Act 7 - Klien

Di ruang guru, Aron mengetuk-ngetukkan pulpennya seperti memikirkan vonis. Sekarang ia mengenakan kacamata dan menggulung lengan kemejanya sampai siku. Seharusnya tampak ganteng, tetapi karena isi kepalaku kusut. Aku tidak bisa memikirkan apa-apa selain rentetan kebodohan yang terekam CCTV di hadapanku.

"Laras, ini pelanggaran yang serius. Kau tahu perbuatanmu bisa menyebabkan orang celaka?"

Dan kenapa Aron benar-benar bertindak sebagai guru sekarang?

"Mohon maaf ya, aku sedang melakukan penyelidikan."

"Penyelidikan apa? Ini jelas-jelas perbuatan iseng yang tidak termaafkan. Besok aku akan memanggil orangtuamu. Sekarang kembali ke kelas, kerjakan tugas tambahan ini, dan jangan pulang sampai kau menyelesaikan semuanya. Aku memantau." Aron memberi gestur menunjuk kedua matanya dan kedua mataku bergantian. Jika ada penghargaan aktor terbaik tahun ini, Aron pasti menang.

"Aron, hentikan sandiwara ini!" ucapku marah.

"Anak muda, berani memanggilku tanpa 'Pak'? Untuk ukuran gadis yang terkenal pendiam dan kalem, kau melampaui batas."

"Kau yang dari tadi kurang ajar."

"Aku cuma memberimu satu tugas." Aron mengepalkan tangan di depan mulut, di baliknya ia tersenyum hangat penuh kesabaran seolah menghadapi anak TK yang tantrum. "Jangan memancing amarah saya kalau mau diluluskan."

"Aron!"

"Laras!" Aron menampar permukaan meja. Seketika ruang guru menjadi hening. "Hanya satu tugas, setelah itu kau boleh pulang."

Sebagai manusia berusia duapuluh tujuh tahun, kata-kata dan tindakan Aron sangat menyakitkan. Aku bukan lagi anak kecil yang bisa disuruh-suruh di bawah ancaman. Kalau muak bekerja, aku bisa resign. Dia pikir aku arwah penakut yang mudah dikendalikan.

Dalam perasaan terkhianati, kubawa seluruh kertas tugas dalam dekapan. Mati-matian menelan amarah dan pergi tanpa mengucapkan salam sama sekali. Ruang guru segera meledak dalam gosip ketika kakiku melangkahi selasar. Hawa dingin AC berganti panas dari cuaca jam dua siang. Seketika punggungku mengeluarkan peluh.

Sambil menyeka keringat di dahi, kuperhatikan anak-anak di lantai dua menatapku penuh waspada. Kepergok, mereka langsung membuang muka dan pura-pura bercanda dengan tawa dibuat-buat.

Ada apa sih?

Apa yang Aron lakukan sehingga aku menjadi siswa menyedihkan? Kalau mau penyelidikan lancar, harusnya ia menjadikanku siswi populer atau ketua OSIS sekalian. Dasar dukun menyebalkan! Awas saja, di rumah akan kutedang bokongnya sampai keluar ambeien.

Naik ke tangga sayap barat, murid-murid masih menjauhiku. Sesampainya di kelas, suasana yang ricuh mendadak hening seperti di pemakaman.

"Jauh-jauh, nanti kena kutuk," seseorang berbisik.

"Lihat matanya, dia sedang marah sekarang."

"Kenapa dia menyalakan alarm kebakaran ya?"

"Caper kali."

"Buat apa?"

"Entah."

"Gila."

Aneh, tidak memiliki teman, Laras siswi SMA ini benar-benar tidak bisa diselamatkan. Di samping tempat duduknya pun tidak ada orang. Meja Laras penuh coret-coret dari tip-x dan spidol. Walau sudah dicat ulang, beberapa tulisan masih kelihatan dan isinya menyeramkan.

Penyihir

FREAK

Gila

Mati sana

Pergi dari sekolah kami

ANJING

Ramah sekali mereka. Aku penasaran bagaimana cara Aron menyusupkanku ke sekolah ini. Tidak mungkin ia menyusun skenario jelek Laras-siswi-gila untuk penyelidikan. Laras ini pasti seseorang, tapi siapa? Dan yang terpenting, kenapa?

Untuk mencatat penemuan itu, aku merogoh ransel untuk mencari kertas dan pulpen. Anehnya, tidak ada benda panjang tipis di dalam sana. Saat membuka resleting ransel lebar-lebar, aku menemukan lilin, cawan, kartu tarot, seplastik arang, dan korek api.

LARAS KENAPA SIH?!

Aku mengusap dahi frustrasi. Pantas saja ia dianggap freak, tidak ada satu pun ATK yang dibawa. Memangnya dia mau membuka klinik ramalan?

Seolah semesta ingin kepalaku pecah, pemuda kelas duabelas yang kutabrak tadi tiba-tiba muncul di pintu dengan tatapan marah. Dahinya dipenuhi bulir-bulir keringat, napasnya tersengal-sengal, matanya beredar dan segera menancap ke arah tempatku duduk.

Atlit basket yang marah mirip Hulk kurus yang gagal berubah. Kedua kaki jenjangnya menapak seperti raksasa mendatangi ibu Timun Mas. Rasanya seperti mau dilahap. Menghadapi kegugupan, aku meneguk liur dan menatapnya tanpa memperlihatkan satu mimik wajah pun.

"Mau menggunai-gunaiku?!" Pemuda itu melempar secarik foto kusut ke mukaku. Itu fotonya. Foto yang diberikan Aron tadi siang. Kok bisa?

"Jangan main-main denganku!" bentaknya. "Aku tahu kau merencanakan sesuatu. Kau sengaja menabrakku, 'kan? Kalau sampai terjadi hal-hal aneh padaku, akan kubuat kau muntah paku. Mengerti?!"

Bingung. Aku tidak mengangguk atau menggeleng meresponsnya. Diam mematung, seolah ia bosku yang murka karena target bulanan tidak tercapai. Jadi, Laras punya reputasi buruk dengan ilmu hitam. Menarik.

Yang punya masalah mengerak di sekolah ini ternyata aku, bukan dia. Pemuda di depanku adalah remaja normal bintang basket. Kenapa Aron ingin membenturkan dua kubu berlawanan? Apa dia mau membuat novel roman picisan.

"Ristirianto," panggilku, membaca nama dari label di seragamnya. Kalau Aron bisa mendalami akting sebagai guru muda yang tampan, maka aku juga bisa jadi siswi aneh pembaca nasib di udara. "Aku tahu siapa kau sebenarnya."

Rian berjengit. Ia tampak syok dengan kalimat tebak-tebakanku barusan.

"Pembohong! Dasar manusia gila!"

"Aku tahu tentang kegelisahanmu."

"Diam!"

"Mau kubaca masa depanmu?" tawarku lembut, aku menatapnya sambil tersenyum. Tetapi Aron mengartikannya sebagai seringai mengancam.

"Hentikan omong kosongmu!!" Kedua tangan kekar Rian membalik meja. Seluruh isi kelas menghela napas pendek seperti asma berjamaah. Aku masih berusaha menjaga kewarasan. Untuk semakin menakutinya, kukeluarkan kartu tarot dan membuangnya ke lantai. Beberapa jatuh dalam keadaan tertutup.

"Aku paham kau merasa tidak dimengerti," ucapku masih lembut. Sambil membungkuk, kubuka satu per satu kartu yang tertutup. Ada nama-namanya di sana: The Fools, The Harriot, The Justice. "Mimpi buruk terus menghantuimu. Aku hanya ingin membantu, Rian." Kartu Death terbuka. "Dari kejadian buruk yang paling buruk."

"Penyihir," ejek Rian sambil menuding, nasa suaranya bergetar dan peluh di dahinya menderas seperti bulir biji kacang.

"Begitu pun kau, Rian, kita berbagi rahasia yang sama."

"Dusta!"

"Matamu tidak bisa berbohong."

Seketika Rian terdiam. Seluruh isi kelas berbisik membicarakan kami dalam ketakutan. Ada yang terang-terangan menyebutku skizofrenia, berdelusi, atau membual khas remaja khayali. Aku tidak peduli, aku bukan Laras si siswi SMA.

"Kau ... awas saja." Satu detik kemudian Rian memalingkan diri, ia pergi keluar kelas sambil mengepalkan tangan. Lalu suasana menjadi hening. Aku yang muak akhirnya ikut beranjak dan menetapkan satu tujuan: Aron. Ia harus menjelaskan segalanya.

****

Selama perjalananku ke ruang guru, murid-murid memandang tidak percaya. Beberapa dari mereka menunjukku dan memberi gerakan jari telunjuk miring di dahi. Ada pula yang meludah di dekat kakinya membuang sial. Sisanya yang berpapasan di jalan mengalihkan muka bahkan menghindariku dalam radius sepuluh langkah seakan aku punya kudisan.

Sesampainya di ruang guru, aku langsung mencari Aron yang sedang memegang kotak bekalnya. Ia mengobrol dengan guru wanita berambut pendek dan berlipstik tebal. Hanya bertemu tatapan mata, Aron tahu berapa banyak rencana pembunuhan yang kubuat dalam kepala.

"Excuse me, Madam, it's nice to talking to you," Aron pamit. Ia tersenyum sambil melambaikan tangan dan membungkus cepat bekal makan siangnya yang tidak tersentuh. Lalu menghampiriku di meja kerjanya yang rapi, sangat rapi sampai aku curiga ia tidak pernah menyentuh berkas, laptop, dan tumpukan PR anak-anak.

"Bagaimana hari pertama sekolah?" tanyanya sambil tersenyum.

"Buruk, aku baru saja meramal kematian seseorang."

"Sebuah kemajuan. Kupikir kau bakal membuat tawuran dalam lima jam." Aron menangkupkan tangannya di depan mulut. "Tapi terima kasih, berkat kau target kita sekarang gusar. Kegusaran akan membuatnya salah langkah dan jatuh. Kita tinggal menunggu momen itu."

"Kau sengaja menjadikanku siswi aneh?"

"Dengar, Rian itu sangat berhati-hati dalam bertindak. Aku pernah menjadi teman kelasnya dan tidak mendapat informasi apa-apa. Padahal Rian terkenal supel dan sering nongkrong semalam suntuk. Anehnya, ia selalu membawa teman-teman yang berbeda setiap kali jalan. Aku pernah diajak, tetapi tidak menemukan hal yang aneh. Rian selalu mengantar-jemput temannya dengan mobil satu per satu."

Aron memberi jeda. Ia menungguku paham ke mana arah cerita mengalir. Tatapannya yang tadi agak serius berubah jenaka, Aron melonggarkan ketegangan di pundaknya, dan bersandar dengan santai.

"Terjadi sesuatu pada teman yang terakhir diantarnya?"

"Benar, mereka jadi penyakitan dan lemah. Beberapa terpaksa homeschooling, sisanya di rumah sakit menjalani pemulihan. Klienku sekarang ingin mengungkap rentetan kejadian aneh ini."

"Mengungkap siapa Rian sebenarnya?"

"Benar."

"Bagaimana klien kita tahu, kalau Rian ini aneh?"

"Karena klien kita punya indra keenam."

"Salah satu orang tua murid?"

"Bukan. Klien kita adalah 'Laras' yang kau rasuki tubuhnya sekarang."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top