6. Pintu Pertama, Ruangan Pertama.

"Jadi mau makan apa, Sha? Gue traktir soalnya kan gue udah makan bekal lo tadi."

Di sinilah kami, di tempat makan yang gak terlalu jauh dari kampus.

Setelah kelas usai, aku menerima sebuah panggilan yang gak ketahui dari siapa. Gak ada terlintas saat aku membayangkan seseorang yang tengah meneleponku saat itu. Suara berat menyapaku riang dari saluran telepon, hingga akhirnya bahwa seseorang yang tengah memesan makanan di hadapanku ini adalah penelponnya.

"Saya samain aja, deh."

"Apaan sih saya-saya. Enak lo-gue kayak tadi."

Dito merengut kesal, dia masih terus memaksaku untuk berkomunikasi dengannya lebih santai. Melupakan mas-mas pelayan yang sedari tadi masih berdiri menunggu Dito menyelesaikan pesanannya. Sang pelayan menatapku suntuk, suasana tempat makan yang mulai sibuk saat jam makan siang menambah rasa iba yang telah kusematkan padanya.

"Gue samain aja," jawabku cepat.

"Makan gue banyak loh, Sha. Yakin mau samaan?"

Aku mengangguk, mempercepat proses pemesanan makanan. Mas pelayan kemudian mengulangi pesanan kami sebelum kembali ke posisinya untuk membawakan pesanan kami, aku gak bisa mendengarnya karena Dito terus mengajakku bicara. Bercerita tentang hari pertama kuliah, aku pun ikut bersemangat. Suasana belajar yang baru memicu semangat belajar yang beberapa saat lalu mengendap karena libur setelah ujian nasional selesai.

Sesekali Dito kembali menceritakan keseruannya saat di kelas. Aku pun gak mau kalah menceritakan apa yang kualami hari ini, sampai perbincangan kami harus terjeda saat Dito mendapatkan sebuah panggilan telepon.

"Ya?" jawab Dito cepat.

Aku gak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Memilih menyapa mas pelayan yang sudah membawakan dua porsi nasi goreng, dua porsi mendoan hangat, dua porsi batagor, serta gak lupa dua gelas es teh manis yang mulai terhidang di meja kami. Mataku membelalak kaget akan banyaknya makanan yang tersedia di meja kami. Mulai berpikir apa yang harus kulakukan untuk menghabiskan semua makanan yang telah memenuhi meja.

Mataku terus bergerak bingung karena melihat banyaknya makanan di meja. Sampai akhirnya menemukan semburat wajah Dito yang terlihat suntuk setelah menerima panggilan tersebut. Aku gak bertanya meski penasaran sudah melanda sejak Dito mulai bicara. Kali-kali saja itu pacarnya, sedang mencari keberadaan Dito saat ini. Aku yang tengah bersamanya pasti di cap macam-macam, pemikiran-pemikiran aneh terus berputar di kepalaku sampai membuatku hanya mengaduk-aduk makanan tanpa menyuapnya sedikit pun.

"Kok bengong?"

"Ah- gak."

"Yaudah dimakan, nanti bang Zul nyusul. Gak pa-pa kan?"

"Iya, lagian ini makanan banyak banget, Dit. Bang Zul bisa bantu habisin kan, ya?"

Dito menertawai jawabanku, suaranya yang berat memberikan suasana baru di telinga. Gak banyak orang bersuara berat di sekitarku, wajah Dito masih terlihat seperti anak-anak berbanding terbalik dengan suaranya membuatku terkejut saat mendengarnya bicara saat pertama kali.

"Kan gue bilang, gue makan banyak." Dito kembali menyalahkanku, aku gak membela diri dan membiarkan Dito terus tertawa sampai harus tersedak beberapa kali.

"Pelan, Dit." Dito menerima minuman yang kuberikan padanya. Berusaha meminumnya untuk mengurangi efek tersedak saat menertawaiku tadi.

"Dit."

Suara seseorang memecah tawa Dito, ada sosok bang Zul dan mas Rega yang tengah menghampiri meja kami. Dito mulai bergerak gelisah di kursinya, tersirat sebuah kegelisahan yang gak biasanya kulihat saat mereka bersama. Membuatku sedikit menyakini bahwa ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.

"Eh, ada Shasha."

Bang Zul menyapaku ramah, sedangkan mas Rega masih terdiam di sebelahnya.

"Gue gabung ya, Sha?" pinta bang Zul. Aku mempersilakan mereka duduk, dan mulai mendorong makanan-makanan di meja kami untuk ditawarkan ke mereka.

"Mau minum apa? Biar Shasha pesenin, ini di makan, bang."

"Samain aja, Sha. Makasih ya."

Suasana canggung tiba-tiba saja terasa, hawa dingin meski saat ini suhu di luar ruangan hampir 30°c gak membuat suasana terasa lebih baik. Aku mencoba menghiraukannya dan segera memesan minuman tambahan untuk kami.

Aku dan bang Zul mulai menyuap makanan ke dalam mulut kami, berbanding dengan mas Rega dan Dito yang masih saling terdiam di kursinya. Aku menyadari bahwa keberadaanku mungkin saja mengganggu mereka. Aku memikirkan untuk meminta izin undur diri, menyediakan waktu untuk mereka menyelesaikan masalah.

Setelah memasang kembali tas di punggungku, mas Rega lekas memintaku duduk kembali. Aku terkejut dan lekas melakukan hal yang dipintanya. Perasaan gak aman mulai menghampiri, percikkan rasa gak enak hati dan takut terkena imbasnya mendorong keringatku keluar melalui pori-pori. Sebuah rasa yang berbanding terbalik dengan apa yang kurasakan tadi membuatku kembali berrefleksi diri tentang dosa apa yang kuperbuat di masa lalu. Aku baru sebulan di sini, dan terlalu banyak hal yang terjadi gak sesuai dengan perkiraanku.

"Maaf, Dit. Gue gak sengaja."

Akhirnya sebuah suara memecah keheningan, dan suara itu berasal dari mas Rega. Dito gak menjawab, sedangkan bang Zul terus memaskukkan batagor ke dalam mulutnya.

"Harusnya gue cerita ke lo dan Zul juga," lanjut mas Rega lagi.

Bang Zul mengangguk-angguk sambil terus mengunyah makanan di mulutnya. Aku benar-benar gak mengerti bagaimana harus menyikapi keadaan ini. Rasa lapar yang mendera tadi pun lenyap, aku gak memasukkan makanan apapun dan hanya diam seraya meminum es teh yang mulai hilang berpindah ke perutku.

"Saya izin aja deh," ucapku pada bang Zul.

"Duduk diam di situ, Sha. Ini ada hubungannya sama kamu juga," potong mas Rega. Aku menatap mas Rega bingung, mengolah kalimat yang baru saja kudengar dari mas Rega.

"Saya kenapa, mas?"

Aku gak sabar mendengar jawabannya, tentu saja aku butuh penjelasan atas apa yang terjadi akhir-akhir ini. Tentang kenapa ada mas Bian di apartemen om Bagas, tentang kenapa mereka selalu ada di sekitarku, juga tentang mengapa beberapa dari mereka mulai menunjukkan rasa ketidaksukaannya.

Ketiga pasang mata mulai menatapku lamat, meninggalkan makanan di meja yang mulai dingin gak tersentuh oleh siapapun. Mas Rega terus mengambil napas dalam sebelum bicara, semakin menyelipkan perasaan gak siap padaku atas apa yang akan kudengar hari ini.

"Pertama-tama, kenapa kamu bisa tahu alamat apartemen Bian?" tanya mas Rega lembut.

"Saya gak tahu kalo itu apartemen mas Bian. Saya cuma datang ke tempat biasanya surat-surat yang om Bagas kirim untuk saya," jawabku mantap.

Wajah bingung kembali hinggap di wajah mas Rega, gak cuma dia. Kali ini Dito maupun bang Zul sama-sama kelihatan bingung atas jawaban yang didengarnya.

"Di sana gak ada orang yang namanya Bagas, Sha."

"Itu apartemen Bian atas nama bokapnya, om Bastian."

jawaban Dito maupun bang Zul ikut membuatku kebingungan. Aku yakin betul dengan tujuan kemana suratnya berasal, karena ke alamat itu pun aku terus mengirimkan surat balasanku untuk om Bagas. Aku menjelaskan tentang siapa om Bagas untukku, apa yang kulakukan saat itu, dan tentang tujuanku mencarinya. Wajah gak percaya terlihat jelas di wajah mereka, membuatku mau gak mau harus mengajak mereka ke kosan untuk memperlihatkan semua surat yang datang dari om Bagas.

Dan di sinilah kami berempat berada, kamar kecilku yang terasa sesak karena diisi oleh orang-orang yang tengah sibuk membaca semua surat-suratku.

"Lo pernah lihat muka om Bagas, Sha?" tanya bang Zul penasaran, aku menggeleng karena aku memang gak pernah bertemu langsung dengan om Bagas.

Dari apa yang kuingat, hanya siluet hitam tinggi yang menjadi kenangan tentang pribadi om Bagas. Ia selalu menolak bila kuajak bertemu, dia hanya mampir ke panti saat aku terlelap dalam tidurku. Semakin mempersulit untukku mengingat wajah om Bagas sebenarnya.

"Nama asli om Bagas, siapa Sha?"

"Gue cuma tahu Bagaskara doang, Dit."

"Sha, lo tahu gak nama panjang Bian siapa?" tanya bang Zul kini, aku menggeleng gak tahu. Karena memang kami berkenalan hanya nama panggilan saja saat di panti.

"Namanya, Bian Kara Yudhayana. Kara itu nama tengah keluarga Bian, dan dipake ke semua anak lelaki di keluarganya," jelas mas Rega singkat.

Aku masih gak mengerti dengan perkataan mas Rega. Aku terdiam gak menanggapi, hanya terduduk di sudut kamar sambil memikirkan sebenarnya siapa om Bagas itu.

"Bian itu curiga kalo kamu itu anak ayahnya, dari wanita lain," jelas mas Rega lagi.

Hanya sebuah kalimat sukses membuat aku kehilangan akal sehat. Jadi, maksudnya aku anak haram seseorang? Perasaan kecewa semakin menyeruak mendorong air mataku keluar. Aku hanya menangis tanpa suara memikirkan kembali apa yang terjadi saat ini.

"Om Bastian tiga bulan lalu meninggal, dan Bian ke apartemen buat beresin barang-barang ayahnya. Dia nemu banyak surat dari kamu, berikut dengan sebuah foto anak kecil dan setelah dilihat-lihat itu mirip banget sama Bian. Dan sedangkan Bian bilang itu bukan dia, dan juga dia anak tunggal di keluarga itu."

Penjelasan mas Rega semakin memperkeruh pikiranku. Aku sama sekali gak bisa berpikir dengan baik, hanya air mata yang terus ingin keluar, perasaan sesak semakin terasa menyakitkan. Aku hanya bisa menutup telinga, gak ingin mendengar apapun lagi. Semua kenyataan yang akhirnya tersibak sama sekali gak memberi kelegaan untukku.

Terutama sebuah fakta bahwa om Bagas atau Bastian itu sudah meninggal. Aku ingat masih menerima surat tulisan tangan dari om Bagas, meski dua bulan terakhir aku gak mendapatkannya karena kupikir om Bagas sedang sibuk. Mengingat om Bagas masih terus mengirimiku uang lewat rekening yang dibuatkannya khusus untukku.

Aku terus menangis dalam dekapan Dito, dia masih berusaha menenangkanku. Meski sudah kucoba sekuat tenaga menahannya, air mata ini terus mengucur deras tanpa bisa kukendalikan. Aku hanya bisa memanggil-manggil nama om Bagas, berdoa semoga dia bisa menjawabku dan memberikan penjelasan bahwa semua ini gak benar adanya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top