8.1 Admitting a Serious Things
Setelah terbangun aku masih terbaring nyaman di atas ranjang. Merasakan empuknya ranjang kosan untuk mengusir rasa lelah pada tubuhku yang akhir-akhir ini mudah hinggap meski gak melakukan apa-apa seraya memikirkan apa yang kudengar dari mas Rega tadi. Menatap pada setumpuk surat yang tersebar di lantai beserta beberapa barang pemberian om Bagas. Sesuatu yang sudah gak bisa kujadikan pegangan dalam berpikir. Hal-hal yang kupercayai dahulu mendadak menghilang tergantikan rasa penasaran yang amat dalam mengenai kebenaran yang ada di balik semua ini.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku gak memercayai om Bagaskara.
Aku terkejut saat pintu kamar terbuka, ada mas Zein yang terlihat gelisah tengah menatapku dengan penuh perasaan lega.
"Ngapain mas di sini?" Gak biasa-biasanya dia mau ke kamarku meski sudah beberapa kali kupaksa.
"Lo sih bikin gue khawatir terus! Anjir, kalo bukan manusia udah gue kantongin bawa kemana-mana."
Aku tertawa mendengar leluconnya. Bersyukur masih ada seseorang seperti mas Zein yang menemaniku di saat sulit seperti ini. Mas Zein gak bertanya apa-apa selain memintaku untuk menghabiskan makanan yang telah dibawanya. Aku menurut, memasukkan suap demi suap nasi ke dalam mulutku. Mengisi tenaga untuk memperkuat tubuhku menerima kemungkinan yang akan terjadi di masa mendatang.
Setelah habis mas Zein kembali ke kamarnya, gak lupa mengingatkanku untuk mandi dan kembali beristirahat. Dan entah kenapa, akhirnya aku kembali terlelap demi menyambut hari yang akan datang.
.
.
.
Pagi kembali datang, setelah tidur selama itu aku tetap saja merasa kelelahan. Beberapa anggota tubuhku terasa berat untuk digerakkan meski sekuat apapun aku mencoba. Aku terus berbaring sampai merasa lebih baik, dan akhirnya bisa menggerakkan jemariku. Mencoba bergerak perlahan untuk melakukan rutinitas pagi sebelum berangkat ke kampus.
Mas Zein mengirimiku pesan untuk gak perlu memasak untuknya. Meski begitu, aku tetap gak enak hati karena sudah menyusahkannya. Tetap memasak untuk lauk kami berdua, lagipula aku juga bisa berhemat uangku. Mungkin juga aku perlu kerja sambilan disela-sela jam kosong, aku sudah gak mungkin mengharapkan pemberian dari seseorang yang sudah gak kupercayai. Bukan berarti aku gak butuh, tapi kali ini aku lebih ingin mencari tahu apa yang terjadi sebelum aku merasa nyaman tenggelam dalam buaian kebohongan.
Perlahan memasukkan beberapa sayuran yang sudah terpotong ke dalam panci, serta mulai menumis bawang yang sudah kuiris tipis untuk bumbu masakanku. Aku gak masak banyak, hanya tumis kerang dan sayur sop untuk aku dan mas Zein. Wangi masakan matang sepertinya mengundang beberapa penghuni kamar kos, beberapa dari mereka mulai keluar masuk dan menanyakan apa yang kulakukan. Beberapa diantara mereka mulai menggodaku demi bisa mencicipi masakan yang aku buat.
"Ayo makan sama-sama aja, nanti kubawa ke bawah deh," tawarku.
Mas Seto berinisiatif untuk membawakan lauk yang sudah masak. Sedangkan aku memilih mengambil keperluan kuliah sehingga gak perlu lagi naik ke kamar setelah sarapan nanti. Saat menuruni tangga, kakiku terasa melemah, membuatku terpleset dan terantuk beberapa bagian tangga. Membuat beberapa dari mereka yang melihat mulai berteriak saat mendapati terguling menuruni tangga.
"Shashaa!"
Mas Zein yang melihatku lekas membawaku ke sofa. Memeriksa beberapa bagian anggota tubuh melihat apakah ada luka akibat terjatuh tadi. Setelahnya memeluk erat sambil terus mengucapkan syukur ketika mendapatiku baik-baik saja.
"Gak pa-pa kan, mas?"
"Harusnya gue yang bilang gitu."
"Gila ya, Shasha bisa bikin satu kosan serangan jantung," pekik mas Seto akhirnya.
"Gak pa-pa kan, lo?" Ka Nida saat ini tengah memeriksaku lebih seksama di bagian-bagian yang gak bisa mas Zein lihat tadi.
Aku tersenyum seraya menggelengkan kepala. Gak ada rasa sakit yang hinggap, selain rasa terkejut yang sedang melanda saat ini. Mas Zein kali ini diam saja, selain menggiringku ke meja makan. Mengambil beberapa sendok nasi dan lauk pauk untuk kusantap.
"Lo kurang makan, makan yang bener makanya." Setelah menyiapkan makanan untukku, dia mulai menyuap makanannya meski sesekali melirikku.
"Kalo bang Zein udah ngomel, lo kudu nurut, Sha."
Aku tersenyum. Tentu saja, selama ini mas Zein sudah membantuku. Gak ada alasan untuk gak mematuhinya karena semua yang ia katakan selama ini gak pernah salah, membuatku nyaman bersandar padanya.
Setelah sarapan mas Zein mengantarku ke kampus. Aku berpamitan dan memulai hariku seperti apa yang kudambakan. Berjalan tenang tanpa gangguan menikmati suara beberapa orang tengah bercengkrama membahas apa yang terjadi kemarin. Atau menikmati cahaya mentari yang membasuh kulit memberikan efek segar pada tubuhku. Rasa lelah yang masih mendera sedikit demi sedikit mulai terangkat membuatku terus bersemangat menikmati pagi.
Hari-hariku berlalu dengan tenang, gak ada mas Rega dan teman-temannya yang muncul di sekitarku. Perasaan nyaman tersarat dengan jelas beriringan dengan senyuman riang yang terpatri di wajahku, itu yang dikatakan mas Zein akhir-akhir ini. Aku pun juga sudah gak merasa gelisah, bayangan tentang menakutkannya kebenaran yang dibawa mereka terus saja membuatku sakit kepala. Tanpa kehadiran mereka, aku bisa menjalani hari dengan tenang, meski aku mengerti bahwa suatu saat nanti aku harus kembali berhadapan dengan mereka. Kembali mencari tahu apa yang sebenarnya tengaj terjadi.
Langkah riang terus membawaku dari satu tempat ke tempat lain, membawaku banyak ke tempat baru yang belum sempat kujajaki. Begitu juga hari ini, selesai kuliah aku berjalan-jalan ke pusat kota. Melihat keadaan sekitar seraya mencari-cari informasi mengenai lapangan pekerjaan. Aku sudah berbicara dengan mas Zein, berdiskusi dengannya memberikanku banyak pandangan mengenai kuliah sambil bekerja. Dia juga memberikanku informasi mengenai pekerjaan apa saja yang memungkinkanku tetap fokus pada studi.
Aku berjalan pelan melihat sekitar. Banyak pertokoan yang masih buka, hari belum begitu larut tapi jalanan mulai sepi akibat suara gemuruh besar yang semakin terdengar kencang. Angin terus menerbangkan debu-debu membuat sebagian dari kami harus berjalan sambil menutup mata. Hingga akhirnya hujan turun dengan derasnya, membuatku menepi di pertokoan menunggu hujan reda entah sampai kapan.
Daya ponselku habis, dan akupun gak membawa payung saat perjalanan tadi. Buku-buku yang kubawa di dalam tas gak memungkinkan untukku menerobos hujan sederas ini. Mataku bergerak ke segala arah, melihat riuhnya orang berlarian menghindari tetesan-tetesan hujan. Ada juga yang berjalan santai dengan payung di atas kepalanya, membuatku iri. Meski begitu aku bersyukur hujan turun gak begitu lama, aku bersiap untuk berjalan pulang sebelum hujan kembali turun. Banyak orang yang berpikiran sama denganku, kami semua berjalan hati-hati agar gak terkena cipratan air yang tergenang.
Sayup kudengar suara bising dari arah taman gak jauh dari kampus, aku yang penasaran memilih ikut mendekat mencari tahu apa yang terjadi.
"Ada apa ya, bu?"
"Ada orang pingsan kayaknya, soalnya keujanan juga gak bangun-bangun."
"Gak dibawa ke rumah sakit aja?"
"Siapa yang mau nanggung, neng?"
Aku mendengus mendengar jawaban ibu itu, apa perlu seseorang mati untuk menimbulkan rasa empati. Aku yang khawatir memilih menembus kerumunan mendekati seseorang yang dimaksud. Melihat sosok seseorang yang aku kenali, sosok yang selama ini masih gak ingin aku temui.
"Mas Bian!" Aku memekik terkejut.
"Kenal, mbak?" tanya salah satu orang.
Aku terus menggoyangkan tubuh mas Bian, memanggil-manggil namanya untuk menarik kesadarannya. Baju yang dikenakannya saat ini sepenuhnya basah terguyur hujan membuatku membuka jaket yang kugunakan untuk menutupi tubuhnya yang mulai dingin.
"Mas!"
Suara erangan kecil keluar dari mulut mas Bian, tangannya mulai berpindah dan mengusap matanya pelan. Wajahnya terlihat bingung saat melihatku bersama banyak orang di sekelilingnya.
"Mas, gak pa-pa?"
Dia cuma mengangguk, duduk dan kembali mengusap matanya pelan.
"Mas tidur?" pekikku gak percaya. Sedangkan pria di hadapanku hanya mengangguk pelan masih terkantuk-kantuk.
Beberapa orang yang mengerti apa yang terjadi mulai meninggalkan kami satu persatu. Meminggalkan kami berdua yang masih terdiam satu sama lain. Aku gak mungkin meninggalkan mas Bian sendirian di sini, wajahnya sudah pucat diiringi tubuhnya yang mulai gemetar saat tersapu angin. Ponselku mati sehingga gak bisa menghubungi Dito untuk menjemputnya. Mas Bian juga terlihat gak bisa pulang sendiri, dia masih saja kembali merebahkan tubuhnya di atas kursi taman untuk melanjutkan apa yang terganggu barusan.
"Mas pinjam hape?"
Mas Bian menyerahkan ponselnya tanpa merasa curiga. Semakin membuatku merasa gak tega membiarkannya sendirian. Aku mulai menyalakan ponsel mas Bian untuk menelpon siapapun yang bisa menjemput mas Bian saat ini. Meski akhirnya kutemukan bahwa ponselnya juga gak bisa digunakan, entah basah karena hujan atau memang sudah rusak.
Aku memesan taksi untuk kami, membopong mas Bian masuk dibantu oleh supir taksi yang bersedia menolongku. Bisa kurasakan bajunya yang sudah basah kuyup menembus kulitku, rasa dingin kini menjalar ditambah dengan AC mobil yang kuminta untuk dimatikan. Mas Bian sayup-sayup terbangun untuk membenarkan posisi duduknya. Dari posisi sedekat ini bisa kucium aroma alkohol yang menguar keluar dari hembusan napasnya.
Aku menerawang apa yang terjadi saat ini, memikirkan bagaimana dari sebagian banyak orang yang bisa kutemui dijalan aku harus bertemu dengan mas Bian. Apa lagi yang takdir rencanakan untukku, diatas roda taksi yang berputar aku terus memikirkan apa yang akan aku lakukan selanjutnya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top