2. Hutan di Pinggir Pantai

Pundak Hugo turun, begitupun dengan senyum yang sedaritadi ia tampilkan.

"Begitukah?" tanya Hugo lirih.

Tina menatap nanar, hembusan napasnya terasa begitu berat, serasa dadanya ditumpu dengan beban berkilo-kilo.

"Iya ... maaf tak bisa membantu," jawab Tina dengan berat hati.

Angin dari laut tertiup pelan menerbangkan secuil harapan bocah lelaki itu. Hugo duduk mematung di atas pasir pantai. Rambut keemasan dimainkan angin menutupi separuh wajahnya. Tangan Hugo menyibak surai pirangnya. Matanya menyipit, senyumnya dipaksakan, "Baiklah jika itu keputusanmu. Membawamu ke dalam bahaya yang lebih dalam hanya akan menjauhkanmu dari rumah."

Betul! Ya, betul sekali. Tina ingin berkata demikian dengan tegas seolah dirinya tidak punya nurani. Ini tentang urusan keselamatan, nyawa kan?

Namun, setiap kali dia ingin berucap, menjawab pernyataan Hugo, pita suaranya seolah tak bekerja. Lidahnya kelu. Tina hanya membuka mulut tanpa suara dan menarik napas melaluinya.

Untuk sementara waktu, keheningan mengisi percakapan mereka yang rumpang. Hingga akhirnya, Hugo membuka suara lagi, "Maaf sebelumnya telah bersikap egois." Hugo bangkit dan mengulurkan tangan kanannya, "Mari berjalan ke tujuan masing-masing," ucap Hugo dengan senyum yang lagi-lagi dipaksakan. Melihatnya terasa seperti meremas pecahan kaca, terasa sangat menyakitkan. Tina membalas uluran tangan Hugo dan ikut bangkit. Mereka berdiri berhadapan dengan pikiran yang sama-sama tertahan. Hanya angin, gemerisik dedaunan, dan ombak yang mengisi kekosongan.

"Sebelum berpisah, siapa namamu?" Tiba-tiba Hugo bertanya.

"Panggil saja Tina, ..." jawab Tina pelan sembari melihat wajah Hugo sebentar. Alis tebal pirang, mata biru terang, wajah pucat dengan freakless yang melintang di pipi dan hidungnya; sekilas mengingatkannya pada wajah orang eropa pada umumnya. Meskipun letaknya cukup jauh dari Indonesia, tetapi, "Semoga kita dapat bertemu lagi di bumi," sambung Tina.

Hugo mengulas senyum dan mengangguk. Bocah itu melihat Tina berbalik arah kemudian berjalan memasuki rimbun pepohonan yang begitu gelap dan dingin. Angin yang berembus dari hutan membangkitkan bulu roma Tina. Pori-porinya membesar, tak sebanding dengan nyalinya yang menciut.

Tina melihat akar-akar raksasa seolah saling bertaut. Dilapisi oleh kerak lumut sehingga menutup kulit asli akar pohon. Tina semakin ragu dengan langkahnya. Padahal tujuannya tidak salah, pulang ke rumah secepatnya, seperti pesan dari nenek yang mungkin sekarang menunggunya dengan keresahan. Tina mencoba melirik ke belakang dan melihat Hugo masih mematung di bawah pohon. Tina tersenyum pahit, semuanya terasa salah dan berkali-kali lipat terasa menyesakkan di setiap langkahnya mendekati rimba. Tina melambaikan tangan dan Hugo membalasnya secepat dia merasakan kepedihan saat meninggalkan bocah itu.

Padahal, baru kali ini dia bertemu, kenapa harus merasa bersalah? Ini bukan urusannya, tetapi langkah kaki Tina terasa berat. Hatinya berseru untuk kembali.

Tina menatap lurus ke depan, menggelengkan kepala, ini tidak boleh terjadi. Tina meluruskan niatnya, gadis itu melanjutkan perjalanannya ke dalam hutan berbekal ingatan yang sudah agak lapuk.

***

"Egois?" ucap Tina pelan. Kakinya menendang kerikil hingga melesat beberapa senti. Tangan gadis itu meremas rambut keriting gantungnya, tak peduli seberapa susah menata rambut itu agar tetap rapi, "Huh, bocah menyebalkan," bisiknya lagi, "..., enteng sekali dia memelas, bikin nggak enak hati aja huh!" sambung Tina lagi.

Gadis itu akhirnya memilih duduk di atas akar besar menjalar. Tak mempedulikan lumut yang akan mengotori gaun putih yang dikenakannya. Toh apa pedulinya? Gaun putih ini tak pernah ada di dalam koleksi lemari Tina. Hanya dalam mimpi dia memakainya.

Dilihat lagi gaun putih yang sedang dikenakan. Warna putih ini mengingatkannya dengan kain mori yang sering digunakan untuk membungkus mayat. Tina bergidik ngeri, apa setiap kali tersesat, langkahnya mendekat pada maut?

Kini pandangan Tina beralih pada lorong tempat ia masuk tadi. Sebenarnya lorong ini terbentuk dari pepohonan rapat yang membingkai jalan setapak yang dilalui gadis itu tadi. Jalan yang dipenuhi dengan daun kering yang gugur menguning, batu kerikil, serta uluran akar besar yang menghadang jalan. Pantas saja masih puluhan langkah, kaki Tina terasa mengapal. Ya meskipun ini resiko dia tak memakai sandal.

"Nggak mungkin juga bawa sandal. Kalau tau bakal kemari ya pasti bakal cari cara biar kabur biar nggak ke sini," gumam Tina.

Sudah berapa menit di sini, atau malah sudah genap satu jam? Tina berharap dapat mencapai puncak gunung dalam waktu delapan jam, sama seperti waktu tidur normal, meskipun itu harapan yang tidak masuk akal.

Dulu, ia ingat terbangun di rumah sakit karena terlalu lama tertidur. Badannya sudah terhubung dengan infus sebagai pengganti makanan sebab badannya tertidur hampir tiga hari.

"Tiga hari tertidur tapi tak tertidur," keluh Tina.

Gadis itu menghela napas. Kepalanya menengadah melihat kanopi pohon yang hampir sempurna menutup langit yang biru. Hanya terlihat bintik-bintik putih cahaya yang lolos.

"Apa itu?" Mata Tina tertuju pada ranting pohon dari arah jam empat dari tempatnya masuk tadi. Tanpa sadar, senyumnya terulas tipis melihat ada makhluk yang begitu indah hidup di dunia ini. Seekor burung dengan ekor panjang menjuntai. Warnanya biru keunguan. Sekilas bentuknya menyerupai merak jantan. Apakah burung itu berjenis kelamin jantan? Atau malah betina? Atau malah berjenis kelamin ganda seperti pada cacing?

Tina bangkit dari akar pohon berlumut dan melangkah mendekat pada pohon yang ditumpangi burung cantik itu. Ia mencoba mengamatinya dari bawah. Normal, indah, dan jauh tak bisa dipegang.

"Kenapa kau sendiri? Tersesat ya?" tanya Tina meskipun ia tahu makhluk itu tak akan paham dengan bahasanya.
Selang beberapa detik, Tina melirik ke sekitar. Tidak ada perubahan semenjak dia beranjak dari akar pohon raksasa. Entah sudah beberapa lama dia bersantai di sini. Akhirnya ia melangkah lagi. Meskipun sampai persimpangan, Tina kebingungan, harus belok ke kanan atau kiri, atau malah lurus.

Tina tertegun, setiap persimpangan terlihat berbeda. Hanya jalan lurus yang rupanya mirip seperti jalan yang dilaluinya beberapa waktu lalu. Melihat ini, hasrat Tina begitu besar untuk menjelajahi setiap persimpangan. Lihatlah, persimpangan kanan, kanopi daunnya berwarna berbeda. Terlihat seperti hutan musim gugur di negara beriklim subtropis. Warna jingga, merah, kuning terlihat mencolok dari dua persimpangan lain.

"Sebelumnya padahal nggak gini," gumam Tina. Ia mengingat-ingat lagi. Belokan memang ada, tapi tidak sampai ada empat seperti sekarang.

"Memang sudah lama sih tak ke sini, tapi banyak sekali yang berubah."

Tina kemudian melirik persimpangan kiri, di sana terlihat banyak pohon-pohon ramping dengan akar yang sempurna berada di tanah. Banyak sekali semak-semak dan tanaman perdu dengan bunga warna-warni. Beberapa buah juga menyembul dari dedaunan. Tina tidak bisa menolak untuk masuk ke persimpangan kiri. Meskipun tak terbesit rasa lapar, dia ingin menyicipi buah-buah itu.

"Bunganya memang berkilau ya?" Tina menyentuh bunga berwarna indigo yang berpadu dengan lilac. Batangnya mencuatkan duri-duri tajam, seolah tak ada seorangpun yang boleh memetiknya.

Wajah Tina mendekat. Aroma manis seperti cookies memasuki indra penciuman gadis itu.

"Duh, andai bisa dibawa pulang, ..." ucap Tina menyayangkan. Sebenarnya, jauh di dalam hati, tangan Tina gatal sekali ingin memetik bunga itu, tetapi urung sebab percuma saja, bunga ini hanya ada di dalam mimpi.

Tina melirik ke samping, melihat bunga dengan warna jingga berpadu kuning berkilau seperti bertabur emas beraroma segar seperti lemon dan apel, bunga merah maroon kehitaman beraroma petrichor dan masih banyak lagi.

Tina beralih pada semak dan perdu. Pada semak-semak terlihat buah-buah merah maroon sekecil manik baju. Tangan Tina terulur memetiknya. Buah ini juga mengkilat dan lembab terkena embun. Tina melahapnya. Berair, manis legit berpadu masam adalah hal pertama yang dikecap. Rasanya tidak cukup hanya memakan satu. Jemarinya tak bosan memetik hingga sampai belasan buah terlahap.

"Kapan lagi makan buah enak gratis. Apa ini ya rasanya makan buah berry?" Tina melihat buah merah bulat di telapak tangan. Ini yang terakhir, paling tidak untuk saat ini.

Tina beranjak ke perdu lain, dengan buah kecil-kecil seperti tadi dengan beragam rasa dan warna. Tidak mengenyangkan tapi sangat memanjakan lidah.

Rasanya, Tina ingin bertahan lebih lama, tetapi ia harus menghemat waktu. Sebentar saja menjelajah. Tina melangkah keluar dari kebun buah ini. Ya, sebut saja demikian. Tina yang menjauh sama sekali tak menyadari ada sesuatu yang mengintip. Makhluk menyerupai manusia sebesar capung sedang mengintip di atas dahan pohon terbesar. Sayapnya mengepak, ujung bibirnya menekuk ke bawah.

"Sudah kubilang, harusnya Bian didampingi, sihir ilusinya payah!" Makhluk itu mendesis sebal.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top