15. Rahasia Aluna
Donna menarik napas dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Menarik napas dalam lagi, lalu mengeluarkannya pelan-pelan lagi. Sejak tadi, entah ini sudah yang keberapa kali.
Refreshing corner kantor Arnold Property, pada jam makan siang.
Aluna masih setia menggenggam cangkir green tea dengan daun mint yang ia seduh disini. Berharap cairan hijau dengan bau menyegarkan itu bisa membuatnya tenang. Semua terkuak sudah. Donna sudah mendengar semua tentang Anggara - Aluna - Ethan dan segala sesuatunya yang adik Abimana itu sembunyikan dari semua orang.
"Jadi ..., lima belas sampai tiga puluh lima juta yang Angga kasih ke elu tiap bulan itu, buat kebutuhan panti semua? Sama sekolahnya anak-anak itu?"
Aluna mengangguk. "Dari awal Anggara tau kemana uang itu gue pake. Makanya, dia kadang kasih lebih."
"Dan niat lu kerja diam-diam jadi peretas yang bantu anggara jagain sistimnya dia itu, cuma supaya lu tetep keep contact sama dia dan ... karena lu masih ada rasa sama dia sejak kuliah dulu?"
Aluna mengangguk lagi.
"Lalu Ethan ..., yang gak tau kenapa tetiba deketin lu dan kalian gak dapet restu dari Mas Bima karena ternyata si ganteng itu mantan cowok Mpok ipar lu?"
Aluna menghirup aroma mint dari tehnya dan mengangguk lagi.
"Lalu semalem, yang ngatain elu budak korporat itu, tunangan Anggara?"
"Iya," jawab Aluna lirih, "dan dia benar. Gue ... gak sepadan juga sama Ethan. Meski jujur, gue udah mulai nyaman sama dia kalo aja Mas Bima gak ngelarang."
"Elo bego!" timpal Donna tegas dan ngegas.
Aluna menoleh dan menatap Donna penuh tanya. Tak ada raut amarah atau tersinggung dari wajah berkaca mata itu.
"Bucin sih bucin, Lun. Tapi gak gini juga," komen Donna. "Satu. Lo berhak mendapat kursi jabatan tinggi di Mitra Dagang alih-alih cuma anonim yang kerja tiap malem kayak satpam. Dua. Anggara harus bilang ke tunangannya yang wakil rakyat tapi gak hormat sama rakyat itu, kalo lo adalah wonder woman yang jagain harta dia. Tiga. Soal Ethan, sepadan atau enggak, cuma lo dan dia yang bisa nilai. Bukan komentar orang lain."
"Tapi emang kita budak korporat kan? Sedang mereka kaum jetset ibu kota, Donna."
"Heh! Gini-gini gue punya warung indomie 5 biji di Bekasi dan omset mereka gede, for yey know ya! Elu juga punya usaha odong-odong di Moll. Cantika, biar gitu-gitu, bonusan MLM sampingan dia juga gak kecil, sista. Budak korporat bukan sesuatu yang harus dipandang cacat seakan kasta kita tuh sudra banget. Kita harusnya bangga karena kita memulai usaha dari nol dengan tangan kita sendiri. Bukan seperti mereka yang tinggal nerusin peninggalan." Donna terengah karena hampir tak bernapas selama bicara. "Dan Tiara itu, harusnya minta maaf sama elu!"
"Anggara udah minta maaf, kok , atas nama Tiara."
Donna mengibaskan tangannya. "Halah! Tameng tu Angga. Benci gue!"
"Donna ... jangan benci Angga. Dia yang selalu ada kalo gue sedih dan kesepian. Angga pernah ajak gue ke Mitra Dagang, tapi gue tolak karena gue gak mau pindah ke Bandung dan pisah lagi sama Mas Bima. Jadi ..., gue bertahan aja di posisi ini."
Donna mendengus prihatin dan menatap nanar teman kerjanya. "Sekarang udah ada Ethan, Luna. Dia udah punya Tiara dan lu kudu move on!"
"Tapi kita gak dapet restu ..."
"Lo usaha, lah! Jangan nurut terus apa kata orang dan mengesampingkan perasaan, bahagia, dan hidup lo sendiri. Ke Angga, lo ngalah. Ke Mas Bima, lo ngalah juga. Kapan lo senengnya, Lun?"
Aluna tak bisa menjawab. Ia sendiri bimbang dengan segala hal yang berkecamuk di hati dan pikirannya. "Kita makan aja, yuk! Gue laper," ajak Aluna pada akhirnya.
Donna menghela napas dan mengangguk menyetujui permintaan teman kerjanya itu. "Intinya, Lun. Apapun yang kita capai di hidup kita, semua itu dari hasil kerja keras dan doa kita sendiri. Tuhan sayang sama orang-orang yang bernyukur dan gak mengeluh."
*****
"Astaga Lunaaaaaaaaaaaa. Gedek gue ikh!" Cantika gregetan melihat Aluna yang gagal melakukan transaksi di kasir sebuah toko di pusat perbelanjaan. "Lu belanja habis enam puluh delapan juta tapi kartu debit lu silver. Mbok ya bikin yang super gold gitu lhooo biar gak kena limit! Malu kan, gesek - decline - gesek - decline. Berasa gak ada duitnya tu kartu."
Aluna meringis dan tetap meminta manager toko mengatur pembayaran mereka agar Aluna bisa membeli barang-barang yang di butuhkan Rainbow Land.
"Urgent, Can. Biasanya admin yang belanja dan Mas Bima tinggal transfer. Cuma adminnya lagi cuti lahiran kemarin dan ini butuh cepet banget. Mas Bima lagi di Surabaya dan barang-barang ini udah harus terpasang di wahana baru Rainbow Land akhir minggu ini." Aluna menjelaskan pelan ditengah manager yang masih berdiskusi mengatur pembayaran belanja Aluna. "Gimana Mbak? Limit transfer saya juga cuma lima puluh juta, lagi." Aluna bingung dan merasa tidak enak dengan para staff toko itu.
"Pakai punya saya saja, Mbak."
Aluna dan Cantika menoleh pada sosok yang tiba-tiba berdiri di belakang mereka dengan tangan yang mengulurkan satu kartu. Cantika yakin itu tipe-tipe platinum card yang unlimited.
"Pak Ethan kok tiba-tiba disini?" tanya Cantika basa-basi. "Itu ..., belanja buat anaknya ya Pak?" lanjutnya saat gadis berhijab itu melihat belanjaan Ethan yang penuh dengan mainan dan Tas anak, juga ... set meja belajar anak.
Ethan tersenyum. "Untuk keponakan saya. Ibunya minta dibelikan hadiah karena anak itu akan masuk sekolah TK." Kini teman Ernest itu menatap Aluna. "Pakai kartu saya dulu saja untuk transaksinya. Kamu bisa ganti nanti," tawarnya dengan tatapan lembut pada Luna
Aluna menggeleng. "Jangan. Nanti Mas Bima marah."
"Lebih marah mana,Lun. Weekend ini tu arena gagal launching atau lu pinjem duit Pak Ethan yang bisa langsung lu ganti besok." Cantika memanasi.
Ethan tersenyum. "Kamu bisa antar bukti transfernya saat makan siang dengan saya besok."
Aluna menggeleng lagi. "Saya kirim via ponsel aja pak, bukti transfernya."
Ethan menggeleng. "Print dan kasih ke saya besok saat makan siang di ruangan saya."
"Setuju!" Cantika mengangguk. "Biar cepetan kelar ikh ini proses transaksinya. Antrian udah panjang dan udah mau malem banget juga."
"Saya antar pulang," tawar Ethan lagi pada Luna
Aluna menggeleng. "Saya di jemput Pak Supri. Supir pribadi Mbak Mitha." Aluna lalu bicara pada manager toko untuk memproses pengiriman barangnya ke alamat Rainbow Land setelah menerima kartu yang Ethan sodorkan. "Besok siang saya antar bukti transfernya dari rekening Rainbow Land ke Bapak."
Transaksi Aluna hampir selesai. Aluna hendak pamit dan mengucapkan terimakasih pada Ethan namun pria itu menahan Aluna untuk menerima satu dari apa yang ia beli di toko perabotan ternama itu.
"Buat kamu." Ethan menyodorkan satu terranium bunga plastik berbentuk bohlam lampu. "Taruh di meja kamar kamu dan selalu ingat bahwa rasa juga bisa tumbuh dan berkembang seperti tumbuhan."
Aluna menatap Ethan dalam, dengan senyum tipis yang tersungging di bibirnya. Ada hal yang membuat Aluna senang menatap wajah pria yang kini berdiri di hadapannya. Bukan, bukan karena ketampanan Ethan. Tapi ... entah apa yang membuat hati Luna tenang saat menatap senyum teduhnya,
"Aluna," tegur Ethan yang masih menyodorkan terranium bunga plastik itu.
Aluna mengangguk dan menerima terranium bentuk bohlam itu. "Terimakasih," ucap Aluna sebelum akhirnya benar-benar pergi dengan menggenggam lengan Cantika erat.
"Tangan lu dingin banget, Njir! Itu Ethan loh, bukan setan," bisik Cantika, "segitu gugupnya ya?"
Aluna tak menjawab dan tetap melangkah menuju lobby seraya menelepon Supri untuk segera menjemputnya.
******
"Uncleeeeeee!!! So damn terrible you are!" Arkhania menepuk bahu Ethan kencang. Menyebabkan ethan meringis kecil. "Gila ya! Gak dapet Mitha, adek iparnya lo embat."
Ethan menatap Arkhania kaget dengan berjuta tanya yang tersirat di pancaran matanya. Pria ini baru saja sampai di kediaman Arkhania untuk menghadiri arisan keluarga yang ia sendiri ... tak sekalipun mengikuti program keuangan itu.
"Mitha cerita lah! Gak dapet restu niyeeeeee," ledek Nia dengan tawa renyah yang keluar dari mulut embernya. "Poor you. Makanya jangan suka bikin masalah sama orang. Kena kan, batunya," lanjut Ibu Orlando itu dengan tawa yang juga berlanjut. "Tapi tenang, asal lo tobat dari malam-malam panas lo itu, gue siap bantu yakinin Bima kalo lo gak sebejat itu."
"How?"
"Gak usah tanya caranya. Intinya gue bantu asal lo tobat!"
Ethan menyeringai seraya mengangkat Orlando dan mencium pipi gembul anak itu. "Aku sudah tidak berhubungan dengan Veronica lagi, Nia."
Arkhania mengendikkan bahu. "Who knows. Lain versi lo lain versi tu model uler."
"Pramitha cerita apa saya?" tanya Ethan pada Nia penuh penasaran.
Sepupu ethan dari keluarga ibunya itu, menatap Ethan dengan senyum sayang. "Mitha kaget dengar Bima cerita lo gandeng tangan Luna dan panggil dia sayang. Jujur Mitha gak percaya sama rasa lo ke Luna. Gue juga sih, belom percaya. Cuma ... denger cerita Emily yang katanya lu perhatian banget sama dia di kantor, gue jadi simpati sama lu."
"I don't know, Nia. Aluna ... beda. Terkadang, aku tak bisa mengontrol keinginanku untuk mencium bibirnya dan membawa gadis itu ke kamar----awww!!" Satu pukulan keras mendarat di lengan Ethan lagi.
"Bad boy tetap bad boy! Jangan lakukan hal bodoh dengan adik Bima. Aku orang pertama yang akan menghajar kamu, tau!" ancam Arkhania dengan mata yang dibuat menyeramkan.
Ethan meringis dan tersenyum. "Aku bahkan kesulitan untuk mendapat kepercayaan dia," keluhnya sedih.
"Berjuang, Ethan. Bangun kepercayaan Abimana, Mitha dan Aluna padamu."
Ethan mengangguk dan tersenyum, lantas memeluk Arkhania penuh sayang. "Kamu harus selalu dukung aku, Nia. Aku ingin nyaman dan bahagia. Entah dengan siapa," ucapnya pelan di telinga sang sepupu.
Arkhania mengangguk. "Pasti. Kamu sepupu yang paling aku sayang sejak dulu, Ethan."
Ethan tersenyum dan merekatkan pelukannya pada sahabat Pramitha itu. Namun senyum lega dan bahagia yang tersungging di wajahnya, seketika lenyap tak terbekas. Wajah yang tadinya hangat dan teduh itu, mendadak berubah tegang dan dingin saat seseorang masuk kedalam acara keluarga mereka.
"Bulek Anne! Selamat datang." Arkhania melepas pelukan Ethan dan beranjak menghampiri dokter anak yang kini mengabdikan hidupnya menjadi relawan yang berkeliling dunia. "Kapan sampai Indonesia?" tanya Nia hangat seakan ia tak tau bahwa ada masalah antara tante dengan sepupu kesayangannya itu.
"Baru saja. Emily yang menjemput tante dan kami langsung kemari." Wanita paruh baya berwajah penuh wibawa itu tersenyum manis. Netranya menatap Ethan sekilas seakan menyapa dan mencari tau perasaan anak bungsunya.
"Masih jet lag, dong!" Arkhania basa-basi. "Mau istirahat di kamar Nia?"
Anne Atmadja menggeleng. "Tidak. Bulek juga mau menyapa keluarga lainnya, Nia." tatapan mata sang ibu terus menghunus putranya yang membalas tatapannya dingin.
"Nia, aku mau pulang." Ethan tiba-tiba pamit. "Hadiah untuk Orlando sudah aku turunkan dari mobil dan kuberikan pada pengasuhnya." Ethan berjalan menuju pintu keluar dan mengabaikan Nia yang mencoba mencegahnya pergi.
"Ethan." Panggilan itu membuat langkah Ethan berhenti namun tak membuat pria itu membalikkan badannya. "Ibu pulang untuk kamu," ucap wanita berambut sebahu dengan beberapa helai uban yang mulai menyapa rambutnya.
Ethan menyeringai. Kecewa dan sakit hati, tidak semudah itu hilang dari dirinya
******
Vote yess!!! Komen banyakin wkwkwkwk
Happy reading
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top