1. Lagi-Lagi Terjebak

Tak ada satupun yang salah sedari awal. Berkhayal seperti anak kecil saat usia sudah menginjak lima belas tahun mungkin tidak ada salahnya bagi Tina sendiri.

"Toh definisi salah benar kan tergantung perspektif kan?" tanya Tina menyakinkan pikirannya.

Di depannya seseorang mengangguk mantap menyetujui pikiran Tina. Gadis itu menghembuskan napas lega. Melihat sekeliling, di depannya cermin besar lebih tinggi dari tubuh Tina memantulkan bayangannya. Pandangannya mengedar, kasur yang langsung tergeletak di atas lantai, jendela besar di sampingnya menunjukkan bulan purnama, serta tali kevlar merah teruntai menggantung di udara.

Tiba-tiba, keriut dari engsel pintu kamar terdengar. Pintu terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya dengan rambut putih tergelung.

"Sudah segera tidur, " ucap beliau lirih.

Tina mengangguk, "Iya Nek ... Ini sudah mau rebahan juga."

Wanita yang dipanggil nenek itu menghela napas, "Segera tidur ya, jangan bicara sendiri di depan kaca terus."

Tina meringis, lagi-lagi ketahuan.

"Kalau terjadi sesuatu, tarik tali ini." Setelahnya, nenek segera menutup pintu pelan. Lampu telah dimatikan. Semuanya meremang dimandikan cahaya rembulan sabit di luar. Bintang-bintang gemerlap menyebar di langit menemani Tina yang sedang merenung.

"Jangan tersesat lagi, meskipun besuk sudah waktunya liburan sekolah," gumam Tina dengan mata terpejam, samar-samar ia teringat ucapan nenek pelan berbulan-bulan lalu, "Jangan tersesat lagi nak, agar orang-orang tetap menganggapmu waras."

..., agar cucuku tidak tidur terlalu lama. Bisik nenek pelan.

Namun waktunya telah tiba. Seperti telah ditentukan, ketentuan takdir ini seolah tidak lagi dapat dibatalkan. Mula-mula, Tina merasa tubuhnya terasa sangat ringan. Angin berembus pelan, sepoi-sepoi, hingga beberapa detik kemudian, kecepatan angin ini semakin bertambah. Hawa sejuk yang dibawanya terasa hingga ke tulang-tulang terdalam. Dari arah kanan kiri atas bawah seolah angin kencang saling bertabrakan dengan gadis itu dan menguatkan kesadaran. Tina membuka mata dan kenyataannya ia masih berada dalam mimpi. Langit biru di atas sangatlah luas. Dirinya yang berada di antara angin tak bertumpu pada apapun. Tubuhnya jatuh bebas. Kali ini, tidak seperti yang ia bayangkan. Jiwanya tersesat terlalu jauh.

Dalam sepersekian detik, tubuhnya menumbuk pasir putih kekuningan.

"Aduh! Punggungku ..." Tina berusaha bangkit, tetapi badannya terasa remuk. Seolah tulang belulangnya retak setelah menumbuk pasir pantai. Tak ada yang bisa dilakukan selama beberapa menit, selain merebahkan diri di bibir pantai. Melihat lamat-lamat, busa ombak berusaha mencapai tubuhnya.

Kenapa harus di sini? Pikir Tina. Tempat ini terlalu jauh dari portal keluar. Selain itu ... Tina menoleh, pupil kecoklatannya mengecil terkena pantulan cahaya di laut. Ombak di lautan berkilau seperti tersebar intan permata di sana.

Sungguh, tempat ini tak jauh berbeda dengan bumi. Matahari senantiasa bercahaya. Entah ini matahari apa bukan, tetapi bintang di sana seperti matahari. Selain itu ombak tetap bergelung di sana, di atas kapal tua lebih tepatnya. Terlihat tenang tetapi bergejolak. Tahukah bergejolak karena apa?

Ya, jauh di sana, ada akar-akar serabut yang keluar dari permukaan laut. Akar-akar itu mencakar ganas udara. Membuat lautan tidak seramah yang Tina kira. Akar-akar gelap yang membuat air di sekitar keruh.

Tina gentar, keringat dingin mengguar padahal terik begitu menyengat. Entah apa yang akan ia lakukan. Tempat ini adalah tempat terakhir yang ingin ia kunjungi, dengan waktu sesingkat-singkatnya. Belum lagi, kumpulan pepohonan yang membatasi daerah pantai dengan perbukitan.

Tina merasa seperti diampit oleh bahaya. Kenapa harus sekarang? Bagaimana bila orang di kapal itu melihatnya? Apakah ia akan direkrut sebagai budak bawahan? Mengelap karat di kapal, menarik dan menjatuhkan jangkar, menaik turunkan layar.

Byur!

"Apa itu?" seru Tina panik setelah mendengar suara deburan ombak keras. Bukan deburan ombak, suara itu begitu keras, seperti ada benda besar yang jatuh ke laut.

Saat Tina menoleh, pandangannya hanya menangkap kapal yang berlayar tetap di sana. Utuh tanpa satupun cacat.

"Akar-akar tadi tak melahap kapal, eh tunggu apa itu?" Mata Tina menyipit. Jauh di sana, akar-akar itu memijak-mijak permukaan laut dan memporandakan sekitar. Tina refleks bangun dan terseok-seok pergi menjauh dari sini. Ia butuh ketinggian, untuk berlindung serta mengamati sekitar.

"T-Tolong!" Suara dari kejauhan terdengar samar bersamaan dengan keramaian deburan ombak. Langkah Tina terhenti, melirik lautan lagi, dan menemukan sesuatu kecil sedang berenang.

Manusia? Adakah manusia lagi di sini?

Tina mencoba berpikir sejenak untuk menunggu lebih lama, tetapi suara neneknya tiba-tiba terdengar lagi,

Jangan tersesat lagi, ...

..., agar cucuku tidak terlalu lama tertidur.

Tina terpejam lama, tangannya mengepal.

"Ingat tujuanmu hanyalah portal keluar," bisik Tina pelan sembari jalan terseok-seok, "tak ada satupun yang bisa dipercaya dari tempat aneh ini," lanjutnya pelan melantangkan niatnya untuk tak memedulikan apapun.

Hanya rumah tempatnya berpulang dan pelukan hangat nenek yang selalu ia rindukan.

Teriakan 'Tolong!' yang samar itu seolah menggema di telinga Tina. Sekalipun, dia sudah berjalan sejauh lima puluh langkah dari tempat ia jatuh tadi.

Tepat di depan pohon-pohon yang sangat unik, ia berusaha memanjat. Tidak ada salahnya ternyata suka memanjat pohon mangga tetangga. Meskipun kena hantam sandal tuan rumah dan ocehan dari nenek, keahlian memanjat ini dapat dipraktikan kapanpun, seperti saat ini. Walaupun punggung terasa copot, Tina tetap merayap di pohon seperti cicak raksasa. Beberapa menit kemudian sampailah ia pada cabang pohon besar. Cabang yang besar ini mengarah pada cabang pipih yang membulat. Seolah cabang itu ditujukan agar pengunjung bisa duduk di sini. Tina pun duduk di atas cabang pipih ini. Melihat laut lagi dan mendapati sesuatu yang berenang menyerupai manusia sudah hampir sampai ke tepi. Akar-akar itu menyerah mengejar bocah laki-laki itu dan mulai melangkah ke tengah lautan.

Bocah itu akhirnya sampai di tepi, merebahkan badan di tepi pantai. Tangannya mengusap matanya yang berair. Dia terduduk lagi dan meringkung dengan badan yang gemetar. Ombak-ombak meraih ujung jemarinya yang membiru.

Tina tertegun di atas pohon, menyaksikan seseorang berhasil menghindar dari maut membuat tubuhnya bergetar. Saat tubuhnya masih membeku, tiba-tiba bocah itu menoleh. Mata birunya bersitubruk dengan mata coklatnya. Sepersekian detik seolah membekukan waktu, napasnya terhenti sejenak. Tina langsung buang muka dan menarik napas dalam. Bocah itu melihatnya dan sedang berlari ke sini.

"Eh, badannya kok nggak lemas? Aduh gimana ini?" ujar Tina panik melihat sekeliling. Dia tak boleh berhubungan dengan siapapun. Tak boleh percaya.

Sepuluh menit berlalu, Tina masih dengan pikiran kosongnya merayap ke dahan satu ke dahan lain dengan bodohnya di sini. Bocah itu sampai dan menatapnya heran.

"Hei, kau mau kemana?" tanya bocah itu dengan polos. Tina masih terdiam dengan pikiran kacau.

"Perkenalkan namaku Hugo. Aku beberapa kali melihatmu di sini." Ucapan bocah bernama Hugo berhasil membuat Tina menoleh.

"Kau sangat beruntung bisa berjalan bebas di sini," lanjut Hugo membuat alis Tina berkerut.

"Apa maksudmu?" tanya Tina tanpa berpikir panjang sebelumnya.

Hugo menghela napas, "Coba turunlah. Kau bisa jatuh kalau bergelantung terus."

Tina mencoba berpikir jernih, "Kau mau apa jika aku turun?"

"Turun atau aku yang ke sana?" tanya Hugo tegas.

Tina pun luluh, sebentar saja interaksinya, ujar Tina dalam hati. Setelahnya harus pamit pergi.

Sesampainya di bawah, mereka duduk bersamaan.

"Aku tak punya banyak waktu," ucap Tina setegasnya. Ia berusaha menampilkan aura dingin supaya bocah itu tak tertarik padanya.

"Kau takut denganku?" tebak Hugo tepat sasaran. Tina menoleh dan menelan ludah. "Wajahmu terbaca dengan mudah," lanjutnya.

Kewaspadaan Tina meningkat, "Siapa kau?"

"Hugo," Jawabnya singkat.

Tina menggeleng, "Maksudku, kamu sejenis apa? Siren?"

Hugo tertawa kencang, "Kenapa nebakmu gitu sih?"

Tina tetap membisu, menatap dalam manik sebiru langit itu.

"Rasku? Rasku arwah, mungkin bisa dibilang begitu," ujarnya pelan. Binar mata birunya seolah lenyap.

Tina mengiba, "Maksudmu?

"Bukankah kita sama, arwah yang terjebak, bedanya kau sangat beruntung bisa keluar masuk ke sini," jelas Hugo, terasa seperti menyalahkan takdir Tina.

"Apa yang kau maksud beruntung?"

Hugo melihat Tina, tatapannya menatap dalam mata kecoklatan Tina, "Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bernapas dengan ragaku."

Tina terdiam.

"Kehilangan orientasi waktu sungguh tidak menyenangkan. Saat ke sini, pohon-pohon ini belum begitu lebat. Kapal di sana besinya masih mengkilat," tatapan Hugo mengawang pada kanopi pohon yang lebat dan teduh.

"Kapal itu," Hugo menunjuk kapal yang berlayar, "menahanku dan memperbudak penumpangnya untuk memanen laut."

Tina masih dalam kegamangan.

"Kami di kapal, berusaha terlihat berguna agar tengkorak kami tidak jadi pajangan, ..."

Napas Tina tercekat, keringat dingin mengguar kembali di tubuhnya.

"Kumohon, siapapun kamu, tolonglah kawanku di sana. Mereka juga sangat merindukan rumah, hangat selimut, enaknya makan roti isi di pagi hari," ujarnya pelan dengan kepala menunduk.

Mendengarnya, membuat leher Tina serasa dicekik, dadanya sesak. Rumah ... ia sangat merindukannya!

"Tolonglah kami, bekerja samalah denganku, ..." Hugo memohon, jemari pucatnya menyentuh punggung tangan kanan Tina yang basah," ..., Mari kita pulang bersama-sama."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top