The Reason I Must to Happy

Aku dalam perjalanan menuju sebuah taman pemakaman, bersama tante Kania serta mas Bian. Semilir angin menerbangkan untaian rambutku yang gak terikat rapi, kepalaku menyembul keluar jendela melihat dedaunan pepohonan yang mendayu menyambut kedatangan kami. Udara gersang gak luput membawa beberapa debu membuatku beberapa kali harus bersin-bersin. Tante Karin memberikanku saputangannya, aku tersenyum dan menerimanya dengan senang hati.

Sudah sebulan sejak kami mendapati kenyataan yang mengguncang kedamaian hari-hari kami. Mas Bian sudah menceritakan segalanya, tentang ayah yang memilih meninggalkan keluarga demi menikah dengan ibu. Klasik, seperti cerita yang kulihat bertebaran di novel-novel romansa. Ibu yang berasal dari panti asuhan gak membuat nenek memberikan mereka restu untuk bersama. Seumur hidupnya ibu gak pernah diadopsi sepertiku, sehingga ia menggantikan ibu panti yang membesarkannya untuk menjaga panti asuhan. Panti dimana aku tinggal sejak lahir sampai sebesar ini. Membuat ayah harus ikut bersama ibu, meninggalkan dunia yang selama ini ditinggalinya.

Setelah meninggal karena sakit, ayah pun gak kuasa hidup sendirian dan akhirnya menyusul ibu menuju kematian. Menyerahkan semua urusan panti asuhan pada ibu Rika yang mengurus panti saat ini. Om Bastian yang datang untuk berkunjung akhirnya menemukan kabar bahwa saudaranya sudah tiada. Keadaan nenek yang saat itu sedang tidak baik membuatnya banyak berpikir untuk membawaku kembali ke keluarga. Hingga sampai om Bastian terlena melihat pertumbuhan mas Bian dan sejenak melupakan rencananya membawaku kembali. Hal yang membuat mas Bian gak enak hati sampai sekarang padaku, rasa bersalah yang terus mendera membawanya terus memanjakanku. Meski sudah kutolak, ia tetap ingin melakukannya.

Kami sampai di pusara om Bastian, mas Bian meletakkan buket bunga yang kami beli saat perjalanan menuju ke sini. Bisa kulihat wajah tante Karin yang menahan tangis di sisi mas Bian, mereka berpegangan tangan erat saling memberikan kekuatan. Sedikit banyak menyematkan rasa iri di hatiku, kerinduan yang selama ini terpendam mendorong air mataku jatuh membasahi bumi. Wajah yang akhirnya bisa kulihat meski hanya lewat foto-foto lama masih belum bisa menghapuskan semua rasa yang menyesakkan dada.

"Sha." Suara lembut mas Bian menyadarkanku dari lamunan. Tangannya yang melayang bebas berusaha menggapaiku, matanya terus memberi tanda untukku ikut menggenggam tangannya. Hatiku menghangat, bulir-bulir air mata kesedihan mulai tergantikan rasa bahagia secara perlahan. Meski aku masih merindukan orang-tuaku, tapi kini aku punya mas Bian yang akan menggantikan mereka menjagaku.

Aku ikut menautkan jemariku padanya, menyandarkan seluruh harapan di pundaknya. Menjadi beban yang akan terus membuatnya bahagia, aku percaya bahwa setelah apa yang kami lalui kemarin adalah pintu yang akan membawa kami pada dunia yang lebih baik.

Aku menatap pusara om Bastian, berterimakasih padanya karena telah dengan baik menggantikan ayah untukku. Meski kami gak bisa bertemu secara langsung, aku tetap bahagia. Karena akhirnya aku bisa bertemu denganmu, my daddy long legs.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top