Act 4 - Tubuh Baru
Aku mati. Aku berkeliling kota dan tidak sadar sedang berada di mana. Kadang aku melayang sambil tidur—keahlian menganggumkan. Saking seringnya muncul-menghilang di tempat tak terduga, aku kepanasan dan terbangun sehingga harus kembali ke bayang-bayang gedung.
"Jadi, aku harus kemana?" tanyaku, pada seekor kucing liar yang sibuk mengunyah tulang. Tubuhnya kurapan, penuh luka bekas cakar, dan sebelah matanya melesak hilang dipenuhi korengan.
Meong. Aku tidak bisa bahasa kucing, meski bisa berbicara pada malaikat. Aku bukan Sulaiman yang pandai bahasa seluruh makhluk semesta. Jadi aku menafsirkan per-meong-an tersebut sebagai: kamu mau ke mana?
"Aku bingung. Aku harus menghabiskan 60 tahun di dunia. Soalnya antrian manusia masih banyak."
Meong. "Salahkan itu pada perang dan konflik berkepanjangan."
"Aku lebih menyalahkan manusia yang tidak pintar bersenggama dan lupa pakai kondom."
Meong. Kucing tersebut mengerang sambil mencakar taringnya gelagapan. "Sialan, tulang nyangkut! Nah, beres."
"Aku maunya pergi ke suatu tempat yang menyenangkan, atau berpetualang. Hidup dengan bebas dan mati mengagumkan. Aku bosan punya orang tua kolot, lebih bosan lagi jatuh cinta pada pemuda lemot. Aku benci hidupku, tapi aku lebih benci matiku."
Meong. Kucing itu mengusap-usap mulutnya dengan kaki depan. Menjilat perutnya yang kurapan, dan menggigit koreng dari luka di sekitar lengan dan badan. "Aku bisa menunjukkan seseorang padamu, yang sesuai kriteriamu."
"Benarkah?"
Meong. "Ikuti aku." Kucing itu berdiri, kemudian melangkahkan satu per satu keempat kakinya ke luar gedung yang gelap.
"Aku benci matahari, dia membuat sosokku transparan."
Meong. "Tidak akan lama, orang yang kaubutuhkan ada di seberang jalan."
Aku melihat kenampakan sebuah Rumah Makan Padang. Lalu curiga, apakah pikiranku benar-benar diinvasi oleh seekor kucing sehingga percakapan imajiner tadi mengarah pada rendang dan otak-otak, atau aku hanya kangen makan semata.
"Oke, aku memang tidak waras selama hidup. Bukan berarti aku jadi gila setelah mati."
"Gak, kamu gak gila. Ikut aku." Kucing itu berbicara. Aku melongo. "Jangan kaget manusia, ini hanya suara tiruan." Benar, suara itu hanya suara bohongan. Bibir si kucing tidak bergerak sebagaimana manusia ketika menyebut 'm', 'p', dan 'b'. Tetapi ia hanya membuka taring sedikit, lalu suara itu keluar, memintaku pergi ke seberang jalan.
"Jangan takut. Mobil dan motor tidak akan menyakitimu."
"Aku lebih takut kucing yang berbicara sekarang." Kemudian otakku transparanku bergulir sejenak. "Kau siapa?!"
"Kucing."
Lalu hewan tersebut menyeberang mendadak. Tubuhnya luwes, begitu mulus melewati aspal hitam seakan-akan terbiasa dan tak pernah takut pada kematian. Sementara aku, dialiri kepanikan setelah melihat kucing berbicara (semoga aku tidak diangkat jadi Nabi sekarang, aku tidak mau stres mengurus umat), masih harus menengok ke kiri-ke kanan.
"Cepatlah."
Aku meneguk liur yang tak terlihat. Lalu menyeberang. Langkah kakiku tidak menapak aspal, aku berlari sedikit kencang ketika sebuah motor melaju tanpa mengerem, dan segera saja aku melompat menginjak seberang.
Sialnya, di bawah pohon ketepeng. Aku melihat sesosok putih lusuh terkapar dikerubuti lalat. Itu si kucing, yang kurapan dan penuh koreng. Terbaring kaku dengan isi perut memburai dan usus-usus merahnya melunak hampir cair dimakan belatung dan cuaca.
"Itu kamu?"
"Seminggu yang lalu."
"Jadi kamu hantu?"
"Secara teknis, iya. Tapi Masterku memberi jasad dan aku jadi kucing lagi sekarang."
"Kucing burikan."
"Terima kasih."
Tiba-tiba pikiranku menciumi sesuatu yang janggal, "siapa, Master?"
"Orang yang akan memberimu tubuh juga."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top