16. Bicara

"Siang Pak Ethan, Bu Aluna ingin bertemu." Siska menelepon Ethan melalui intercom ruangan mereka.

"Suruh tunggu dua menit, lalu biarkan dia masuk," perintah Ethan pada sekretarisnya sebelum menutup telepon di meja.

Ethan berdehem lalu tersenyum senang. Ia bahkan melirik meja sofanya yang sudah siap dengan menu makan siang yang ia pesan sesaat lalu. "Semoga Aluna suka dimsum dan chinese food," gumamnya sendiri seraya merapihkan penampilannya yang selalu rapih.

Dua menit dan pintu ruang kerja Ethan terketuk. Menyilakan seseorang membuka lembaran kayu itu, lantas ia tersenyum manis saat mendapati Aluna masuk membawa secarik kertas. Ethan tau itu bukti transfer yang harus Aluna berikan padanya. Padahal sebenarnya, Ethan tidak butuh. Mobile banking-nya sudah memberi notifikasi beberapa jam lalu  terkait informasi yang Aluna bawa.

Namun, ia boleh kan mengambil sedikit keuntungan dari menolong Aluna beberapa hari lalu?

"Ehm ..., siang Pak," sapa Aluna yang mengangguk sekilas. "Saya mau mengantar bukti transfer cetak yang Bapak minta." Aluna menyodorkan kertas yang hanya dilirik oleh Ethan.

"Duduk, Aluna. Temani saya makan."

"Maaf," jawab Aluna lirih. "Saya ...,"

"Tidak ada Abimana disini. Dan saya mengundang kamu untuk makan siang di ruangan saya. Anggap saja ... sebagai ucapan terimakasih karena sudah menolong kamu."

Aluna menatap Ethan, menghela napas pelan, lalu mengangguk. Ia lantas mengikuti Ethan menuju sofa yang sudah Ethan tata mejanya dengan berbagai makanan.

"Suka dimsum, kan?" tanya Ethan saat memberikan sumpit pada Aluna

"Saya suka apa saja," jawab Aluna dengan senyum tipis dan datar.

Aluna mulai mengambil beberapa menu yang tersedia disana. Mereka makan dalam hening. Entah mengapa, ada rasa canggung dan gugup yang melanda Aluna. Mengingat senyum Ethan di toko perabot saat menolongnya melakukan pembayaran dan saat Ethan mengecup bibirnya dulu. Seketika, rona merah mulai menjalar pelan di pipi adik Abimana ini.

"Aluna, saya mau tanya."

Aluna menoleh pada Ethan dengan tetap mengunyah dumpling udang yang terasa nikmat di lidahnya.

"Kamu dan Anggara ...," Ethan menjeda. Aluna menatap Ethan intens penuh tanya. "Sedekat itu hingga kalian bisa tertawa bersama di bawah hujan? Bahkan saya tidak melihat kamu sakit paska bermain hujan dengan dia."

Mata Aluna melebar dengan kening yang berkerut samar. bagaimana bisa??

"Maaf," ucap Ethan seakan menyadari keterkejutan gadis itu. "Malam itu ... saya mengikuti kamu."

Aluna menelan udang bagai menelan batu. Terasa berat. Entah mengapa ia seperti ketahuan bermain di belakang dengan pria lain. Padahal Ethan bukan siapa-siapanya. "Ehm ..., kami sudah menghabiskan waktu bersama hampir sepuluh tahun," ucap Luna pada akhirnya. "Dan ... selama itu, ada banyak hal yang terjadi diantara kami."

"Hal seperti apa?" Ethan bertanya setengah mendesak karena pikiran kotor pria itu justru membayangkan tubuh Aluna yang disentuh oleh Anggara. Dan Ethan tidak terima jika itu benar-benar nyata.

"Banyak. Kami berbagi suka dan duka. Kami belajar bersama dan bercanda,"

"Tapi saya tidak suka melihat kamu terlalu dekat dengan dia," sela Ethan.

"Tapi tidak ada yang berhak melarang kedekatan kami."

Ethan mendengus. "Karena dia tidak pernah bermasalah dengan kakak kamu dan bukan masa lalu kakak ipar kamu?"

Aluna menggeleng cepat. "Bukan. Bukan itu alasannya. Anggara ... beda dengan Bapak. Dia punya tempat sendiri di hati dan hidup saya. Sulit bagi saya untuk jauh dari dia. Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat untuk mudah dilupakan, pak."

"Lalu, apa itu yang membuatmu sulit membuka hati untuk saya? Bisakah kamu meninggalkan dia dan datang pada saya?"

Netra Aluna menatap Ethan lekat. Hatinya berteriak mau namun bibirnya kaku untuk bicara sepatah katapun.

"Kamu sudah janji dibawah bintang saat itu, Aluna. Membuka hati dan dirimu untuk saya. Jika Abimana adalah masalahnya, saya siap untuk berhadapan dengan dia."

"Bapak mau bertengkar lagi lalu membuat Mas Bima berurusan dengan kode etik profesinya?" tanya Luna dengan raut khawatir.

Ethan tersenyum. "Tentu tidak, Aluna. Saya akan bicara secara baik-baik dengan kakakmu."

"Seandainya ...," ucap Aluna lirih nyaris tak terdengar.

"Seandainya apa, Luna?"

Aluna menggeleng. "Tidak. Saya rasa begini memang yang terbaik. Jangan ada hubungan apapun diantara kita. Yang kemarin itu ..., anggap saja kita salah." Aluna meneguk minumannya lalu berdiri dan pamit undur diri pada Ethan.

*********

"Aluna baru saja pergi, pak." Informasi ini datang dari Cantika yang menjawab pertanyaan Ethan soal Aluna. "Dia di jemput Supri dan mau ke Golden Hospital katanya. Masnya mau ada kenalin dia sama siapa gitu. Dokter baru gitu deh di Golden Hospital."

"Siapa?" tanya Ethan yang seketika emosinya bergolak.

Cantika menggeleng. "Kurang tau pak, tadi saya sempet denger Mas Bima telepon terus Aluna bilang pulang kantor bisa ketemu sama dokter itu di Golden Hospital. Gak tau saya urusan apa."

Ethan menghela napas mencoba mengatur panas yang mendadak menyerang tubuhnya. Entah mengapa ada amarah yang ingin ia keluarkan saat ini. Namun pria itu tak tau harus bagaimana mengeluarkan amarah itu.

"Saya susul dia ke Golden Hospital," ucap Ethan

"Lah, jangan Pak! Takut ganggu acara Luna. Nanti saya yang kena omel, dikira bocor ke bapak."

Ethan tak menggubris ucapan Cantika dan langsung berbalik badan kembali ke ruangannya untuk mengambil kunci mobil. Secepat yang ia bisa, Ethan berjalan menuju parkiran mobil dan mengendarai Harrier hitamnya menuju Golden Hospital. Jika Aluna tak bisa ia miliki, maka laki-laki manapun juga tak boleh memiliki Aluna.

"Selamat sore ada yang---" ucapan Pungki, sekretaris Abimana terhenti saat netranya mendapati Ethan ada di depan ruangan suami Pramitha. "Mbak Mitha sudah tidak menjabat disini lagi, Pak Ethan," cicit perempuan itu akhirnya dengan wajah yang masih menampakkan keterkejutan.

"Saya mencari Abimana, bukan Pramitha. Juga ... Aluna."

Pungki mengerjap mencerna pernyataan tamu atasannya itu. "Mbak Luna? Pak Bima? Ada urusan apa ya kalau boleh tau? Lagi pula Bapak tidak ada janji sebelumnya dengan Pak Bima."

Ethan mendesis menahan emosi. "Pungki, bisakah kamu fleksible seperti dulu?"

Pungki menggeleng. "Fleksibelnya Pungki bikin masalah, Pak. Jadi sekarang nurut SOP dan perintah atasan aja. Apalagi Pak Bima super sibuk dan gak bisa dengan mudahnya terima tamu kalau gak ada keperluannya dengan rumah sakit."

"Ini lebih penting dari urusan rumah sakit ini, Pungki."

"Ya tapi bagi Pak Bima gak ada yang lebih penting dari Golden Hospital dan Pramitha, Pak. Saran saya, Bapak tinggalkan pesan supaya saya bisa sampaikan ke beliau dan saya buatkan janji temu jika memang Bapak ingin membuat kerja sama dengan Golden Hospital."

"Ini tentang Aluna, Pungki. Bukan tentang apapun yang kamu sebutkan tadi."

Kening pungki mengerut halus. "Ngurusin Mbak Luna kenapa jauh-jauh kesini? Mbak Lunanya lagi ada pertemuan penting sama Pak Bima di meeting room VIP. Dan mereka sedang tidak bisa diganggu. Kalau mau, Bapak nunggu."

"Sampai jam berapa meeting-nya?"

Pungki menggeleng pelan. "Kurang tau. Ada hal penting yang tengah mereka bahas dengan dokter baru di Golden Hospital. Saran saya, bapak tinggalkan pesan saja."

"Oke Saya tu--" ponsel Ethan berbunyi. Ada pesan masuk dari Veronica.

Datang malam ini, atau aku akan datang pada gadis lugu itu. Temani aku makan malam dan sebotol wine?

Sial! Veronica dan ancamannya yang entah sudah keberapa. Ethan ingin membiarkan saja dan tak menggubris Veronica namun pesan wanita itu selanjutnya, mau tak mau membuatnya harus membalas pesan model papan atas itu.

Aku melihat Pramitha di pusat perbelanjaan. Beberapa meter di hadapanku. Haruskan aku menyapa dia?

"Pungki, saya akan datang lagi. Mungkin besok. Sampaikan pada atasan kamu jika saya meminta waktu untuk bertemu."

Demi apa, Ya Tuhan. Ethan yang memiliki perusahaan lebih besar dan lebih kaya dari Abimana, justru yang harus menunduk takluk pada aturan pria itu. Dunia sepertinya sudah terbalik.

****

"Owh ..., jadi untuk pembukaan RSIA Golden Hospital Jakarta, Mas Bima mau membuat website tentang dunia anak-anak dan kesehatan mereka." Aluna merangkum hasil pertemuan mereka dengan beberapa staff Golden Hospital sore ini.

"Iya. Tolong bantu untuk pembuatan websitenya. Golden Hospital yang baru belum menemukan PR dan Marketing yang pas untuk promosi. Dan ..., kami mendapat ide untuk membuat website tentang anak-anak di belahan dunia dan masalah kesehatan mereka. Itu bisa membangun citra bahwa Golden Hospital benar-benar paham dengan kesehatan anak dan ibunya," jawab Bima yang tampak penuh wibawa. Berbeda dengan Abimana yang dirumah dengan anak-anak asuhnya. Apalagi di depan Pramitha.

Aluna mengangguk. "Baik. Website informatif seperti ini, bisa Luna buat kurang dari dua minggu. Dan selama itu, siapa yang akan menjadi content writernya? Luna harus berhubungan dengan beliau agar bisa mempermudah pembuatan website."

Abimana tersenyum penuh bangga. Adiknya memang cerdas. Tak menyesal sedikitpun ia memberikan uang warisan orang tuanya untuk biaya kuliah Aluna sedang ia cukup dengan beasiswa. "Makanya, jangan telat kalau diundang pertemuan. Jadi belum sempat kenalan, kan." Kali ini Abimana mulai cengengesan. Khas suami Pramitha sekali.

Aluna tersenyum canggung malu-malu. "Maaf. Pekerjaan di kantor sedang padat dan lalu lintas juga tak kalah padat." Ia mengangguk pada beberapa orang di ruangan itu dengan gestur meminta maaf.

"Tidak apa," jawab Abimana santai. "Kenalkan dokter Anne. Dia seorang senior yang menjelajah dunia dan pulang dengan segudang informasi penting tentang kesehatan anak. Beruntungnya kami, Golden Hospital, bisa diberi kesempatan untuk bekerjasama." Abima tersenyum lantas berdiri lalu membungkuk hormat pada wanita paruh baya yang juga memakai jas putih seperti dirinya.

Anne Atmadja tersenyum penuh wibawa. "Saya senang berbagi ilmu dan pengalaman saya untuk memajukan dunia kesehatan. Terutama, kesehatan anak-anak."

"Perkenalkan ini Aluna, adik saya. Dia yang akan bertugas untuk membuat website RSIA Golden Hospital Jakarta dan kami membutuhkan bantuan anda."

Aluna beranjak dari kursinya dan menghampiri tamu kehormatan kakaknya. Ia membungkuk lalu mengulurkan tangan untuk berkenalan. "Aluna Barata," ucap gadis itu dengan senyum secerah matahari.

"Anne Atmadja," jawab dokter senior itu sengan senyum tulus.

********

Happy reading!

Aku ndak cek cek lagi... langusng publish. Edit entar2 ae lah hehehehe. Jangan lupa vote dan komen yess!

LopLop

Hapsari



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top