7.1 Sentimental Words
"Yan, lo di mana?"
Bian menjelaskan keberadaannya setelah mendengar pertanyaan gue lewat telepon. Kami berangkat ke kampus bersama tadi pagi, dan setelah meninggalkan Bian di ruang kelasnya gue lekas mencari Dito untuk meluruskan kesalahpahaman. Sebuah pertemuan yang gak gue sadari justru mengungkap pertanyaan besar yang ada di kepala kami selama beberapa bulan terakhir.
Gue masih di kosan Shasha, berusaha menyelesaikan puzzle terakhir yang mungkin akan menjawab pertanyaan kami selama ini. Teka-teki yang Om Bastian tinggalkan untuk Bian pecahkan. Sebuah teka-teki yang gak sengaja justru memperumit keadaan Bian di rumah. Ibunya mulai sibuk melanjutkan pekerjaan ayahnya dengan pemikiran bahwa suaminya selingkuh dan memiliki seorang anak dengan wanita lain. Dengan beban seberat itu, Bian menjadi tempat pelampiasan ibunya.
Bian gak menceritakan segalanya, begitu juga dengan kami yang gak menuntut Bian untuk itu. Hanya saja, terlihat bahwa dirinya sedang mengalami masalah berat ditambah dengan sikap penguntit yang dilakukan Bian terhadap Shasha semenjak ia mengetahui kebenarannya. Gak secara langsung membuat kami mengetahui apa yang terjadi padanya. Hingga gue dan Juan akhirnya memberanikan diri untuk bertanya apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini.
Setelah menutup panggilannya, gue lekas mengirimi pesan untuk Juan, mengajaknya bertemu untuk bertukar pikiran mencari jalan keluar yang terbaik untuk semuanya. Entahlah apa yang akan terjadi nantinya, untuk saat ini menenangkan Shasha adalah prioritas.
"Zul, telpon Juan suruh dia kemari. Dit, keluar cari makanan gih, Shasha belum jadi makan tadi," pinta gue pada keduanya. Mereka sama-sama gak menolak dan melakukan apa yang suruh. Meninggalkan gue berdua dengan Shasha yang malah tertidur karena lelah menangis cukup lama tadi.
Gue lekas memindahkannya ke atas ranjang, menyelimutinya dan duduk termenung di sisi ranjang Shasha. Menatap semburat merah pada pipi Shasha yang timbul akibat usapan keras saat menyeka air matanya sendiri. Perasaan gak tega muncul berbarengan dengan igauan Shasha memanggil-manggil entah siapa itu. Gue berusaha menenangkan Shasha kembali dalam tidurnya, mengusap pelan dahinya untuk memberikan perasaan aman untuknya. Sesuatu yang selalu ibu lakukan saat gue mimpi buruk dulu.
"Ehem."
Gue terkejut mendapati Zul sudah ada di belakangku sejak tadi. Melipat tangannya angkuh seraya menampilkan senyuman penuh arti itu cukup lama.
"Gak semua kucing liar itu perlu di selamatkan, bang. Gak ada kapoknya ya?"
Gue gak menjawab perkataan Zul, dan lebih memilih mengganti topik pembicaraan dengan menanyakan keberadaan Juan. Karena memang saat ini, itu yang harus diutamakan.
"Bang Juan di kampus, sama bang Bian. Katanya kita harus kumpul berlima."
Gue hanya mengangguk mengiakan perkataan Zul kemudian terdiam kembali. Sebelum pergi, kami masih harus menunggu kedatangan Dito yang belum kembali juga untuk membeli makanan. Hari juga sudah mulai petang, gue memilih berkeliling di sekitar kosan. Melihat-lihat apa saja yang ada di sini, berusaha membayangkan hari-hari Shasha selama tinggal di sini.
"Gue gak tahu ada penghuni baru," ucap salah satu penghuni kamar setelah menuruni tangga.
"Ah, gue bukan penghuni sini."
"Tamu siapa? Di atas kosan cewek loh."
"Shasha, bang."
Dia akhirnya terdiam, memilih meninggalkan gue dan menaiki anak tangga demi anak tangga. Gue terus melihat beberapa bagian ruangan yang ada di sini, dan menemukan sebuah dapur yang jarang terpakai dari bisa di lihat keringnya wastafel selain itu, gak ada yang berbeda dari tempat yang gue tinggali saat ini. Karena gak ada lagi yang bisa dilihat gue memilih kembali ke kamar Shasha. Gak baik meninggalkan Zul berduaan dengan Shasha di kamar, terlebih dengan keadaan Shasha yang tengah terlelap saat ini.
"Gue gak ngapa-apain sumpah, bang."
Suara Zul terdengar terintimdasi, gue yang panik lekas berlari naik menuju kamar Shasha di mana suara itu berasal. Menemukan Zul dan pria yang menanyai gue tadi tengah beradu suara di depan ruangan Shasha.
"Loh bang, temen gue kenapa?" pekik gue seraya melerai mereka. Berusaha melepas genggaman tangannya dari kerah baju Zul yang mulai kusut akibat besarnya kekuatan yang digunakan.
"Oh, lo berdua yang akhir-akhir gangguin Shasha?"
"Loh salah paham, bang. Sumpah," ucap Zul membela diri.
"Loh ada apaan, nih?" suara Dito gak kalah panik, saat menemukan kami tengah bergumul. Tangannya terus berusaha memisahkan Zul dan pria itu yang masih saling menarik kerah masing-masing. Melepaskan makanan yang dibelinya, hanya untuk melerai kami.
Meski gak lama kemudian, akhirnya pria itu melepaskan genggamannya. Meminta kami pergi, dan mengancam kami untuk gak lagi mendekati Shasha. Gue gak mengiakan perkataannya selain segera untuk undur diri. Melihat situasinya, menjelaskan apa yang terjadi pun sama buruknya. Kami hanya akan kembali bergerumul, saling menguatkan argumen masing-masing.
Karena hanya itu yang akan dilakukan para lelaki. Beradu siapa yang bisa memenangkan egonya.
"Lo gak pa-pa, bang?"
Dito kelihatan khawatir, terus menatap wajah Zul yang terlihat sangat kesal atas apa yang terjadi hari ini.
"Lama banget lo beli makanan, Dit?" tanya gue berusaha meredakan amarah Zul yang sepertinya kembali terpancing atas pertanyaan Dito barusan.
"Papasan sama bang Juan, dia di depan nunggu kita."
Kami terus berjalan sampai menemukan mobil hitam milik Juan yang sudah terparkir manis di depan kosan. Juan membuka jendela untuk menyapa kami. Gak lupa mengabari bahwa di kursi paling belakang ada Bian tengah tertidur sejak ia menaiki mobil ini.
Gue lekas naik, memilih kursi di sebelah pengemudi. Dito dan Zul tepat di belakang gue sambil sesekali melirik-lirik Bian di belakang mereka.
"Ke rumah gue ya," jelas Juan. Kami pun setuju, dan membiarkan Juan menyetir mobilnya membelah jalanan ibukota yang mulai ramai karena sudah jam orang-orang pulang bekerja.
Zul sibuk dengan pekerjaannya di belakang, gue pun hanya bersandar untuk sekadar melepas penat. Berbanding terbalik dengan Dito yang mulai membuka beberapa plastik berisikan makanan. Mencoba memancing Bian untuk makan dan meminum obatnya. Juan bilang bahwa Bian gak meminum obatnya tadi siang, memilih tidur di ruang kelas meski pelajaran sudah usai cukup lama saat Juan menghampirinya tadi.
Bian tersadar setelah mencium bau makanan, suatu hal yang menandakan bahwa ia mulai bersikap seperti biasa. Gak terlalu berlarut pada kejadian tempo hari, sedikit banyak memberikan rasa lega untuk kami semua.
"Dit, mau," rengek Bian di kursinya. Gue cuma tersenyum meski gak melihatnya langsung, jika saja gak ada terjadi akhir-akhir ini gue membenci sikap manja mereka yang cenderung menjengkelkan seperti itu. Kali ini gue ingin membiarkannya, hal itu lebih baik daripada gue harus melihat suasana suram yang membuat gue terus khawatir tanpa akhir.
Gak lama kami sampai, jarak kosan Shasha dan rumah kami memang gak terlalu jauh. Tapi gue berterimakasih atas kemacetan yang membuat kami harus berkendara lebih lama.
Setelah sampai gue memilih mandi, semalam gue gak pulang. Meski sudah mandi di apartemen Bian, tapi rasanya ada yang berbeda dengan mandi di rumah sendiri.
Gue dan Juan berbagi rumah sewa, sengaja untuk mengurangi biaya hidup yang harus dihabiskan di sini. Dito, dan Zul tinggal bersama keluarganya meski bisa dibilang Dito lebih sering tidur di sini dibanding di rumahnya sendiri. Sedangkan Bian, sudah dua bulan lebih dia tinggal di apartemen. Sesuatu yang hanya akan memperkeruh suasana hatinya, meski sudah kami larang dia tetap tinggal di sana.
Hawa segar kini gue rasakan, gak salah gue memilih mandi setelah sampai di rumah. Gue keluar setelah menyelesaikan urusan gue, berjalan menuju ruang tengah dan menemukan semuanya tengah menyantap makanan yang dibeli Dito tadi. Mendekati mereka, dan mulai duduk gak jauh Juan yang masih terus menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
"Tadi pesen lagi?" tanya gue saat melihat ayam goreng tepung dengan merk kesukaan Juan sudah ada di tengah-tengah mereka.
"Otak gue perlu dikasih makan," sahutnya percaya diri. Gue pun ikut menyuap makanan sebelum dihabiskan tanpa sisa oleh mereka.
"Tadi ada apa? Kok bang Zul ribut sama penghuni sana?" tanya Dito polos. Memicu rasa penasaran beberapa kepala yang mulai memasang posisi untuk mendengar apa yang mereka lewatkan.
"Cuma salah paham tadi," sahut gue cepat.
"Dia nuduh gue gangguin Shasha," ucap Zul gak kalah cepat.
"Ya emang secara langsung sih kita nguntit dia, apalagi terakhir sampai bikin dia nangis," ucap Juan tanpa sadar bahwa kalimatnya hanya memperkeruh keadaan.
Gue menatap Bian yang mulai menampilkan wajah sendu mau nangis. Gue paham betul bahwa dia gak mau ngalamin ini semua. Tapi apa daya, kita cuma manusia yang bisanya ngikutin kemauan Tuhan tanpa bisa minta untuk menukar takdir hanya karena gak suka.
"Dan.. Yang gue bingungin kenapa kalian bertiga bisa ada di sana?"
Sebuah pertanyaan yang akhirnya terlontar dari mulut Juan, menyampaikan sebuah pemikiran yang gue yakini udah terngiang-ngiang di kepala Bian sejak dia dengar kami ada di sana.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top