20. Ini ... Cemburu?

Kenapa tidak pernah pulang ke rumah? Ibu rindu.

Ethan mendengus. Bullshit dengan rindu-rindu yang Ibunya ucapkan. Enak sekali wanita itu, pulang hanya jika ia yang memiliki urusan dan kebutuhan akan rindu itu. Bagaimana saat Ethan kecil dulu? Saat ia sendiri dan merasa tak memiliki siapapun di hidupnya. Apakah ibunya akan pulang hanya karena kata rindu yang kerap Ethan ucapkan dulu? Tidak. Anne Atmadja tetap akan fokus pada kegiatan sosialnya di belahan bumi.

Melempar gawai sembarangan, Ethan kini merebahkan tubuhnya pada sofa apartemen itu. Ia memejamkan mata. Aluna, bisakah ia menyerah saja dan mengabaikan gadis yang tampaknya tak peduli sedikitpun pada perasaannya? Apa semua wanita yang berhasil masuk ke hatinya memiliki sifat tak acuh seperti mereka? Anne, Pramitha, Aluna. Mereka sama. Sama-sama tak bisa berusaha memahami sepi dan hampa yang Ethan rasakan. Tak bisa merasakan bahwa pria itu ingin juga merasa dibutuhkan dan dicintai.

Ponsel yang sudah jatuh entah dimana itu berbunyi. Ethan sebenarnya malas untuk mengambil dan menjawab panggilan selarut ini. Namun dering tak kunjung henti. Itu mengganggu dan membuat pria bertubuh atletis ini geram. Bergerak dari sandarnya, Ethan mencari ponsel dan menemukan nama Anne Atmadja sebagai pemanggilnya. Mendengus malas, ia lantas menjawab panggilan namun tak bicara sepatah katapun.

"Ibu tau kamu belum tidur dan ibu tau kamu masih marah."

Ethan meletakkan gawai diatas meja sofa lalu memejamkan mata. Ia malas bicara. Mendengar ucapan Anne saja, ia terpaksa. Biarlah Anne bicara apapun yang ingin wanita itu katakan. Toh, ia tak akan peduli.

"Maaf Ibu baru pulang sekarang. Kali ini, ibu akan lebih lama di sini. Untuk kamu dan Emily."

Ethan tak membuka kelopak matanya. Bicaralah apapun, Anne. Ethan tak sekalipun peduli.

"Kenapa baru pulang? Mobil kamu juga ... terlihat kotor. Haruskah ibu mengirimkan seseorang untuk membantumu merawat mobil dan apartemen?"

Terdengar helaan napas dari seberang sana. Ethan tau, dimana Anne saat ini dan ia tak ingin basa-basi untuk memintanya naik dan masuk ke dalam unitnya. Ia sedang lelah dengan perasaannya pada Aluna. Ethan hanya, tak ingin hatinya semakin hancur jika harus bertemu dengan ibunya saat ini. "Istirahatlah, ibu harap kamu mau bertemu ibu secepatnya."

Sambungan terputus. Ethan beranjak dari sofa dan membuka kemejanya asal. Ia ingin mandi untuk menjernihkan pikiran lalu terlelap. Setidaknya, untuk beberapa jam kedepan, ia tak harus memikirkan Aluna atau Anne dan makan hati karena mereka.

*******

"Mas jangan pulang malam. Aluna malu jika kami hanya makan malam berdua. Mas temani Aluna, ya."

"Eccieee, adeknya abang. Kencan aja harus ditemenin," ejek Donna yang mendengar pembicaraan Aluna dengan kakaknya di sambungan telepon.

Aluna melirik Donna sekilas, lalu kembali fokus pada layar monitornya dengan tetap bicara pada sang kakak di seberang sana. "Iya, jam tujuh malam Luna janjiannya. Sudah dibawakan baju ganti sama Mbak Mitha. Katanya ini makan malam spesial jadi tidak boleh tampil biasa."

Aluna menghela napas mendengar kekehan Abimana di sana. "Mas tolong Luna. Temani Luna makan malam."

"Mas tolong Luna...," ini suara Donna. "Luna mau malam pertama sama suami Luna. Mas tunggu di depan pintu ya. Takut Luna gak tau caranya buka lingerie."

Donna terkikik saat Aluna meliriknya datar, lalu adik Abimana itu beranjak menuju pantry. "Iya. Di hotel yang ada di Kuningan. Usahakan jam tujuh sudah sampai sana ya. Aluna naik taksi saja dari sini, nanti pulang sama Mas." Aluna menyeduh teh tawar tanpa menyadari ada Ethan di belakangnya. "Meski cuma makan malam, tapi kalau berdua saja, Luna juga kurang nyaman. Kalau ada Mas kan, suasana bisa agak mencair."

Wajah Ethan mengeras melihat senyum manis Aluna untuk Abimana. "Terimakasih ya Mas. Maaf, untuk acara seperti ini saja, Luna masih butuh ditemani sama Mas."

Jam lima lebih dua puluh menit dan Aluna sudah berdiri di depan cermin toilet gedung Arnold Property.

"Gue gak heran Mpok lu jadi beauty vlogger. Seleranya emang keren." Cantika memuji apa yang menempel pada tubuh Aluna saat ini. Setelah mengganti pakaian kerja monokrom gadis itu dengan dress yang panjangnya tidak sampai lutut gadis itu. "Merek-nya juga gak ecek-ecek," tambah rekan kerja Luna itu.

"Sayangnya yang make gak sekece beauty vlogger itu," tambah Donna yang merelakan koleksi kosmetiknya dipakai Aluna untuk acara malam ini. "Sumpah Lun, bagus itu baju. Lu kudu ber-attitude yang sesuai dengan dressnya."

Aluna menatap bayangan teman-temannya dari cermin. "Attitude seperti apa yang mencerminkan dress mini tanpa lengan seperti ini?"

"Ini gak mini!" sanggah Donna, "Cuma seksi tapi cute. Warna putih gadingnya gak norak buat makan malam. Terus ada renda lucu yang bikin leher dan pundak lo jadi kelihatan gak ngebosenin. Vintage tapi manis gak gak jadul. Pokoknya asik nih baju. Pas buat cewek usia kita."

"Pepper spray -nya boleh gue bawa?" pinta Aluna pada Donna

"Ambil sono ambil! Buat lu semprot ke steak kalo bumbu ladanya gak berasa nanti."

Aluna menatap wajahnya di cermin, sebelum ponselnya berdering menandakan satu pesan masuk.

Saya on the way hotel untuk makan malam kita. Sampai bertemu, gadis cantik.

Aluna membalas pesan itu, lantas pamit pada teman-temannya untuk pergi duluan. Sebenarnya ia kurang nyaman dengan penampilannya malam ini. Namun pesan Pramitha untuk tidak mengacaukan makan malam demi rumah sakit yang tengah kakaknya bangun saat ini, membuat Aluna mau tidak mau harus tetap lanjut dengan penampilannya.

Pintu lift terbuka dan Aluna masuk ke dalamnya. Ethan yang baru saja keluar dari ruangannya dan berjalan hendak pulang, memandang Aluna penuh kagum. Mata mereka saling bertemu dan terkunci beberapa detik sebelum pintu besi itu tertutup dan membawa aluna turun menuju lobby.

"Eh, Bapak." Cantika yang baru selesai membereskan pakaian Aluna, menyapa Ethan.

"Aluna mau kemana?"

"Kecan sama dokter ditemani dokter Bima," jawab Donna. "Mungkin kalau dia bulan madu, anak-anaknya juga harus ikut." Donna tertawa lirih disusul cantika.

"Dimana?"

"Apanya, Pak?"

"Kencan dia."

"Di Hotel yang di Kuningan itu," jawab Donna. "Itu sih yang saya denger tadi."

Pintu lift terbuka. Ethan, Cantika, Donna dan beberapa orang lain masuk kedalamnya. Hening selama ruang sempit itu bergerak turun. Hingga pintu terbuka dan satu persatu manusia disana keluar menuju lobby. "Saya duluan," pamit Ethan tanpa menoleh lagi pada dua rekan Aluna itu.

*******

Ini sudah tiga puluh menit Ethan hanya duduk diam di dalam mobil yang terparkir di basement hotel. Tempat gadis yang yang berhasil mencuri hatinya, tengah makan malam dengan orang lain yang berpotensi mengalahkan dirinya. Sial! Abimana seharusnya tidak boleh bersikap curang seperti ini. Jika Aluna boleh makan malam dengan seorang dokter, harusnya ia juga diperbolehkan melakukan hal yang sama.

Apalagi, bayangan Aluna dengan pakaian yang membuat gadis itu tampak semakin jelita. Jika Aluna adalah milik Ethan, tentu pria itu akan menggendong Aluna dan membawa gadis itu ke apartemennya. Menikmati Aluna dengan keindahan yang membuat hormon lelakinya mendidih seketika.

Menoleh pada coat yang ia beli di satu butik saat perjalanan menyusul Aluna, Ethan bimbang lagi. Haruskah ia menyusul Aluna lalu memberi coat itu sambil berbisik "Tutupi tubuhmu dengan ini. Keindahanmu itu milikku." di telinga gadis itu. Ah .., tapi tak mungkin. Pepper spray yang ia tahu Aluna bawa kemana-mana itu, bisa mampir ke bola mata eksotisnya nanti.

Menghela napas sambil menutup mata, Ethan menimbang lagi. Turun, tidak, turun, tidak, dan akhirnya ... tangan kanan pria itu membuka pintu lantas mengambil paperbag berlogo butik. Melangkah tegap, ia mantap menghampiri Aluna pada kencannya untuk memberikan gadis itu coat, tanpa kalimat apapun lalu pulang lagi.

"Iya. Aluna memang menyukai wisata alam. Dia lebih suka diam menikmati embusan angin, suara ombak di laut, cipratan air terjun, atau guguran daun di hutan dari pada wahana-wahana permainan yang membuat orang berteriak." Itu suara Abimana yang menggelegar. Ethan bisa menangkap bahwa makan malam Aluna berjalan lancar dengan kakaknya.

Lampu yang temaram, atau hati Ethan yang sedang tidak stabil, membuat pria itu tidak bisa jelas melihat siapa yang makan malam bersama Aluna saat ini. Yang netranya tangkap, hanya tubuh Abimana yang bergetar karena tawa dan canda. Lalu Punggung Aluna yang berbalut pakaian indah itu. Sedang teman kencan Aluna, wajahnya terhalang tubuh gadis itu dan Abimana yang duduk di sebelahnya.

Sudahlah, ia hanya mengantar coat lalu pulang. Jadi, tak perlu gentar untuk tetap melangkah dan mendekati Aluna.

"Aluna masih sendiri. Saya sangat selektif terhadap pria yang ingin bersanding dengan dia. Bagi saya---"

"Ethan?"

Abimana tak lagi melanjutkan ucapannya tentang Aluna. Ia dan Aluna lantas berbalik menatap sosok yang membuat dokter Anne memutus obrolan makan malam mereka. Abimana menautkan alis dengan mata yang tajam menatap Ethan. Seakan bertanya pada pria itu sedang apa dia pada pertemuan makan malam pentingnya saat ini.

"Saya hanya ingin mengantar ini untuk Aluna." Ethan menyodorkan paperbag pada Aluna. Gadis itu menatap Ethan dengan tatapan yang sulit terbaca. "Pakailah, kamu tampak kedinginan dan kurang nyaman dengan pakaian itu."

Aluna tersenyum dan mengangguk lantas membuka paperbag dan memakai coat berwarna mocca yang Ethan pilihkan untuknya.

"Aluna siapamu, Ethan?" suara Dokter Anne membuat Abimana yang matanya tak lepas dari interaksi Luna dan Ethan sejak tadi, kini menoleh dengan raut penuh tanya pada dokter anak seniornya.

"Dokter Anne kenal dengan ...," Abimana enggan menyebut nama itu. Hati pria itu belum sepenuhnya bisa menerima mantan rival cintanya.

"Ethan ... anak saya."

Bukan hanya Abimana yang membuka rahang karena fakta yang baru saja terucap. Aluna bahkan mematung dan mengerjap bingung saking terkejutnya. Jadi selama ini ... ia berhubungan dekat dengan istri pemilik perusahaan propety besar tempatnya kerja?

"Saya pergi dulu." Ethan memecah keheningan akibat adik kakak yang masih terdiam paska pengakuan ibunya tentang dia. Tanpa menjawab pertanyaan ibunya, Ethan berbalik badan hendak melangkah pergi. Jika tau akan bertemu wanita itu, Ethan pasti tak akan mau repot-repot begini.

"Ethan." Panggilan itu membuat langkah Ethan terhenti. Namun tubuh pria itu bergeming dan tak berbalik untuk menatap wanita yang menyebut namanya. "Ibu dan dokter Bima harus membicarakan sesuatu terkait pekerjaan kami. Aluna tampak kurang nyaman. Bisakah kamu menemani adik dokter Bima di lounge rooftop?"

Aluna menatap dokter Anne penuh tanya. Namu binar netra wanita itu pada Ethan dan tatapan mata padanya, membuat Luna mengerti apa yang wanita paruh baya itu inginkan. Ia tersenyum lantas beranjak dari kursinya. "Aluna ijin melihat bintang di atas. Boleh, Mas?"

"Jangan lupa botol merica," jawab Bima dengan mata yang menatap tajam penuh dengan pesan waspada.

Aluna melangkah mendekati Ethan, lantas tersenyum teduh dan menatap mata pria itu saat tubuhnya sudah berdiri cantik dihadapan pria itu. "Terima kasih. Saya memang tidak nyaman karena terasa dingin sejak tadi."

Ethan tersenyum tipis lalu melangkah menuju lift yang akan membawa mereka ke roof top gedung ini. Tanpa Aluna sadari, ia membalas kaitan tangan saat Ethan mengambil telapaknya dan mengaitkan jari kekar itu disana. Tanpa mereka sadari juga, dua pasang mata dibelakang mereka, belum memulai diskusi apapun. Dua pecinta anak-anak itu, fokus pada adik dan anak yang tak pernah mengutarakan rasa yang ada di hati mereka.

*****

Maapkeun. One day one chapterku gagal total huhuhuhu ... semalam suami ajak diskusi sampai malam.Kerjaan juga somehow menumpuk dan minta dihempaskan satu-satu.

Aku up siang ini, dan inshaallah (gak janji) double up hari ini. Aku gak akan (gak berani sih lebih tepatnya ) minta goal vote hahahaha ... aku yang salah sih, gak konsisten sama komitmen sendiri hahahaha ... vote dan komen sesuka kalian lah hahahaha

Happy reading sayangnya Anggara!


LopLop

Hapsari












Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top