Act - 10 Tipuan
Aku tidak pernah berpikir, kenangan memarahi Ayah-Ibu dan mencibir Arman adalah ingatan yang berharga. Kureka kembali bagaimana seorang Laras tercipta. Awalnya aku anak yang biasa-biasa saja, masuk ke SD, SMP, dan SMA Negeri. Setiap hari naik angkot karena ketidakmampuan mengendarai motor. Tidak pernah absen dari rangking sepuluh besar. Teman tidak banyak. Tetapi punya kenalan luas di mana-mana. Bukan seorang pemurung atau tukang pesta.
Hanya Laras, yang begitu-begitu saja.
Dulu aku berjanji akan melajang seumur hidup. Karena punya pasangan dan anak hanya menambah petaka dalam kepala (bercermin pada rumah tangga Ibu dan Bapak). Aku bahkan memiliki cincin murah dari pasar malam yang menjadi pengikat untuk tidak berpasangan. Sampai akhirnya Arman datang. Aku tidak mengerti bagaimana sikap pasrah dan tidak muluk-muluknya berasal. Padahal ia lebih miskin dariku, lebih gaptek, lebih jelek, dan lebih susah karena ditinggal ayah kandung.
"Tidak apa-apa," adalah kalimat pamungkas Arman. Setiap kali aku menangis karena masalah pekerjaan, Arman akan mentraktirku es campur dan mengusap kepalaku. Saat kami kehujaan dan terpaksa berteduh, ia memberiku jaket kulitnya dan berdiri tepat di antara aku dan tempias hujan. Ketika aku bosan dan ingin meninju karung pasir, Arman akan datang dan mengajakku berkeliling dengan motornya lalu memintaku memeluknya dari belakang.
"Tidak apa-apa," bisiknya. Aroma Arman perpaduan sabun Lifebuoy dan mint. Bahkan di antara kami tidak pernah terucap panggilan sayang atau status pacaran. Semua berjalan dalam iramanya sendiri. Dalam arus tenang dengan Arman sebagai nahkodanya.
"Siapa Arman?" tanya Aron tiba-tiba dari balik bahu. Cepat-cepat kututup jurnal memori dan mendorong Aron menjauh agar ia mengerti batas privasi.
"Pacarku!" jawabku ketus. Tetapi Aron malah memiringkan alis dan tersenyum mengejek. "Kenapa?!"
"Laras, kau merindukan masa lalumu?" tanya Aron pelan-pelan, ia mengambil kursi bundar tanpa sandaran dari samping meja kerja Alice. Kemudian duduk sambil menyadarkan kepala pada tangan kanannya yang menumpu di tepi meja.
Dengan berat hati kuanggukan pertanyannya.
"Kau hantu, Laras. Bukan manusia."
"Apa hantu tidak boleh kangen?"
"Semakin kau merindukan sesuatu, semakin keras kenangan itu menjebakmu. Kau akan jadi hantu yang mengerti satu perasaan. Kau pikir kenapa kuntilanak suka tertawa malam-malam?"
"Karena dia senang mengerjai orang?"
Aron menggeleng sambil mengembuskan napas. Kentara jarang tidur. Satu tangannya terjulur dan mendarat di atas kepalaku. Menepuk tipis ubun-ubun. "Laras, lupakan."
"Aku masih sayang masa laluku," kataku sambil menepis tangan Aron. "Itu hakku."
"Dan kewajibanku menjagamu menjadi hantu gentayangan." Aron meluruskan punggungnya, duduk tegap, dan menjadi lebih tinggi satu kepala dari sebelumnya. "Akalmu yang paling utama. Kalau kau sampai kehilangannya ... kau musnah."
"Cari hantu lain!"
"Tidak mau!"
"Kenapa tidak?"
"Karena cuma kau yang punya sisa umur panjang."
Kucondongkan tubuh sedikit, berusaha mengintimidasi Aron. Tetapi ia tidak bergeming. "Dua per tiga umurku ada padamu, pengabdianku hanya sebatas membantu pekerjaanmu, dan bukan menurutimu. Untuk apa menahanku?"
"Laras, aku membutuhkanmu, itu saja," ucap Aron sungguh-sungguh. Sedalam dan sesepi sebongkah es di tengah lautan luas. Sejenak kami berpandang-pandangan, ia memang memiliki mata yang mirip dengan Arman. Tetapi miliknya jauh lebih gelap dan sangat kelelahan.
"Gaun sudah siap," Alice berteriak dari balik rak-rak buku. Ia mendorong sebuah kereta yang biasa kulihat di minimarket untuk mengangkat kardus-kardus botol air mineral. Hanya saja, bukan akua di atasnya, tetapi seseorang bergaun merah marun, dengan rambut panjang hitam bergelombang. "Cantik 'kan? Ini ciptaanku yang paling sempurna. Semua sendi dan sambungan sudah kujahit serapi mungkin. Ayo Laras, masuk!" pinta Alice, seolah-olah ia sedang menyambutku ke peresmian rumah pohon miliknya.
Aron menarik lenganku berdiri, seketika mendorongku ke arah manekin tersebut, dan membuatku menjerit karena takut menghancurkan mahakarya Alice. Ajaib! Tiba-tiba saja aku turun dari kereta dorong dalam balutan sepatu hak tinggi dan hampir terpeleset. Transisi pemindahan roh ke dalam tubuh tidak ada bedanya seperti memasuki dapur.
Terkagum-kagum, aku berusaha menyeimbangkan tubuh dan menyingkap sedikit rok gaun sambil berputar-putar dan memeriksa seluruh lekukan. Tidak ada cermin, tak mengapa. Hari ini aku nyata dan memiliki rupa yang elok dipandang. Arman pasti suka.
Arman ... kenapa aku merindukan dia terus?!
"Cantik," komentar Aron. Seketika jantungku melambung dan ingin terbang ke kahyangan. Baru saja aku ingin bertanya apakah Aron tidak berganti pakaian, ia sudah mengambil mantel usangnya dari atas sofa dan membalik mantel itu, mengganti sisi dalam keluar. Warna cokelat bulukan berganti hitam mengilat dengan sepasang ekor tuxedo yang elegan. Mantel Aron dapat berganti rupa dan saat dikenakan, celana, cambang, sampai tatanan rambutnya berganti menyerupai Brad Pitt di acara premiere film terbarunya.
"Curang! Kau tidak mandi dulu?"
"Apa itu mandi?" tanya Aron jenaka. "Aku tidak mengeluarkan keringat dan jarang terkena debu. Ayo gandeng tanganku, kita ke pesta sekarang."
****
Alamat itu jebakan. Setibanya di tempat, supir taksi online langsung meninggalkan kami di tepi pemakaman umum. Tambah payung hitam, aku bisa menari balet dan menyanyikan lagu Helena oleh MCR di sini. Kenapa sih kami bodoh sekali? Sudah jelas Rian tahu keberadaannya terancam. Pasti dia menggunakan tipu-tipu halus untuk mengganti jadwal ke tanggal dan alamat sebenarnya.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku jengkel. Aron segera merogoh saku dan mengeluarkan ponsel.
"Sebentar," ucapnya meminta waktu. Di hadapanku ia melakukan panggilan pada kontak Mentega Terbang dan menunggu dua kali nada dering sebelum diangkat.
"Halo?" Suara Aukai menyahut.
"Kita ditipu."
"Ya, aku tahu. Karena itu kami tidak ke lokasi dan sedang melakukan penyisiran sendiri. Kalian bisa membantu dengan mencarinya."
"Kenapa tidak bilang dari tadi?!" Aron jengkel. Belum sempat Aukai menjelaskan, Aron sudah menutup telepon dan mengajakku memesan taksi online lagi. "Kebiasaan, dari dulu tidak pernah melakukan koordinasi, selalu maunya sendiri. Dari jaman gladiator menyerang singa, sampai tikus memakan uang pajak, selalu begitu."
"Berapa lama kalian kenal?" tanyaku ingin tahu.
"Lama sekali anak muda, bahkan sebelum agama dikenal," jawabnya selewat, seolah hal itu tidak penting. Tetapi bagiku ini memberikan petunjuk, kalau Aron bukan manusia. Setelah taksi online datang, kami segera masuk ke mobil dan terdiam sesaat. Tampak Aron sedang jengkel. Ia tahu perjalanan kami akan semakin panjang jika dilewati tanpa melakukan sesuatu.
"Baiklah, akan kuberitahu sedikit siapa itu Rian. Pertama, namanya bukan Rian. Ia sudah berganti-ganti nama selama ratusan tahun. Kami mengenalnya dengan nama Nic. Nic adalah salah satu dari Kaum Purnama, atau yang kalian kenal sebagai manusia serigala. Sebagai residivis, ia sudah berkali-kali melakukan kejahatan. Tetua Kaum Purnama telah menghukumnya, tetapi puluhan tahun kemudian, setelah bebas ia kembali berulah.
"Masalahnya, sekarang terjadi konflik rasial antara 'manusia serigala' dan 'vampir' atau yang kami sebut Anak Merah. Kerap terjadi penyerangan sampai pembunuhan di tempat-tempat terpencil oleh pihak mayoritas. Konflik ini dipicu kematian putra tetua Kaum Purnama di acara pernikahan putra-putri aristokrat Anak Merah. Konon, Alexander mati diracun. Karena ia memiliki pengaruh kuat dan dinobatkan sebagai raja Kaum Purnama berikutnya, melewati anak pertama yang sakit-sakitan."
"Kalian tidak curiga dengan anak pertama?" tanyaku lagi, berusaha terlihat kritis.
"Tidak. Dia bersih. Alibinya kuat. Saat kejadian berlangsung, ia bersama kakakkku dan tidak melakukan hal-hal yang mencurigakan."
"Kau punya kakak?" kejutan nomor dua.
"Punya. Nah, kembali ke Nic. Ia memiliki pola kejahatan yang tetap. Pertama menyusup ke masyarakat, lalu mengadakan pertemuan besar-besaran di suatu tempat tertutup, lalu ia membantai semua orang dan merenggut jantung mereka. Setelah beres, Nic akan membakar tempat tersebut, dan menghilang sampai beberapa puluh tahuan kemudian."
Seketika bayangan anak-anak remaja yang berusaha menyelamatkan diri tetapi gagal berputar di otakku. Jeritan mereka lenyap secepat cakar-cakar menggorok tenggorokan dan mencabik-cabik tubuh mereka. Tak ada ampun atau kebebasan kedua. Segera setelah api dikobarkan, jenazah mereka akan menjadi abu dan tidak dapat dimakamkan secara layak.
"Ini gawat!" seruku, sampai berkeringat dingin. "Kita harus cepat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top