11. Bintang dan Genggam Tangan

"Puji Tuhaaan ... masa penjajahan kita akhirnya selesai juga!" Donna berucap bahagia ditengah kegiatan tim mereka yang melepas penat di all you can eat barbeque sepulang kerja.

"Mana jajahnya? Yang ada kita panen uang habis ini. Beli ponsel baru kayaknya gue," celetuk Cantika yang mengambil daging untuk dibakar.

"Refreshing, yuk!" ajak Aluna

"Spa?" tanya Donna

Aluna menggeleng. "Mau ke gunung."

"Camping? Mau gue," sahut Cantika.

"Boleh! Setuju! Nanti gue yang stokkin mie cup sama bakso cilok cup. Tenang, gak bakal kelaperan lu lu pada." Donna menyeringai sambil menyuap daging matangnya.

"Ada kali yang bisa dimakan selain mie. Gue bawa buah nanti. Roti sama selai juga. Aman dah!"

"Ajak anak-anak Elba's. Kita pesen berapa tenda nanti disana. Mau ke Lembang apa Ciwidey?" Aluna mengusul sambil tetap fokus pada irisan daging yang tengah proses pematangan itu.

"Ranca upas, lah! Ada kali sewa tenda disana. Tar gue yang atur deh!" Donna memutuskan.

Ide tamasya dadakan itu mendapat sambutan meriah dari para programmer yang tergabung dalam tim lembur Arnold Property kemarin. Baik senior dan junior semangat untuk menghabiskan waktu akhir minggu mereka nanti di Kabupaten Bandung. Ya ... untuk warga Jakarta dan sekitarnya, jika mau merasakan gunung, larinya kalau tidak puncak Bogor, ya Bandung.

******

Ethan tengah duduk di balkon Apartementnya. Meneguk wine sambil memandangi awan jakarta yang jarang memiliki bintang. Ponsel pria itu tengah memutar channel youtube Queenbee milik Pramitha. Mendengar suara pramitha dan memandangi kecantikannya, biasanya mampu menghibur hati rindu miliknya.

Namun malam ini beda. Padahal, sudah lebih dari tiga puluh menit, berbagai vidio make up tutorial Pramitha terputar. Namun tak sedikitpun hati Ethan bergetar dan bibirnya tersenyum. Wajahnya tampak datar dengan tatapan mata kosong menatap kearah langit. Entah kemana pikirannya saat ini. Yang jelas, justru sekelebat bayangan Aluna yang kini mengitari dunianya.

Ini kurang ajar. Seharusnya Ethan bersenang-senang dan tak perlu sebegini hampanya hanya karena gadis yang penampilannya bahkan jauh dari standar menarik. Namun ia tak tahu mengapa kini justru mengalami hal memuakkan seperti ini?

Ponsel Ethan berdering. Nama Veronica lagi.

Ethan hanya melirik dan tak melakukan apapun pada ponselnya. Sejak berencana mendekati Aluna demi balas dendamnya pada Abimana, ia memutuskan untuk jauh dari wanita tukang pesta yang hanya menginginkan harta dan tubuhnya. Tak ada cinta untuk Veronica dan Ethan tak peduli seberapa marah wanita itu pada diri dan perluakuan tak acuhnya.

Ponsel Ethan berdenting. Tanpa pesan masuk berbunyi.

Awalnya ia tak tertarik membuka pesan. Paling Veronica lagi dengan kata-kata makian penuh emosinya. Namun saat melirik pop up pesa pada layar, ternyata Donna.

Donna : Bapak, saya ada info penting!

Ethan : Apa?

Donna : Sabtu besok anak-anak programmer Elba's mau naik ke Ranca Upas. Senior dan junior semua ikut. Termasuk Aluna.

Ethan : Lalu?

Donna : Kalau Bapak mau ikut, jangan lupa ajak Pak Ernest. Kali pulangnya kita di traktir makan sama si boss :)

Ethan menaikkan satu alisnya. Membaca informasi yang Donna kirimkan, entah mengapa menciptakan satu tarikan lembut di bibirnya.

*******

"Donna!" Cantika, dengan langkah lebar menghampiri Donna yang sedang asyik mengambil gambar pemandangan Ranca Upas. "Itu ada Pak Ernest sama Pak Ethan. Kok bisa mereka ada disini?"

Donna tersenyum lebar hingga giginya tampak. "Ya Ampun, boss gue emang beneran sayang sama anak buahnya, ikh."

Cantika bedecak kesal. "Lah ini tuh acara buat kita-kita para programmer, tau gak sih! Lu malah bocorin ke atasan. Ember deh lo!"

Aluna yang tengah merebus air bersama beberapa junior programmer, menyernyitkan dahi. Gadis itu membatin, bagaimana bisa ada Ethan disini?

"Donna emang ember pecah. Bocor pula!" sungut Cantika yang melanjutkan kegiatan mengupas apel dan mangga untuk camilan mereka.

"Jadi ...?"

Cantika mengangguk. "Ulah temen lu tuh, yang demen banget sama laki orang! Ngapain sih ada boss di acara hura-hura kita?"

Aluna mengendikkan bahu. Enggan menanggapi gerutuan Cantika saat ini. "Yang jelas mereka suruh cari tenda sendiri. Karena tenda kita udah pas sama anggota piknik kali ini."

Ethan sang petualang, mengeluarkan perlengkapan outdoor miliknya dari mobil. Dengan cekatan, ia memasang tenda yang ia bawa dan berbagai perlengkapan lainnya yang tentu saja, jauh lebih bagus dan canggih dari pada tenda milik para programmer yang mereka sewa itu.

Beberapa kali Aluna memperhatikan Ethan diam-diam. Pria itu bercengkrama dengan Ernest dan beberapa senior programmer pria yang hadir di acara Aluna dan teman-temannya ini. Aluna mengingat bagaimana Ethan memperlakukannya dengan penuh perhatian selama ini. Sejak kejadian di pantry tempo lalu, Ethan tak pernah malu memperlihatkan perhatiannya pada Aluna meski di depan rekannya atau anak buah pria itu.

Ethan pun tak sekalipun menanyakan kakak iparnya saat pria itu mengantarnya pulang atau menjemputnya kerja. Meski ... belum ada kemajuan signifikan dari kedekatan mereka, namun hati Luna, mau tak mau mengakui bahwa ia ... nyaman dengan perlakuan pria itu.

"Aluna!" panggil Donna. "Makan malem kita goreng kentang sama bakar sosis aja ya! Cantika bikin salad sayur. Kayaknya itu cukup deh. Si Rendi malah beli singkong pas kebawah tadi. Katanya mau dibakar di api unggun. Dasar tu bocah."

"Terserah," jawab Aluna santai.

"Bakar jagung gak?"

"Terserah."

"Atau ... direbus aja jagungnya?"

"Terserah."

Donna mendengus. Aluna memang begitu. Tak pernah detil pada hal-hal yang bukan tentang teknologi informasi. Melihat temannya yang kini sibuk membuat minuman hangat menjelang petang, Donna akhirnya beranjak meminta teman-temannya untuk mulai memasak makan malam mereka.

Berkumpul bersama rekan kerja tanpa ada tekanan pekerjaan itu, memang sangat menyenangkan. Apalagi, jika di alam terbuka seperti ini. Riuh suara yang tengah benyanyi dengan iringan gitar, tawa menggelegar yang meramakan malam, serta canda yang membuat semua orang terasa bebas dari kepenatan. Tidak ada acara khusus. Hanya berkumpul, senang-senang dan melepas penat.

Aluna duduk tersenyum dan sesekali mengikuti lirik lagu yang teman-temannya nyanyikan. Ditangannya kini, ada tumbler bergambar awan dan pelangi berisi kopi yang sejak tadi ia genggam dan sesekali dinikmati. Gadis itu bersantai dan menikmati hawa dingin khas pegunungan yang selalu berhasil memberikan kenikmatan tersendiri. Aluna memejamkan mata, menghirup udara segar yang entah mengapa, ampuh membersihkan segala kepenatan yang ad di otak. Hingga ... tubuhnya tiba-tiba merasa di rengkuh oleh satu tangan kekar yang ternyata ...

"Pak Ethan?" Aluna terperanjat dan sontak bergerak tak nyaman mendapati Ethan memeluk pinggangnya dari samping. "Tolong jangan begini. Ada banyak orang disini."

Ethan tersenyum lantas mengambil tumbler yang ada di genggaman Aluna. Satu tangan pria itu kini mengambil tangan Aluna dan mengajak gadis itu berdiri dari duduknya.

"Ikut aku kesana!" perintah Ethan yang kini menarik Aluna untuk mengikuti langkahnya.

"Disana sepi. Saya takut," jawab Aluna yang berusaha melepas genggaman erat tangan Ethan.

"Tidak ada setan, Aluna."

"Saya bukan takut setan, tapi Bapak."

Ethan berhenti melangkah. Ia sontak berbalik dan menatap Aluna yang menundukkan pandangannya. "Saya tidak akan melakukan apapun kepada kamu. Saya tidak segila itu, Aluna." Pria itu lantas melanjutkan langkahnya menuju satu tempat yang agak jauh dari keramaian.

"Ayo duduk!" ajak ethan pada Aluna. Gadis itu menuruti. Ia kini duduk diatas rerumputan dibawah langit dengan gemerlap bintang. "Tidurlah. Terlentang," lanjut Ethan.

Aluna menatap Ethan penuh waspada. Tidur di tanah lapang malam-malam berdua dengan pria? Tidak! Mas Bima pasti membunuhnya. Apalagi pria itu Ethan Arnold.

"Jangan takut Aluna. Aku memintamu terlentang agar kamu bisa nyaman memandang bintang diatas sana." Ethan mendongak menunjukkan jutaan kerlip bintang yang membuat Aluna seketika terpesona oleh ciptaan Tuhan.

Sedikit takut, Aluna akhirnya merebahkan tubuh diatas tanah dan tersenyum menatap kilau yang kontras menemani pekat malam.

"Aluna," panggil Ethan yang kini juga terlentang disamping gadis itu.

"Saya ... ingin mengucapkan terimakasih." Aluna menyela lirih. "Terimakasih untuk perhatian dan perlakuan Bapak kepada saya. Namun ...,"

"Tolong jangan tolak saya lagi! Saya bahkan belum bicara, Aluna."

Hening. Aluna diam. Netra wanita itu fokus pada jutaan bintang diatas sana.

"Saya tau pasti sulit bagi kamu untuk percaya pada saya. Namun saya tulus ingin dekat dan lebih mengenal kamu."

"Itu sudah cukup hanya sebagai rekan kerja, Pak."

"Tidak cukup, Luna," sanggah Ethan. "Kamu harus bisa membedakan hubungan dengan hati dan hubungan yang hanya timbal balik."

"Memangnya Bapak ada hati dengan saya?" tanya Aluna tanpa menatap Ethan. Sejujurnya jantung gadis itu tengah bertabuh kencang mendapati hanya berdua dengan pria yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya.

"Apa yang selama ini kita lalui belum cukup membuktikan?"

Aluna ingin menggeleng, tapi ia ragu. Ingin mengangguk, tapi hatinya ragu. Aluna, memilih diam.

"Jangan berharap banyak pada pemilik aplikasi jual beli itu."

Aluna sontak menoleh pada Ethan. Wajahnya tampak terkejut. "Maksud Bapak?" tanyanya pura-pura tak memahami maksud Ethan. Meski otak cerdasnya, sudah curiga kemana arah bicara Ethan saat ini.

Ethan tersenyum menatap wajah Aluna. Dari jarak sedekat ini ..., mengapa Aluna tampak manis sekali? "Pengusaha e-commerce Bandung itu. Tunangan artis yang sekarang beralih menjadi politikus itu. Aku mengenal Tiara, Aluna. Dan aku tau siapa kekasihnya." Pelan, Ethan bicara pada Aluna. Hati pria itu entah mengapa berdebar mendapati sedekat ini dengan adik ipar mantan kekasihnya. Jika boleh, ia ingin mencium dan melumat bibir beraroma kopi itu sekali saja.

Aluna mengejap dan seketika bergerak tidak nyaman. Ini bahaya jika orang-orang tau bahwa selama ini ia berhubungan dengan Anggara Satya dan Mitra Dagang.

"Jangan takut," ucap Ethan pelan menenangkan. Bahkan saat ini, pria itu memberanikan diri menggenggam tangan Aluna dan mengaitkan jemari mereka. Aluna kikuk. Ia tidak pernah begini dengan siapapun. "Rileks, Baby," bisik Ethan lirih dan entah mengapa justru terdengar seksi dan menakutkan di telinga Aluna.

"Jangan katakan pada siapapun. Tolong ... jangan. Anggara ... pelangi saya," cicit Aluna memelas menatap Mata Ethan.

Satu sisi hati Ethan terluka mendapati ada pria yang lebih mendominasi hati Aluna ketimbang dirinya. Namun ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak mudah emosi disaat seperti ini. "Memangnya apa yang dia lakukan padamu?"

Binar mata Aluna mulai sendu. Ia kembali menatap langit. Mencoba menghibur hatinya dengan memandangi jutaan bintang yang berkilau bak berlian. Lirih, akhirnya Aluna berani bercerita tentang sosok Anggara Satya dimatanya. Tentang Anggara yang bagaikan pelangi memberi warna di hidupnya. Sosok yang datang setelah Aluna bertahan dari hujan dan badai kehidupan yang ia lalui sendirian. Aluna bahkan mengakui bahwa ia ... menaruh hati pada sahabatnya.

Ethan terbakar cemburu. Kaitan jemari pria itu pada Aluna bahkan mengetat membuat Aluna meringis kesakitan. Perlahan ia menghela napas, mencoba mengatur emosi dan cemburu butanya.

"Jangan lagi kamu mengharapkan pria itu," titah Ethan dengan suara datar dan rendah. Sarat dengan emosi dan amarah yang mati-matian ia pendam.

"Saya sudah berusaha. Tapi hati saya memang belum bisa," putus asa Aluna mengakui kelemahannya.

"Pasti bisa, Luna. Jika kamu mengijinkan saya menggenggam tangan kamu, dan kamu berusaha untuk tidak melepasnya sampai kapanpun."

Aluna menoleh lagi pada Ethan. Tanpa disadari, ia tersenyum pada wajah Ethan yang menatapnya penuh keseriusan dengan binar mata yang dalam. "Apa kali ini akan berhasil?" tanya Aluna lirih. Antara ragu namun mau.

Ethan mengangguk. "Langkah pertama adalah dengan membuka hati dan diri kamu untuk aku."

Pelan, Aluna mengangguk. Gestur yang Aluna tampakkan saat ini, berhasil membuat senyum Ethan merekah indah. Pria itu bahkan menarik kaitan mereka dan mencium tangan Aluna sambil tersneyum.

"Mau saya jelaskan tentang bentuk rasi bintang?" tawar Ethan dengan wajah tampan yang ceria.

Aluna mengangguk lantas netra gadis itu kembali pada langit malam.

Tanpa melepas genggaman, Ethan kini mulai bicara tentang rasi bintang dan beberapa hal di dunia yang pernah ia lalui pada Aluna. Entah ini ulah semilir angin atau ... malam yang cerah. Yang jelas, Aluna merasa ada sesuatu hal baru yang ia rasakan di hidupnya. Bahkan dimalam yang seharusnya terasa dingin, hati dan tubuhnya entah mengapa justru menghangat.

Mungkin karena Ethan, tengah menggenggam tangannya dengan penuh perlindungan?

*******

Vote Vote Vote Yess!!

maapkeun kalo aku ndak bales komen. Bukannya gak mau heboh, tapi karena ini aku lagi targetin bisa update tiap hari, aku jadi lebih fokus ke nulis part baru biar para pembaca yang kusayang ini, semakin seru main di lapak akuh wkwkwkwkwkwk... tapi kalo senggang, inshaallah aku rumpik juga di tiap chapter.

Happy Reading! Jangan lupa komen yess biar makin rame hehehe

LopLop

Hapsari









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top