19. Ini berat ... Aluna!

Anggara : Aluna, aku sudah transfer untuk bulan ini.

Aluna : Thankyou Angga. Tapi kenapa banyak sekali? biasanya tidak segini.

Anggara : Buat para bunda panti, hehehhe. Tolong belikan mereka baju dan sepatu baru.

Aluna : Owh, boleh kugunakan untuk membeli beberapa sprei baru?

Anggara : Silahkan. Tapi ..., utamakan para bunda ya!

Aluna : Siap boss! :)

"Lun, udah sore nih! Pulang yuk."

Aluna menoleh pada Cantika, lalu mengangguk mengiyakan ajakan rekannya itu. "Eh, Can, temenin belanja yuk," ajak Aluna dengan senyum manis khas miliknya.

Cantika menyernyit. "Belanja ... bulanan panti?"

"Iya," jawab Aluna dengan anggukan semangat.

"Yakin lo?" kini Donna yang bertanya sambil membereskan perlengkapan miliknya.

"Yakin," jawab Aluna lagi. "Emang kenapa?"

"Mobil gue kan Brio, Luna. Sedang lo kalo belanja, butuh minimal innova buat angkut belanjaan lo."

"Emangnya Supri kemana?"

Aluna melirik ponselnya. "Masih di Karawang anter Mbak Mitha sama mamanya ada urusan di sana, jadi gak bisa jemput gue. Mas Bima akhir-akhir ini pulang malem lagi."

"Yaudah, besok aja," saran Cantika yang akhirnya diangguki Aluna. "Eh, Pak Ethan. Mau pulang juga Pak?" sapa Cantika yang membuat netra Donna dan Aluna juga mengarah pada sosok yang baru keluar dari ruangannya.

Ethan mengangguk. "Saya duluan," pamitnya seraya melangkah menuju lift.

"Pak Ethan!" Donna memanggil. Langkah Ethan terhenti lalu berbalik dan menatap Donna dengan satu alis terangkat. "Luna gak ada yang jemput. Mau belanja juga. Mobil Cantika yang super mini kayak orangnya gak bisa nampung belanjaan Luna. Pak Ethan bersediakah ---AAWWWW LUNA! Sakit ikh!" pecinta gurih itu lantas mengusap kakinya yang baru saja diinjak.

"Saya bersedia," jawab Ethan pada Donna dengan mata yang menatap Aluna.

Aluna menggeleng. "Tidak usah repot-repot. Saya bisa belanja besok."

"Mobil saya lebih besar dari milik Cantika."

"Dan lebih mahal. Catet!" Donna menimpali, tapi lebih seperti mengompori.

Cantika mulai mendorong pelan Aluna agar berjalan mendekat pada Ethan. "Udah sono ... gak baik nunda kerjaan kan, kata lo. Jalan sono biar cepet kelar."

"Sebentar," tahan Aluna yang berusaha tidak maju satu langkah pun. "Ada yang ketinggalan." Tubuh gadis itu berbalik menuju meja dan mengambil botol parfum berisi ramuan yang Abimana buatkan.

"Yaelah ... kuah asinan lo bawa aja kemana-mana," celetuk Donna. "Besok gue beliin pepper spray deh! Biar Abang lo puas."

"Ayo, Aluna. Lalu lintas semakin malam akan semakin padat," tegur Ethan yang membuat Aluna, akhirnya mau tak mau berjalan pelan mengikuti pria itu.

"Hati-hati Luna," koor Cantika dan Donna. "Jangan lupa makan, ya!" tambah Cantika yang disusul tawa lirih Donna.

*****

"Kamu selalu belanja sebanyak ini?" Ethan terperanjat. Benar apa yang Donna katakan, mobil kecil tidak bisa membawa barang yang diborong adik Abimana ini.

Aluna menoleh pada Ethan sesaat, lantas kembali sibuk mengambil belasan bungkus gula dari raknya. "Saya membeli kebutuhan satu bulan untuk dua panti. Bunda dan adiknya, mengurus dua panti asuhan yang berbeda. Saya berbelanja untuk dua panti tersebut."

"Kamu pernah tinggal di dua panti tersebut?"

"Tidak," jawab Aluna dengan gelengan. Lalu, Aluna berbalik dan menatap Ethan yang sejak tadi dibelakangnya. "Bapak tau dari mana saya pernah tinggal di panti asuhan?"

Ethan mengendikkan bahu. "Kakak seperti apa yang tega membiarkan adiknya tinggal di panti tua."

"Itu lebih baik dari pada saya harus sendirian dirumah," sanggah Luna. "Orang tua kami meninggal saat saya masih sekolah dasar. Mas Bima yang saat itu sudah SMA, berjuang mendapatkan beasiswa agar tabungan orang tua kami bisa ia gunakan untuk keperluan saya sepenuhnya. Berpisah dan tinggal di panti memang hal yang menyakitkan buat saya yang masih kecil saat itu. Namun saya tau, itu yang terbaik demi masa depan kami." Suara Luna bahkan terdengar tegas seakan tidak suka jika dibantah.

Ethan terdiam. Ada sedikit rasa bersalah membuka obrolan tentang hal yang ternyata, mampu membangkitkan satu emosi pada Luna.

"Buat saya, Mas Bima adalah satu-satunya pria yang tak pernah gagal membuktikan cintanya pada saya. Tidak ada yang rela berkorban seperti apa yang Mas Bima lakukan pada saya. Jadi, jangan pernah sedikitpun menilai buruk Mas Bima dihadapan saya." Datar, namun penuh ancaman dan amarah. Aluna bukan wanita barbar yang suka berteriak, namun cara bicaranya yang dingin, seringkali mampu membuat lawan bicaranya tertohok dengan caranya sendiri.

"Oke .. oke, maaf. Saya salah." Ethan mengangkat kedua tangan. Membuat gestur seakan kalah dan menyerah. "Kakak kamu memang lawan yang berat."

"Dia bukan lawan. Kalian tidak sedang bertengkar atau berkompetisi. Saya bukan Pramitha," pancing Luna dengan tatapan mata tajam yang menghunus Ethan.

"Aluna, tolong. Kita sudah membahas ini di panti kemarin--"

"Ya," sela Aluna cepat. "Dan kesimpulannya tetap sama. Saya tidak akan membuka hati pada Anda jika Mas Bima tidak memberi ijin."

"Kamu memiliki rasa pada saya dan saya tau itu."

"Itu bukan urusan bapak," jawab Aluna cepat. "Apa yang ada di dalam hati saya, jelas itu mutlak urusan saya."

"Aluna." Ethan memberanikan diri mengambil kedua tangan Aluna dan menggenggamnya lembut. "Cobalah jujur pada perasaanmu dan terbuka. Ekspresikan. Tunjukkan."

Aluna terdiam. Netra gadis itu terpaku pada bola hitam kebiruan milik Ethan yang entah mengapa, mampu membuat Aluna merasakan hangat. Emosinya yang tadi sempat mencuat, tiba-tiba mereda.

"Jangan buat ini menjadi berat untuk saya." Ethan kini menangkup wajah Aluna dan menempelkan keningnya di kening Aluna. Tak peduli jika mereka masih berada di tengah-tengah rak minyak goreng, tepung, gula, dan bahan makanan lainnya. "Kamu sudah tau tentang perasaan saya. Tolong buka hati kamu dan biarkan saya menempati ruang itu. Hapus pria manapun dan biarkan saya memiliki kamu."

Aluna menutup matanya. Ia menikmati embusan napas Ethan yang menerpa wajahnya. Ini menyenangkan dan pertamakalinya Aluna merasa sangat diinginkan.

"Saya tidak tau," jawab Aluna lirih. Gadis itu bergerak hingga Ethan melepaskan tangkupan tangannya di wajah Luna. Adik Abimana itu lantas mendorong satu troli yang masih terisi setengah dan memasukan daftar belanjanya yang lain.

Ethan mengikuti Aluna di belakang, dengan satu troli yang sudah penuh dengan produk pembersih dan sanitasi. Pria itu hanya bisa memandangi punggung mungil Aluna lirih seraya mendengus pasrah dengan sifat kaku gadis itu.

Sedang Aluna, saat ini mencoba tetap fokus meski jantungnya sudah berdegup tak beraturan dan matanya mulai memanas. Ia ingin mengutarakan perasaannya. Namun masih ada keraguan dan entah itu apa.

*****

"Terima kasih Luna. Bunda seneng banget kita dapet jatah untuk beli baju baru." Bunda pemilik panti tersenyum sumringah saat menerima amplop berisi uang dari Aluna. "Bunda bingung, kok kamu kasih amplop tiga buah. Ternyata satunya buat kami belanja."

"Maafin Luna, gak bisa belanjakan baju. Jadi, Bunda atur aja ya buat para pengurus panti membeli baju dan sepatu baru. Dua amplop lainnya, seperti biasa, buat listrik dan operasional."

Ethan yang sejak tadi duduk mendengarkan percakapan luna dengan Bunda pantinya, menahan sejuta tanya namun tak berani berucap.

"Iya, nanti Bunda suruh si Santi kesini ambil uang buat pantinya dia sama jatah belanjaan bulanan dia. Eh, atau kita yang anter ya? Mumpung ada avanzanya si mister."

Ethan tersenyum saat dirinya disinggung. "Silahkan pakai saja. Operasional mobil-mobil itu sudah ditanggung oleh kantor."

"Boleh deh boleh. Bunda udah lama juga gak main kesana." Aluna tersenyum tulus melihat kebahagiaan yang jelas terlihat pada wanita paruh baya itu.

"Bunda," panggil Aluna lirih dan mata gadis itu tiba-tiba berkaca. "Terima kasih sudah merawat dan menyayangi Luna selama ini," ucapnya tiba-tiba dan memeluk wanita pemilik panti asuhan itu. "Kalau gak ada Bunda, gak tau deh gimana hidup Luna."

Bunda Panti membalas pelukan Aluna dan mengusap punggung gadis itu dengan tangannya yang mulai keriput. Netra wanita itu membalas tatapan Ethan yang seakan bertanya mengapa gadis itu tiba-tiba menjadi melankolis seperti ini. Masih memeluk Aluna yang tiba-tiba terisak, Bunda tersenyum tipis pada Ethan lantas bicara dengan gerakan mulut tanpa suara.

Titip Aluna, bahagiakan dia.

Ethan tersenyum tipis dan mengangguk sekali. Merespon pesan tanpa suara yang ia terima dari pemilik panti. Netra pria itu kini mengarah pada Aluna yang melepas pelukan dan mengusap wajahnya dengan tisu yang tersedia di meja.

"Udah besar ikh, gak boleh cengeng begitu," hibur bunda panti. "Bunda lihat kamu sehat dan bahagia aja udah seneng banget. Apalagi kamu gak henti bantu bunda dan panti ini setiap bulan. Kami tidak perlu hidup serba kekurangan seperti dulu. Anak-anak bahkan memiliki tabungan meski jumlahnya belum seberapa."

Aluna tersenyum dan mengangguk. "Aluna sayang bunda dan keluarga disini. Semua ini gak ada apa-apanya dibandingkan apa yang Bunda beri untuk Luna saat Mas Bima pergi."

"Udah ikh. Pokoknya Bunda makasih banget kamu gak pernah pergi dari kami. Tetap bersama kami dan membantu. Sampaikan juga salam Bunda untuk Anggara. Dia baik banget gak pernah perhitungan keluar uang untuk kita."

Aluna mengangguk. "Iya, Angga pria yang hebat."

"Anggara?" Ethan menyebut nama itu kencang dengan nada penuh tanya. "Kenapa tiba-tiba ada nama Anggara?"

Aluna menoleh pada Ethan. "Menurut Bapak, apa penghasilan saya sebagai senior programmer cukup untuk menghidupi dua panti dan hidup saya sendiri, tanpa bantuan orang lain?"

Ethan mengerjap. Mencoba mencerna kalimat yang barusan ia dengar. "Saya pikir Ernest ... ah, atau Abimana atau ...." Ethan kehabisan ide dan kemungkinan lain selain Anggara.

Bunda panti terkekeh lirih. "Dari sejak Luna kuliah, Mister. Anggara dan Aluna kerja sama apa gitu, bunda gak paham. Pokoknya tiap bulan mereka kasih uang ke kami untuk belanja dan operasional sehari-hari. Kebutuhan sekolah anak-anak juga gak jarang mereka yang nanggung."

"Pantas saja," desis Ethan lirih. "Saya paham Aluna. Saya paham kenapa ini terasa berat untuk saya."

Aluna menatap Ethan dalam diam. Sedang Bunda panti, menautkan alis tak memahami maksud ucapan pemilik rumah tempat ia tinggal sementara kini.

"Aluna pamit pulang. Ini sudah malam," ucap Aluna tiba-tiba memecah ketegangan. Bunda panti mengangguk lantas memeluk Aluna sebelum gadis itu beranjak keluar. "Bapak mau antar saya, atau saya naik taksi saja?" kini Aluna menatap Ethan yang wajahnya sejak tadi mengeras.

"Kamu sudah tau jawabannya," jawab Ethan dingin. "Saya tunggu di mobil." Ia pamit pada pemilik panti lalu meninggalkan Aluna begitu saja.

Aluna menaiki Harrier hitam itu dan memasang sabuk pengaman. Ia berusaha tidak menoleh pada Ethan dan fokus saja pada jalanan ibu kota malam ini.

Tak ada obrolan dalam perjalanan menuju rumah Abimana. Baik Ethan maupun Aluna saling diam. Mereka fokus pada pikiran dan emosi masing-masing. Aluna tak tahu harus membuka obrolan dari mana. Ia sendiri saja bingung kenapa Ethan tiba-tiba terlihat emosi hanya karena mengetahui bahwa Anggara adalah salah satu donatur panti.

"Ini berat untuk saya," ucapan Ethan memecah keheningan malam ini. Mobil hitam itu baru saja berhenti tepat di depan pagar kediaman milik Bima dan Luna. Aluna menoleh dan menautkan kedua alisnya. "Abimana memiliki porsi besar dalam hidup kamu sampai kamu mati-matian membelanya. Anggara memiliki porsi berbeda di hati kamu sejak dulu karena ternyata, memang ada kedekatan yang sepertinya, sulit saya pecahkan diantara kalian."

Aluna mengerjap dan berusaha tetap tenang.

"Beri tahu saya, apa yang harus saya lakukan agar bisa menyingkirkan Anggara dari hati kamu dan bersanding dengan Abimana di hidup kamu?"

Aluna tak menjawab dan berusaha tetap tenang.

"Ini berat, Aluna. Tapi saya tidak akan menyerah."

Aluna tak bergerak turun dari mobil dan berusaha tetap tenang.

"Sudah sampai. Istirahatlah." Suara ethan bahkan tampak lelah. Namun Aluna tahu, bukan lelah fisik yang pria itu rasakan kini.

"Berat itu relatif. Tergantung sekuat apa keinginan dan usaha orang itu untuk berjuang dan memenangkan." Aluna berucap datar, lalu turun dari mobil tanpa menoleh pada Ethan lagi.

*****

Happy Reading!

Vote and Komen yess ... muuaaacchhh


LopLop

Hapsari








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top