2. Hati Rapuh

Ethan mendengus kesal lagi. Tak ada yang benar-benar menuruti apa perintahnya.

"Siska, tolong pinta Emily untuk datang ke ruangan saya sekarang!" Membanting telepon meja, pria berdarah campuran Indonesia dan Australia ini membanting tubuhnya pada kursi empuk yang entah mengapa, tak juga membuatnya nyaman.

Pria tiga puluh tahun itu memejamkan mata seraya menopang kepalanya dengan kedua tangan yang ia simpul dibelakang. Suara pintu terbuka, bersamaan dengan ketukan langkah kaki. Tak perlu ia membuka mata. Ethan sudah tau bahwa pemilik langkah itu adalah kakaknya.

"Apa lagi? Mau alasan apa lagi untuk menolak jabatan ini?"

Kedua kelopak dengan bola mata hitam kebiruan itu terbuka. Memandang wanita berambut blonde sebahu penuh arti. "Jangan sematkan nama Atmadja pada kartu namaku dan pada semua identitas bisnisku!"

"Tak ada yang bisa ditutupi dari kehidupan keluarga Benedict Arnold. Apalagi, sejak anak laki-lakinya banyak mengencani wanita dan menjadi sasaran empuk media hiburan."

"Shit," umpat pria bersurai hitam kecoklatan itu.

"Fokus saja dengan tanggung jawab yang kamu pegang saat ini dan jangan meributkan hal yang tak bisa berubah hingga kamu mati," ucap Emily seraya meletakkan kartu-kartu itu pada dompet kartu nama yang sudah ia siapkan khusus untuk adiknya. "Dan jangan lupa malam ini..."

"Yeah..!!! I'll come! Jangan terus ingatkan aku dengan makan malam membosankan bersama Daddy!"

Emily tersenyum tipis, "He wait you," ucapnya, lalu beranjak pergi dari ruangan bertuliskan CEO Arnold Land.

******

"Bibir udah ..., bulu mata udah ..., bedak udah ..., udah ah! jangan menor-menor!" Aluna bergumam sendiri di toilet Elba IT Consultant. Sejak sepuluh menit lalu ia berdiri di depan cermin toilet dengan ponsel yang menayangkan tutorial make up kakak iparnya dan beberapa kosmetik yang ia punya. "Udah, udah cakep aku," gumamnya lagi dengan senyum penuh kawat gigi dan tangan yang membenahi letak kacamata.

Aluna berjalan santai menuju kubikelnya, mengambil tas, lalu menuju lobby untuk memesan taksi.

Degup jantungnya berdetak kencang kala dua kaki mungil itu turun dari taksi dan menaiki tangga lobby hotel bintang lima yang Angga informasikan sebelumnya.

Menghela napas dalam, Aluna mencoba menetralkan kegugupannya bertemu dengan pria yang tujuh tahun ini menjadi pelangi dalam hari dan hatinya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Sapaan seorang wanita cantik berseragam hotel itu menyadarkan Aluna dari gugup dan keterpanaannya pada bangunan mewah ini. Ia tersenyum, lantas mengutarakan tujuannya datang kesini. "Reservasi atas nama Bapak Anggara Satya ada di rooftop lounge lantai dua puluh tiga," jelas hotelier itu seraya meminta seorang bellboy mengantar Aluna hingga tempat tujuannya.

Semilir angin menyapa Aluna yang melangkan pelan dengan tubuh sedikit gemetar menuju meja penuh keindahan itu. Ada piano dengan pianisnya yang mengalunkan nada merdu. Anggara Satya yang tampan dengan kemeja yang sudah ia singsing lengannya hingga siku dan ... meja dengan bunga.

Ini indah, batin Aluna memuja.

"Long time no see, Aluna." Anggara memeluk hangat Luna dan seketika jantung gadis itu serasa berhenti berdetak.

Tak mampu berkata, gadis dengan rambut terurai ini hanya tersenyum malu dan tersipu. Selanjutnya, ia hanya mengikuti langkah Angga yang menggiringnya menuju meja indah dengan bunga dan temaram lilin itu.

"Aku senang. Akhirnya ... setelah tujuh tahun kerja keras, Mitradagang mendapat predikat unicorn Indonesia. Aku bangga pada pencapaianku." Angga membuka obrolan mereka saat tenderloin wagyu steak sudah tersaji berdampingan dengan salad dan wine. Demi tuhan, Aluna agak takut jika sang kakak memergokinya meminum itu.

"Iya ... selamat. Aku senang mendengar kabar itu dan ... bangga juga denganmu. Kamu hebat!"

Pria itu tersenyum bangga. Menampilkan lesung pipit yang semakin menghipnotis Aluna hingga ia tak lagi bisa banyak bicara. "Makanya itu, mumpung disini, aku mau bilang sesuatu sama kamu."

Tegang. Aluna menegang. Alunan piano dengan nada yang membuatnya terasa di taman surgawi, meja di rooftop lounge privat, Angga yang tampak lembut dan manis ... oh tidak ... tidak ... Aluna belum mampu mengontrol buncahan hatinya yang terasa akan meledak sesaat lagi.

"Apa?" Lirih, hanya itu kata yang mampu Aluna ucap sebagai balasannya.

Anggara Satya tersenyum manis kembali. Matanya menyipit akibat tarikan bibir yang kerap menjadi hayalan Aluna. Sorot matanya teduh dan penuh cinta. Perlahan, tangan pria itu bergerak menggenggan kedua tangan Aluna. "Terimakasih untuk selalu ada dibelakang Mitradagang selama ini. Terimakasih karena selalu ada untukku saat aku berjuang membesarkan aplikasi jual beli online ini."

Ibu jari pria itu bergerak mengusap lembut tangan Aluna yang dingin entah karena apa. Mata Aluna berkaca. Bukan, bukan karena apa yang Anggara ucapkan sesaat lalu. Namun karena, Aluna menyadari bahwa tangan yang menggenggamnya kini, tersemat cincin indah di jari manisnya.

Hati Aluna meledak. Pecah. Bukan karena buncahan cinta dan bahagia, namun lebih karena cintanya ternyata ... tak berbalas.

******

Emily sorry. Aku butuh pelepasan malam ini. Katakan pada Daddy aku tak bisa menemaninya makan malam.

Ethan mengetik pesan itu sebelum membuka pintu mobil dan berjalan masuk kedalam lobby hotel. Ia lantas menuju receptionis dan memesan satu kamar untuk ia habiskan malam ini bersama entah ... model atau wanita mana lagi yang ia ajak untuk menghabiskan malam.

Penat. Ethan menjatuhkan tubuhnya di ranjang hotel dan menutup kedua mata dengan satu lengan kekar itu.

Tak ada yang menarik dari hidupnya. Apa yang mampu membuatnya termotivasi menjalani hidup? Tak ada.

Ketenaran dan materi yang melimpah, ternyata tak juga membuatnya merasakan 'hidup'. Ia ingin lebih dari itu. Kasih sayang dan kehangatan keluarga. Namun naas, sejak kecil, ia tak punya.

Getar ponsel membuat satu tangannya merogoh saku dan tanpa melihat siapa yang menghubungi, ia menekan tombol hijau pada layar gawai itu.

"Jika rindu, lihatlah tv. Ada Anne Atmadja disana. Ia tengah mengurus para balita Kenya yang menderita gizi buruk."

Tanpa menjawab ucapan si penelepon, pria itu lantas mematikan sambungan mereka dan bergerak menghidupkan layar plasma yang tergantung kokoh di kamar itu.

Ada seringai penuh benci yang tercetak di bibir seksi sang petualang itu. Melihat dokter anak senior sekaligus relawan, yang kabarnya ... baru saja menerima penghargaan dunia atas dedikasinya pada anak-anak kurang gizi disetiap belahan bumi. Namun, sebanyak-banyaknya dokter itu mendapat pujian, ia tetap memiliki orang yang membencinya.

"Hai Mom ... mengapa kamu melahirkan anak jika dipikiranmu hanya anak-anak kurang gizi itu," monolognya seakan sang bintang dalam film dokumenter itu mampu mendengar jerit hatinya. "Did you know, mereka mungkin tidak punya sesuatu untuk dimakan. Namun mereka punya ibu yang selalu ada disisinya."

Tanpa sadar, Ethan berteriak penuh emosi pada layar lima puluh inchi itu. Seakan mengirimkan seluruh emosinya pada sosok yang tersenyum pada acara itu. Ethan benci Anne. Ethan benci ibunya yang terlalu berambisi pada dunia.

Ponsel itu sekali lagi bergetar. Pertanda ada panggilan masuk disana.

"Apa lagi, Emily!? Aku tidak peduli lagi apa yang terjadi pada wanita itu!"  Ethan berteriak pada ponselnya.

"Ini aku, Ethan. Bukan Emily! What happen? Something went wrong? Aku sudah sampai dan aku mau kamu jemput aku sekarang di lobby!"

Ethan mendengus lelah. Ia lantas beranjak dari ranjang lalu melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Ia harus menyegarkan pikirankannya dari semua emosi yang tengah menyeruak.

*****

"Terimakasih sudah datang menemuiku. Jangan lupa datang dihari pernikahanku nanti. Aku mau Tiara tau, jika Aluna lah pondasi pertama Mitradagang." Anggara memeluk hangat tubuh dingin dan pucat itu. Jangankan terlihat ikut-ikut bahagia, berusaha tampak tegar dan baik-saja, Aluna sulit melakukan.

"Iya .... aku akan datang," jawab Aluna terbata dan lirih.

"Hati-hati dijalan. Aku tidak bisa antar sampai lobby. Aku hanya tidak ingin ..."

"Ya, aku tau. Jangan sampai media mencitrakan buruk dirimu. Tidak baik untuk Mitradagang. Soal beberapa settingan yang menurutku masih rawan dimasuki hacker, akan aku bantu list mana saja yang harus kamu perkuat sistim keamanannya." Tanpa senyum, dengan wajah serius, Aluna bicara menutup pertemuan menyakitkannya ini.

"Terima kasih banyak. Kamu memang temanku yang paling baik."

Mereka berpisah. Anggara tersenyum dan melambai saat pintu besi itu benar-benar mengakhiri pertemuan mereka. Air mata Aluna tumpah dan tangisnya pecah. Ia tak menyangka, tepat pada tahun ketujuh, pelanginya pergi. Pelanginya pergi menuju awan dengan sinar matahari yang lebih baik.

Tiara Azalea. Bintang iklan sekaligus brand ambassador Mitradagang lima tahun lalu. Yang kini bermetamorfosa menjadi seorang anggota DPR dan politikus partai. Aluna tau, Tiara adalah putri dari seorang politikus ternama dan pejabat sebuah partai besar.

Ditengah tangisnya, Aluna meratapi mirisnya ia. Apa yang bisa ia banggakan di depan Anggara jika saingannya seorang Tiara? Tak memperdulikan satu orang lain yang ada di lift itu, Aluna melanjutkan tangis seraya memukul kencang dadanya. Berusaha meredam sakit yang sedari tadi mendera. Ia tak peduli lagi pada penampilannya dan panggilan pria sejak tadi berusaha menyapanya.

Saat pintu besi itu terbelah dan terbuka. Aluna lantas berlari dan memanggil taksi yang berjejer rapi di depan lobby. Ia kembali menangis. Menangisi kenyataan yang ternyata jauh dari ekspektasinya selama ini.

Ethan mendengus sebal. Wanita dan air mata, paduan memuakkan yang paling ia benci dan hindari. Apa yang mereka tangisi hingga tak menyadari bahwa identitasnya terjatuh dari dadanya?

"Stupid. menangis dengan employee id card yang masih menggantung di dada. Mana menariknya?" monolog Ethan seraya memungut kartu dengan casing pelangi itu. "Aluna Barata? Elba IT Consultant?" tanya Ethan seraya berjalan menuju lobby untuk menjemput Veronica.

Langkah Ethan seketika terhenti saat otak cerdasnya mengingat dan yakin dengan satu hal. "Aku yakin dia ada hubungannya dengan Pramitha dan bajingan Barata itu. Elba? Aku yakin Ernest mau melakukan apapun untukku." Seringai dendam dan benci itu kembali tercetak. Satu permainan menarik terencana di pikiran penuh kebenciannya itu.

******

Happy Reading ... 😘😘😘😘😘

Jangan lupa vote dan komennya yah para sayang2nya Ethan ...

LopLop
Hapsari










Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top