part 22




Udah ready di playstore ya gengs♥️

Satu jam lebih berada di dalam mobilnya, mengamati debur ombak yang menghantam bebatuan, Ken memutuskan untuk pergi. Ia tak mungkin kembali ke kediaman orangtuanya, jadi ia memutuskan untuk tinggal di tempat tinggal yang sudah disiapkan oleh rumah sakit.

Saat hendak pergi, Ken melihat siluet wanita yang ia kenal.

Qyra.

Ken mengamati Qyra yang tengah berdiri di tepi tebing.

Apa yang mau dia lakukan? Kenneth mengerutkan keningnya.

"Dia mau bunuh diri!" Kenneth segera keluar dari mobilnya dan berjalan cepat menuju Qyra yang sudah maju selangkah.

Kenneth tidak peduli pada Qyra, tapi hari ini ia tidak ingin melihat ada orang bunuh diri di depannya.

Tangan Kenneth dengan cepat meraih lengan Qyra, menarik Qyra menjauh dari tepi tebing. "Kau mau mati?!" tatapan Kenneth terlihat sangat tajam.

Qyra yang tersentak membalas tatapan Kenneth dingin. Siapa yang mau mati lagi? Qyra tahu bagaimana rasanya mati, itu sangat mengerikan.

"Lepaskan tanganku." Qyra beralih ke tangannya yang digenggam oleh Kenneth.

Kenneth tersadar, ia segera melepaskan tangan Qyra. "Jika kau mau mati, setidaknya jangan hari ini. Jangan di depan mataku."

Qyra tersenyum pahit. Kenneth memang tidak pernah peduli pada orang lain. Ia menariknya hari ini hanya karena tidak ingin matanya tercemar. "Jangan sok tahu."

"Lantas, jika kau tidak ingin bunuh diri lalu apa yang kau lakukan di tepi tebing ini!" Kenneth tidak bertanya, ia sedang menuduh Qyra.

Qyra tidak perlu menjelaskan apa yang ia lakukan di sini pada pria seperti Kenneth. "Jangan pernah urusi urusan orang lain."

"Aku tidak tertarik pada urusanmu. Aku hanya tidak ingin melihat orang bunuh diri di depan mataku. Jika kau mau melakukannya lagi, lakukan setelah aku pergi."

"Lihat siapa yang bicara? Kau yang mendatangiku, tapi kau bersikap seolah aku yang mengganggumu."

Kenneth diam. Qyra memang benar. "Terserah kau saja." Ia pergi tanpa melihat ke Qyra lagi.

Mobil Ken menjauh. Qyra kembali menatap tebing bebatuan. Posisinya saat ini adalah tempat di mana dirinya dulu didorong oleh Calvin. Ia tidak sedang mengenang hari mengerikan itu, ia datang ke sana untuk mengingatkannya tentang pembalasan dendam. Ia tidak boleh mengasihani siapapun yang sudah membuatnya tewas.

***

Hari pementasan sekolah Meisie tiba. Gadis kecil itu sudah terlihat cantik dengan gaun berwarna merah muda. Gadis ini akan melakukan pertunjukan, ia akan bernyanyi.

"Sudah siap?" Qyra meenghampiri Meisie.

"Sudah, Bi."

"Kalau begitu ayo kita pergi." Qyra menengadahkan tangannya, Meisie meraih tangan itu lalu mereka melagkah bersama.

"Apakah Paman terlambat?" Kenneth datang di waktu terakhir. Ia menepati janjinya pada Calvin untuk menemani Meisie selama pementasan.

Beberapa jam lalu, Kenneth enggan pergi. Meisie adalah anak Briella dan Calvin, fakta itu membuatnya kecewa. Akan tetapi, batinnya mengatakan bahwa ia terlalu picik jika mengabaikan Meisie karena kejahatan yang dilakukan oleh kakaknya dan Briella.

"Tidak, Paman. Kami baru saja mau pergi." Meisie tersenyum manis. Gadis ini tadi merasa kecewa karena ayahnya tidak bisa melihat pementasannya, tapi setelah tahu pamannya akan hadir, ia merasa sedikit lebih baik.

"Ayo, kita pergi." Kenneth meminta tangan Meisie. Ia membuka mobilnya lalu membantu Meisie naik.

Mata Kenneth bertemu dengan mata Qyra. Wanita itu tidak jadi bunuh diri, pikirnya. Qyra mengabaikan tatapan Kenneth lalu masuk ke mobil.

Kenneth tidak begitu peduli akan sikap dingin Qyra. Ia kemudian masuk dan melajukan mobilnya.

Taman kanak-kanak tempat Meisie belajar sudah ramai. Meisie beserta paman dan perawatnya masuk ke aula tempat acara diadakan.

"Kau gugup?" Qyra berjongkok di depan Meisie. Ia tersenyum sembari menatap Meisie hangat.

Meisie menggelengkan kepalanya. "Aku sudah sangat siap untuk pementasan ini."

"Bagus. Bibi suka rasa percaya dirimu." Qyra merapikan rambut Meisie dan membiarkan Meisie bergabung dengan teman-temannya.

Qyra mengambil tempat duduk begitu juga dengan Kenneth.

"Apakah kalian pasangan?" Seorang wanita bertanya pada Kenneth dan Qyra.

Qyra mendengus, sementara Kenneth tetap memasang wajah poker. Pasangan? Yang benar saja. Mereka memikirkan hal yang sama.

"Aku paman dari gadis itu. Sedang dia adalah perawat keponakanku." Kenneth menjelaskan.

"Ah, jadi ini seperti Cinderella." Wanita lain yang ternyata menguping ikut bersuara.

"Kami tidak ada hubungan apapun." Qyra bersuara dingin.

"Begitu? Sayang sekali. Kau harusnya lebih agresif. Lihat dia, dia pria tampan dan terlihat mapan. Harusnya kau menggodanya agar dia jadi milikmu." Wanita pertama bicara tanpa tahu malu.

Qyra tampak tidak peduli. "Pementasan akan segera dimulai. Jika kalian masih ingin bicara, sebaiknya teruskan di luar."

Kalimat ketus Qyra membuat dua wanita tadi memerah. "Sangat sombong. Wajar saja dia tidak suka padamu." Wanita satunya menatap Qyra sinis.

Namun, siapa yang peduli. Qyra pernah menjadi wanita yang sangat ramah, tapi ia tetap dicecar dari balik punggungnya.

Acara dimulai. Orangtua murid yang menyaksikan anak-anak mereka di atas panggung sibuk mengabadikan momen tersebut.

Setelah sebuah pertunjukan tari selesai, kini waktunya Meisie dan teman-temannya yang bernyanyi. Meisie terlihat mencolok, bukan karena gaun mahal yang ia kenakan tetapi karena wajah cantik yang gadis kecil itu miliki.

Qyra meringis di dalam hati. Wajah Meisie adalah perpaduan Briella dan Calvin, ia sangat terlambat menyadaei hal itu.

Tersenyum, Meisie menatap Qyra. Ia kemudian menyanyi dengan percaya diri. Lagu yang saat ini Meisie nyanyikan adalah lagu yang sering ia dendangkan dengan ibunya.

Mengingat itu membuat Meisie meneteskan air mata. Qyra tahu apa yang Meisie rasakan, gadis kecilnya tengah sangat menderita.

Meisie berhenti menyanyi. Ia begitu merindukan ibunya.

Qyra tergerak. Ia melangkah menuju ke arah grand piano yang ada di aula. Memainkannya, Qyra mengiringi lagu yang sedang dinyanyikan.

Meisie melihat ke arah Qyra dengan matanya yang basah. Qyra tersenyum sembari terus memainkan tuts piano. Perlahan Meisie kembali bernyanyi. Qyra merasa bahagia, ia terus bermain piano seolah hanya ada dia dan Meisie saat ini. Jemarinya menari-nari, seolah piano itu diciptakan khusus untuknya. Begitu cocok.

Lagu selesai, Qyra juga telah menyelesaikan permainannya. Ia kembali ke tempatnya tanpa peduli bahwa saat ini ia tengah menjadi pusat perhatian.

"Bibi, terima kasih." Meisie memeluk Qyra.

Qyra mengecup kening Meisie. "Kau bernyanyi dengan sangat baik."

Kenneth memperhatikan Meisie dan Qyra. Tatapan Qyra terlihat sangat berbeda ketika bersama Meisie. Ia terlihat sangat lembut, hangat dan keibuan. Kasih sayang memancar jelas di mata Qyra.

"Paman, bagaimana penampilanku?" Meisie kini beralih ke Kenneth.

Pria itu segera memalingkan wajahnya dari Qyra dan fokus pada Meisie. "Kau seperti seorang penyanyi sungguhan. Paman sangat bangga padamu."

Meisie terkikik geli. "Benarkah? Tapi, Meisie tidak bercita-cita jadi penyanyi. Meisie mau jadi dokter seperti paman. Mama pasti senang kalau Meisie jadi dokter."

Qyra tertegun. Putrinya ingin menjadi dokter karenanya.

"Kalau begitu Meisie harus belajar dengan rajin. Di masa depan, Meisie pasti akan jadi dokter yang terbaik." Kenneth menyemangati Meisie.

"Baik, Paman." Meisie kembali tenang. Ia duduk di antara Qyra dan Kenneth. Menyaksikan pementasan selanjutnya.

Kenneth melihat ke depan, tapi pikirannya melayang. Ia dulu tidak memiliki cita-cita menjadi dokter, ia ingin membangun usaha sendiri. Namun, setelah melihat kesedihan di mata Aletta karena ayahnya yang menderita sakit kanker, Kenneth mengubah cita-citanya. Ia menjadi lebih serius dalam belajar, bahkan ia menghabiskan hari liburnya untuk membaca buku tentang kedokteran.

Ia pernah membuat orangtuanya cemas karena siang dan malam terus berada di ruang perpustakaan. Saat itu Kenneth sedang menghadapi ujian masuk ke universitas kedokteran terbaik. Dan kerja kerasnya tak mengecewakan, ia meraih nilai tertinggi dan mendapatkan beasiswa.

Semenjak kuliah, Kenneth semakin tidak memiliki waktu untuk bersenang-senang. Mengingat bagaimana Aletta menangis ketika ayahnya tidak sadarkan diri karena kanker yang semakin menyiksa, Ken tidak bisa membuang waktunya. Tujuan Kenneth menjadi dokter kanker adalah demi mengobati ayah Aletta, tapi sayangnya sebelum Kenneth berhasil melakukannya, ayah Aletta telah tiada.

"Nona, bisakah kami meminta Anda untuk bermain piano lagi? Pemain piano kami mengalami sebuah insiden." Penanggung jawab acara berdiri di sebelah Qyra, meminta bantuan dengan sopan.

Qyra tidak memiliki alasan untuk menolak, lagipula ia menyukai piano, jadi tidak ada salahnya.

"Baiklah."

Wajah si penanggung jawab acara terlihat lega. Ia segera mempersilahkan Qyra menuju ke grand piano.

Qyra duduk di bangku, jemarinya sudah berada di atas tuts piano. Suasana di dalam aula menjadi hening. Denting piano mulai terdengar. Lagu yang Qyra mainkan seperti sihir bagi orang-orang yang ada di sana. Mereka bisa merasakan kesedihan dari nada yang Qyra mainkan. Begitu menyayat hati.

Siapa kau sebenarnya, Qyra? Kenneth menatap Qyra seolah hanya ada Qyra sendirian di sana. Dadanya berdebar tidak karuan saat ini. Sesuatu begitu mengganggunya.





Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top