Aku disinipun, karena dokter Anne yang meminta."

"Dan kamu menerima tawaran wanita itu, Aluna."

Aluna mengangguk. "Iya. Karena dia tau, bahwa aku kurang nyaman dengan topik tentang penyakit anak, masalah tumbuh kembang dan gizi buruk. Mereka adalah topik paling menyeramkan bagiku."

"Sedekat apa kalian? Sampai dia bisa bicara tentang putranya," selidik Ethan pada Aluna.

Aluna menatap bola hitam kebiruan milik Ethan. Tahukah Ethan jika manik mata itu mampu menghanyutkan Aluna? Sebenarnya, sedah sejak tadi Aluna ingin mengeluarkan tangannya dari saku dan melingkar pada tubuh kekar itu. Atau, jika boleh, ia ingin menangkup wajah pria itu dan menempelkan keningnya seperti saat di swalayan dulu. Aluna ingin berkata bahwa wanita paruh baya yang tengah melanjutkan makan malam dengan kakaknya, tengah merindukan putranya dan ingin menebus semua kesalahannya.

"Dokter Anne hanya bercerita jika ia memiliki anak yang tampan dan dia bangga. Tanpa harus mencari tau, setiap anak pasti tau jika orang tua mereka memiliki cinta yang tak terbatas."

"Lalu bagaimana dengan cinta kamu?"

Aluna menyernyit.

"Lalu bagaimana dengan perasaanmu? Tanpa Abimana harus mencari tau, setiap kakak seharusnya mampu memahami apa yang adiknya inginkan."

"Aku...," Aluna tak bisa menjawab.

"Ayolah Aluna, kamu tau apa yang kamu dan hatimu inginkan. Aku tidak buta untuk tau bahwa kamu juga memiliki rasa seperti yang aku punya untuk kamu." Ethan mendekatkan wajahnya. Aluna memundurkan kepala. Tangannya menggenggam pepper spray dalam kantung coat. Namun hatinya berteriak memintanya membalas tatapan Ethan yang intens itu.

"Saya membawa botol merica." Gugup. Namun hanya itu kalimat yang bisa Aluna suarakan agar Ethan berhenti membuat perasaannya semakin tak menentu.

Ethan menyeringai menahan tawa. "Pramitha ... pasti dia yang menyiapkan baju sialan itu."

Aluna mengerjap dengan wajah sedikit heran. "Tapi kata semua orang, aku cantik," lirih gadis itu menyela.

"Iya. Sialnya kamu terlihat cantik dengan busana ini. Lain kali, jika si tukang dandan itu memintamu memakai pakaian seperti ini lagi, jangan turuti!"

"Kenapa?"

"Kenapa?" Ethan memasang gestur tak percaya akan pertanyaan Luna. "Kamu pikir apa yang membuat aku membeli coat itu dan menyusulmu kesini?"

Aluna menggeleng. "Iya. Aku sampai lupa bertanya. Kenapa kamu kesini?"

Ethan mengela napas dan membuang pandangan sesaat. "Kamu, Kulit putih kamu, kaki kamu, lengan kamu, pundak dan leher kamu ... semua itu harus jadi milikku, Luna." Penuh penekanan, Ethan menjelaskan dengan suara rendah. "Aku frustasi membayangkan pria lain mendapatkan keindahan itu meski hanya beberapa jam saja."

Aluna sedikit memiringkan kepala. Dahinya menyernyit. "Memangnya ... kamu frustasi?"

"Menurut kamu, Aluna!?" suara Ethan meninggi saat menyebut nama gadis itu. Ia bahkan sempat mengacak rambutnya karena gemas dengan tingkat kepekaan aluna yang dibawah standart. Sebenarnya, berapa IQ gadis ini, sih? "Jika kamu tau ..." Ethan menahan ucapannya.

"Tau apa?" tanya Aluna santai seakan rasa frustasi Ethan bukanlah apa-apa.

"Tidak ... Tidak ...," ucap Ethan seraya mengusap wajahnya kasar. Tidak mungkin Ethan memberi tahu bahwa ia sejak tadi sudah tergoda untuk membelai paha yang ada di balik dress itu. "Aluna," panggil Ethan dengan suara lirih, "tolong bantu saya untuk mendapatkan kamu."

Ya Tuhan, jika boleh, Ethan ingin mempraktekkan satu saja adegan Fifty Shade of Grey atau apapun yang ada di imajinasi kotornya saat ini. Namun ini Aluna. Gadis yang entah mengapa, memiliki kendali atas dirinya tanpa harus melakukan apapun. Ini petaka bagi Ethan. Sejak kapan pria itu enar-benar bertekuk lutut sampai seperti ini?

Ponsel Aluna berdering. Gadis itu lantas menjawab panggilan Abimana dan mengangguk saat mendengar perintah kakaknya. "Mas sudah selesai. Kami ingin pulang. Bisa kita kembali pada dokter Anne untuk berpamitan?"

"Dengan satu syarat," balas Ethan

"Apa?" Aluna menatap Ethan penuh penasaran.

Seketika, Ethan menarik tubuh gadis itu dan memeluknya erat. Menghirup aroma rambut wanita itu yang entah mengapa, membuatnya mabuk kepayang. Aluna yang terperanjat hanya bisa terdiam dalam rengkuhan pria itu. Namun kali ini, biarkan Aluna mengikuti apa yang hatinya minta. Melingkarkan tangannya di punggung Ethan.

Entah berapa lama mereka seperti ini sampai ponsel Aluna berdering lagi. "Itu pasti Mas Bima. Kita harus segera kesana," pinta Aluna lirih dan mereka masih dalam posisi yang sama. Berpelukan.

Ethan melepas pelukannya. Tangan pria itu bersarang di tengkuk dan pinggang Aluna, lantas mendaratkan kecupan panjang di pipi gadis pujaannya. "Kamu cantik malam ini. Dan itu berhasil membuatku gila," bisik Ethan usai melepas bibirnya dari wajah Aluna.

Aluna terserang reaksi aneh di tubuhnya. Ia hanya mampu terdiam dan fokus menetralkan setiap organ tubuh yang tiba-tiba berjalan tidak normal. "Aku harus pulang," cicitnya lemah seakan ia tengah tak bertulang dan nyaris tak bernyawa.

Menggenggam tangan Aluna, Ethan menarik gadis itu pelan menuju restaurant tempat Abimana dan ibu pria itu menunggu. Hingga pintu lift terbuka dan mereka sampai di restaurant, Aluna tak bisa berkata. Wanita itu seperti terhipnotis oleh sesuatu yang belum pernah menyerang tubuh dan jiwanya.

"Apa semua baik-baik saja?" Abimana menyambut Aluna dengan pertanyaan dan tatapan penuh curiga.

Aluna mengangguk. "Mas ... mau pulang?" Gadis itu beranjak dari sisi Ethan lalu dengan cepat merengkuh lengah Abimana seakan hanya pria itu yang mampu membuatnya tetap sadar.

Abimana tersenyum. "Ya. Sudah malam, adik cantik. Ayo pamit pada dokter Anne."

Anne Atmadja tersenyum dan menerima pelukan Aluna malam ini. Abimana dan adiknya, mengucapkan terimakasih atas jamuan makan malam dan diskusi yang menyenangkan. Anne mengajak turun ke lobby bersama dan itu berarti, Ethan juga ikut di dalamnya.

Lift hanya membawa empat manusia itu. Aluna mengaitkan tengannya di lengan Abimana dengan posesif. Abimana yang tak menyadari gelagat Aluna, terus bicara dengan Anne Atmadja. Bagi Abimana, Aluna memang suka bergelayut seperti ini. Sejak dulu, hingga sekarang. Sedang Ethan, pria itu hanya terdiam dengan mata yang tak putus menatap gerak gerik Aluna.

"Sampai bertemu pada acara Ikatan Dokter Indonesia minggu depan dok," pamit Abimana saat mereka sudah sampai lobby.

"Sampai jumpa lagi," jawab wanita itu, lalu menoleh pada Aluna. "Tetap terima telepon saya, ya. Meski proyek kita sudah selesai." Senyum Anne pada Aluna, menyiratkan kelegaan dan kebahagiaan. Aluna bisa merasakan dan menangkap rasa pada senyum dan binar itu.

"Iya. Dokter Anne silakan hubungi Aluna kapan saja," jawab Aluna disertai anggukan sebelum ia dan Abimana keluar lobby karena mobil pria itu sudah menunggu mereka.

Ethan dan Anne mematung memandangi Aluna dan Bima yang berjalan menuju Pajero hitam. Usai Aluna tak lagi terlihat, pria itu berbalik dan berjalan memasuki lift menuju basement.

"Tidak ingin pulang bersama Ibu? Kamu belum makan. Ibu bisa membuatkanmu makan malam."

Berbalik badan, Ethan menatap wanita yang tak pernah terlihat rapuh itu. "Aku tidak memiliki tempat untuk pulang sejak seseorang yang kupanggil ibu tak sekalipun mendengar tangisku."

********

Happy Reading sayangnya Supriiiiii...!!

Aku lunas hutang janji dobel up yah wkwkwkwkwk ... Aku no check, maapkeun kalo ada typo atau inkonsistensi. Revisi dan edit nantik2 ae hahahaha

Vote and komen yesss ... Muuaaachhhh!


LopLop

Hapsari














Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top