9. Beautiful Thing : Behind The Story

"Kalo mau lagi, masih ada kok. Tadi Shasha masak banyak," ucapku riang menatap kelima pria yang tengah lahap menyantap makanannya di hadapanku.

Perasaanku membuncah saat menemukan kehangatan selagi kami makan malam bersama. Sebuah perasaan yang kurindukan selama jauh dari panti. Makan malam bersama keluarga, hal itu yang kupikirkan saat ini.

Dito terus tersenyum selama menyantap makanannya, meski sesekali menatapku dan gak lupa tersenyum megah. Aku bahagia mendapatinya seperti anak kecil yang senang dibuatkan makanan kesukaannya, begitulah yang kulihat saat makan bersama Dito.

Lain hal dengan yang lain, mereka semua makan dengan tenang meski sesekali melempar candaan, aku melihat lagi beberapa dari mereka yang masih melahap makanannya. Bang Juan, yang gak kusadari punya sisi jenaka dibalik wajah sinisnya, dia datang bersama mas Rega dan bang Zul sepulang kuliah. Dito menelpon mereka semua untuk merayakan hubunganku dan mas Bian yang mulai membaik. Wajah sumringah muncul dari mereka bertiga saat sampai di apartemen, membuatku sedikit senang karena merasa diterima. Aku jadi teringat bagaimana pertemuan pertama kami di sini, wajah marah mas Bian saat memegang erat bahuku kini tergantikan senyum hangat saat memakan makanannya. Mata indah mas Rega yang terus memberikanku kenyamanan, meski ia selalu bersikap dingin. Kata-kata bang Zul yang menenangkanku, wajah riang Dito serta gak lupa bang Juan yang mulai ramah padaku.

Aku jadi teringat dengan apa yang terjadi pagi ini, apa yang terjadi jika aku menolak untuk tinggal dengan mas Bian?

Apa yang akan terjadi jika aku gak terbangun di sini tadi pagi?

Atau apa yang terjadi jika aku menolak permintaan mas Bian untuk bicara kemarin?

Apa semua perasaan ini akan aku dapatkan jika melewatkan semua itu?

Aku kembali teringat pada suara Dito yang menyapaku pagi tadi.

.

.

.

.

"Lo di mana?" Suara berat dari ujung saluran menyapaku cepat.

"Eh, Dito, ada apa?"

"Lo gak ke kampus? Sekarang kan lo ada kelas."

"Lo hapal jadwal gue, ya?" tanyaku terkekeh sembari mengumpulkan satu persatu barang yang sudah gak dipakai mas Bian. Ia memberiku kardus besar untuk menyimpan semua ini, sambil menanyakan siapa yang menelponku saat ini.

"Dito, mas." jawabku lekas. Mengabaikan Dito yang masih bicara, menjauhkan ponsel sebentar untuk memasangkan earphone mempermudahku untuk bicara selagi bekerja.

"Ya, Dit? Ada apa, sorry gak kedengeran." Tanganku masih terus bergerak membereskan barang-barang yang masih berserakan di lantai.

"Lagi sama siapa? Suaranya familiar."

"Mas Bian, Dit. Lagi di apart mas Bian."

Aku mulai menggunakan vacuum cleaner, sedangkan mas Bian tengah mengeluarkan sampah-sampah. Suara bising alat yang kugunakan sedikit mengganggu karena membuat Dito gak bisa mendengarku dengan jelas.

"Ngapain? Kenapa gak masuk?" tanyanya lagi.

"Semalem ketiduran di sini, dan gak bawa baju jadi males deh berangkat."

Gak lama pembicaraan kami terputus, aku gak minat untuk melanjutkan pembicaraan karena pekerjaanku masih banyak. Setelah melepas earphone dan meletakkan ponsel di atas meja, aku kembali membersihkan rumah. Menyedot setiap debu yang bersebaran karena jarang dibersihkan. Terutama bagian-bagian bawah meja dan kursi, serta lemari dan ranjang. Tempat-tempat yang jarang dijangkau.

"Ngapain Dito telpon?" Mas Bian bertanya setelah kembali.

"Tanya kenapa gak kuliah."

"Lo ada kelas?"

Aku mengangguk mengiakan sembari berjalan menuju kamar. "Mas, ada seprai sama selimut cadangan?"

"Beli aja nanti," jawabnya santai.

"Boleh, sekalian beli bahan makanan. Di dapur gak ada apa-apa."

Setelah membersihkan semuanya, kami bergegas menuju parkiran mobil untuk pergi ke supermarket sekitar apartemen. Berjalan pelan menuju lift dengan mas Bian berjalan tenang di depanku, aku bisa melihat beberapa pola keringat yang nampak jelas di punggungnya, sebuah tanda bahwa ia tadi cukup bekerja keras saat membantuku membersihkan rumah.

"Bang Iyan!" teriak seseorang sesaat kami melintas di lobi apartemen. Mendapati Dito yang terengah-engah karena berlari menghampiri kami.

"Lo libur, Dit?"

"Ca-cabut, bang." Dito masih tertunduk memegangi lututnya dengan napas yang masih terengah-engah. "Mau kemana?" tanyanya lagi, saat kulihat bulir keringatnya mulai membasahi pelipis kirinya.

"Belanja."

"Ikut!"

Aku dan mas Bian sontak menoleh menatap Dito, tangannya kini memegang erat pergelangan mas Bian yang terselip di saku celananya. Mas Bian gak menjawab, dan membiarkan Dito berjalan di sisinya. Aku terkejut dengan apa yang kulihat saat ini, terutama saat Dito membalikkan wajah dan mengedipkan matanya saat melihatku. Menelaah maksud Dito melakukan semua itu.

Mas Bian duduk di kursi pengemudi, dengan Dito di sisinya, sedangkan aku duduk di kursi belakang dan menikmati waktu yang terlewat saat mas Bian menjalankan kendaraannya.

Kami pergi di siang hari, terlihat jelas terangnya matahari yang memantulkan cahayanya kuat di aspal-aspal panas ibukota. Sedikit bersyukur karena merasa sejuk di dalam sini, membuatku seraya diayun-ayun lembut saat roda mobil berputar memperpendek jarak kami menuju supermarket.

"Kok lo bisa di tempat mas Bian?" ucap Dito memecah keheningan. Matanya membuat seraya memainkan alisnya menunggu aku bicara.

Aku masih gak tahu apa yang harus kukatakan pada Dito, meski aku yakin mungkin dia paham apa yang terjadi di antara aku danas Bian. Tapi rasanya tetap saja sulit untukku menjelaskan pada Dito.

"Gue abis ngomong sama Shasha," suara mas Bian menggantikanku menjelaskan pada Dito yang masih terlihat gak puas.

"Ngomong apa?"

"Soal gue sama dia. Kenapa?"

Mata mas Bian masih terus melihat jalan raya, tapi dari suaranya terdengar jelas menekan Dito untuk diam gak lanjut bertanya dan hal itu dipahami olehnya. Membuat Dito lekas terdiam di kursinya. Hingga akhirnya kami sampai di supermarket, ini pertama kalinya aku ke sini. Membuatku sedikit terperangah dengan besarnya tempat ini.

Mas Bian menarik troli dan mendorongnya ke arah bahan makanan. Hal yang paling mudah di temukan karena posisinya tepat di sebelah kiri kami.

"Mau makan apa mas?" tanyaku seraya menimbang daun bawang dan bawang bombai yang ingin kubeli.

"Gue bisa makan semuanya," jawab mas Bian singkat dan kembali memainkan ponselnya.

"Gue mau....." Dito masih terus menggumam berpikir apa yang ingin dimakannya meski pada akhirnya ia pun sama seperti mas Bian, menyerahkan urusan menu padaku dan akan memakan apa saja yang aku masak nantinya.

Aku lekas memilih bahan makanan, Dito mengusiliku dan bertanya semua hal yang dilihatnya meninggalkan mas Bian berjalan di belakang kami dengan memasukkan apapun yang dilihatnya ke dalam troli.

"Buat apa ayam sebanyak itu?" tanyaku heran.

"Bang Iyan makannya banyak. Eh, Sha, gue ajak yang lain ya?"

Aku menatap mas Bian bingung. Itu adalah apartemennya, dan aku gak bisa begitu saja mengundang orang lain meski itu adalah teman mas Bian sendiri. Mas Bian yang paham dengan tatapanku mengizinkan Dito menghubungi yang lain, aku bernapas lega dan mulai melanjutkan memilih bahan makanan untuk dimasak dan disimpan nanti.

Mas Bian gak mengeluh dan terus mengikuti langkahku mencari barang-barang yang kami butuhkan. Apartemen mas Bian benar-benar kehabisan segalanya. Kini tanganku mulai cepat mengambil detergen, sabun cuci piring dan alat mandi. Gak lupa dengan seprai dan selimut serta beberapa handuk baru untuk ganti kami saat tinggal bersama.

Aku gak sabar dengan apa yang terjadi esok hari, apakah sama yang dengan yang aku impikan. Meski pada akhirnya aku bersyukur karena telah diberikan mas Bian sebagai seseorang yang akhirnya bisa kusebut dengan keluarga.

_______________________

Geezzzz.... Akhirnya,
Setelah sibuk, dan ngumpulin niat buat lanjutin. Bisa juga update chapter meski pendek. Enjoy ya... Kita santai-santai dulu sebelum ketemu yang berat-berat lagi.

Karena untuk bahagia, gak semudah itu Esmeralda.

Sorry, untuk di unpublish sebentar karena baru sadar kalo salah ngetik nama bang Juan. Nanti dia ngamuk kalo namanya salah dan dipanggil jadi JUNA EDI

Enjoy.....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top