5. Hari Baru (Lainnya)

Entah sudah berapa lama aku memutar lagu sebagai teman tidur, tapi pada akhirnya aku terjaga sepanjang malam.

Sudah kucoba semua hal yang biasa kulakukan saat sulit tidur, nyatanya gak berhasil sama sekali kali ini. Sampai-sampai aku menyerah dan memilih untuk gak memejamkan mata barang sekejap. Sebentar lagi pagi, rasa khawatir akan terlambat di hari pertama terus menghantuiku semalaman. Sesuatu hal yang cukup kuat untuk membuatku sedikit melupakan apa yang terjadi kemarin.

Karena bagaimanapun aku memikirkannya, gak ada jawaban yang benar-benar menjawab pertanyaanku.

Aku sudah mengemas tas, memasak di pagi buta begitu juga menyiapkan bekal untuk kubawa hari ini. Masih ada cukup waktuku untuk menyaksikan matahari terbit dari balkon lantai atas. Melihat sebuah tanda akan berawalnya sebuah hari. Sebuah cahaya terang yang menjadi penerang manusia dalam beraktifitas. Sebagai sebuah tanda dari sebuah permulaan.

Panas dari matahari pagi belum terlalu menyengat permukaan kulit. Aku masih terus berada di balkon menikmati udara pagi yang masih cukup segar untuk bisa dinikmati. Meski sudah ada beberapa kendaraan yang mulai berlalu-lalang menghindari kemacetan yang mungkin saja akan menghadang perjalanan mereka dalam menuju suatu tempat. Gak lantas membuatku ingin beranjak dari sini.

Masih banyak waktu tersisa sebelum waktunya berangkat kuliah, aku memilih menelepon ibu untuk melepas rindu. Cukup lama sampai seseorang menerima panggilanku, sampai akhirnya terdengar suara lembut riang yang mengucapkan salam terlebih dahulu.

"Dani...." pekikku.

"Halo, selamat pagi. Dengan siapa?"

Ucapan Dani membuatku terus tertawa, menelepon mereka benar-benar sebuah ide bagus sebelum memulai hari. Aku butuh suntikan semangat yang bisa mereka berikan hanya dengan sekadar mendengar celotehan riang anak-anak.

"Ini mbak Shasha, Dani lagi apa sekarang?"

"Mbak Shasha, sekarang Dani lagi telponan sama mbak."

Aku kembali tertawa mendengar jawabannya, "Dani sudah mandi? Nanti terlambat loh," tanyaku lagi.

"Sudah, mbak. Mbak kapan pulang?"

"Nanti ya pas mbak sekolahnya libur, ibu lagi ngapain sekarang, Dan?"

Ada jeda beberapa lama sampai Dani mulai kembali berbicara, "tadi Dani lihat, ibu lagi masak," jawabnya lagi.

"Yaudah, Dani jangan lupa sarapan dulu ya sebelum sekolah. Nanti mbak telpon lagi, daahhh, Dani," ucapku memutuskan pembicaraan. Merasa cukup atas energi yang telah kuterima meski hanya bicara dengan Dani sebentar.

Kuputuskan untuk berangkat ke kampus lebih awal saja, mengingat sudah gak ada yang bisa kulakukan saat ini membuatku memilih untuk menjelajah kampus untuk mengisi waktu luang. Sebelum berangkat kulakukan rutinitas yang mulai kubiasakan selama di sini, yaitu membangunkan mas Zein setiap paginya.

Sudah cukup lama aku mengetuk pintu kamar mas Zein dan masih saja gak ada jawaban. Berpikir bahwa ia terlalu lelah untuk sekadar bangun dan membuka pintu membuatku memilih untuk membiarkannya dan gak lupa untuk mengiriminya pesan bahwa aku sudah berangkat dan telah menyisihkan sebagian makanan untuknya.

Aku sudah menghapal rute ke kampus via kendaraan umum ataupun jalan kaki. Dengan banyaknya sisa waktu yang tersedia menuntunku memilih untuk berjalan kaki saja sambil menikmati pemandangan sekitar.

Belum juga aku berjalan terlalu jauh, terdengar suara seseorang memanggilku.

"Shaaaa!"

Aku menoleh ke segala arah, mencari seseorang yang terus memanggilku tanpa henti. Sampai sebuah motor berhenti tepat di hadapanku.

"Pagi, Sha," sapa seseorang padaku, seseorang yang sebenarnya gak ingin kutemui. Dia adalah Dito, salah satu dari sekumpulan pria yang rasanya terus berada di sekitarku.

"Ayo bareng!"

Aku menolak tawaran Dito, dan lekas berjalan meninggalkannya. Dito gak menyerah dan terus melajukan motornya sejajar dengan langkahku. Mencoba untuk terus berbicara meski sudah kuabaikan sejak tadi. Dia masih gak menyerah, justru kini kembali menghadang langkahku tanpa berniat membiarkanku pergi. Aku terus berpikir apa yang diinginkannya, perasaan takut dan gelisah terus menghantui setiap detik yang terlewati saat Dito di sisiku. Tanganku mengepal erat, berusaha memberi kenyakinan pada diri sendiri bahwa aku akan baik-baik saja. Ada ibu yang selalu mendoakan keselamatanku, dan aku yakin itu cukup untuk membuatku melawan rasa takut yang sedari tadi hinggap di hatiku.

"Kenapa?" jawabku setelah beberapa saat.

"Bareng yuk?" tawarnya lagi.

"Gak usah, saya bisa sendiri kok," tolak gue halus dan kembali berjalan melewatinya. Meski akhirnya pun sama saja, Dito gak membiarkanku jauh darinya meski sejenak.

"Gue bukan orang jahat sumpah, ini KTP gue ambil aja buat jaminan."

Aku menatap bingung pada benda yang disodorkan Dito padaku. Memindai keterkaitan antara kartu tanda pengenal dengan kepercayaanku atas dirinya. Dito masih terus menatapku cukup lama, terus berusaha menyakinkanku bahwa dia bukan orang yang seperti aku pikirkan.

"Gue beneran bukan orang jahat, kalo lo takut diculik motor gue tinggal di sini deh terus ikut jalan sama lo, boleh kan? Tapi kalo motor gue ilang gimana, Sha?" Dito diam sejenak memikirkan jawaban atas setiap pertanyaan yang ia lontarkan sendiri. Aku yang mulai hilang kesabaran lekas pergi meninggalkan Dito yang masih termenung di pinggir jalan.

Untung saja Dito gak lagi mengikutiku, dia kembali menaiki sepeda motornya dan melaju ke arah yang berlawanan denganku. Atas karenanya aku merasa lega kembali, semilir tiba-tiba saja berhempus bagai angin segar melewatiku tanpa henti. Dengan langkah lebih ringan akhirnya aku sampai di kampus. Tempat yang akan kudatangi setiap harinya sebagai prosesku untuk menggapai mimpi-mimpiku.

Dulu saat aku menyadari bahwa siapa aku, bagaimana latar belakang keluarga yang aku miliki membuatku berpikir bahwa seorang anak sepertiku gak perlu susah-susah bermimpi karena hal itu akan membuang banyak waktuku untuk terus berandai-andai tanpa memahami bahwa kenyataan sedang gak berpihak padaku. Aku beruntung memiliki om Bagas, dia yang menyarankan semua pendidikan yang kulalui. Memberikan semua keperluan sekolah yang kubutuhkan untuk mendukungku mewujudkan impianku.

Aku berkuliah di sini dibantu dengan beasiswa meski gak seluruhnya ditanggung universitas, tapi om Bagas bersedia membiayai kuliahku sampai selesai. Terlalu banyak yang ia lakukan, terus menerus membuatku merasa berhutang budi padanya. Jika bukan karenanya, aku gak akan mau berpisah dari ibu dan memulai segalanya dari awal di sini. Ditambah dengan kejadian-kejadian yang kualami akhir-akhir ini semakin memberikanku alasan bahwa jika bukan karena bantuan yang sudah om Bagas berikan, aku akan segera memilih untuk kembali ke kampung halaman.

"Shasha."

Aku kembali terkejut saat seseorang memanggil namaku. Ini hari pertamaku berkuliah, mana mungkin ada seseorang yang mengenalku di sini. Tentu saja selain orang-orang itu, dan benar saja saat aku menoleh untuk melihat wajah seseorang yang memanggilku. Aku kembali menemukan wajah Dito yang tersenyum megah serta gak lupa melambaikan tangannya padaku.

"Sorry, gue milih naik motor. Soalnya kalo ilang gue males mintanya lagi," jelas Dito tanpa kupinta.

"Kamu beneran kuliah di sini?"

Dito mengangguk, "gue di Fikom," jelasnya lagi.

Aku hanya ber-oh ria seraya perlahan beranjak dari tempatku berdiri saat ini. Dito yang menyadari kepergianku mulai menahanku pergi dan menyeretku ke arah yang berlawanan dari tujuanku.

"Gue laper, Sha. Temenin sarapan, yuk? Lo udah sarapan belum? Ayo bareng," ajaknya cepat.

"Udah kok tadi di kosan."

"Yah, yaudah gue juga gak jadi deh. Males makan sendirian."

Gak memedulikan ocehan Dito, aku terus melanjutkan perjalananku menuju ruang kelas. Meski Dito gak memaksaku pergi bersamanya, namun sekarang Dito mengikuti langkahku menuju ruang kelas. Dito terus mengajakku ngobrol meski hanya kubalas sekenanya, menimbulkan perasaan gak enak hati yang mulai menggangguku sejak tadi.

"Kamu gak ke kelas?" tanyaku berusaha sopan. Mengingat suara Dito yang cukup besar cukup menyita perhatian dari beberapa pasang mata orang-orang yang ada di sekitarku sejak tadi.

"Gak ah, gak ada temen."

"Tapi saya kan juga bukan teman kamu, Dit."

"Ya, seenggaknya gue kenal lo. Emang lo gak mau temenan sama gue?"

Aku diam saja, gak berusaha menjawab pertanyaan Dito barusan. Suasana koridor fakultas terlalu padat untuk kami berbincang, akhirnya aku membawa Dito yang masih mengajakku bicara berjalan ke arah kantin.

"Lo laper, Sha? Syukur deh gue ada temen makan," pekik Dito senang seraya menyeretku untuk melangkah lebih cepat.

"Saya beneran sudah makan."

Dito kembali berhenti menyeretku, entah sudah berapa kali kami melakukan adegan tarik-menarik seperti ini. Genggaman Dito pun gak bisa dibilang remeh, beberapa jejak-jejak tarikan Dito mulai nampak di beberapa bagian lengan. Meski gak terasa sakit, tapi juga gak mudah hilang dari lenganku. Berusaha menghiraukan kondisi lenganku dan mulai mengkhawatirkan sikap Dito saat ini. Ia mulai duduk di antara para pepohonan rindang yang ada di sekitar kampus, wajahnya murung gak bersemangat seperti beberapa menit lalu. "Yaudah, gue juga gak usah deh," jelasnya lagi.

"Tapi saya beneran udah makan, Dit. Kamu kalo mau makan ya silakan gak perlu nunggu saya," terangku lagi, berusaha untuk gak menyakiti perasaan Dito yang sepertinya sedang mudah berganti-ganti.

"Gak, gue gak pa-pa kok. Gue cuma gak suka aja makan sendirian, kalo di sini juga makan sendirian mah mending sarapan di rumah, Sha."

Aku mendengus lelah di hari sepagi ini, mulai menyadari efek samping dari terjaga semalaman tanpa beristirahat sedikit pun sejak tadi. Berniat untuk gak lagi terjaga hanya karena memikirkan hal-hal yang mengganggu tujuanku berada di sini. Aku ikut duduk tepat di sebelah Dito, melihatnya sejenak mencoba menangkap apa yang sedang dipikirkannya.

Krukurkruk

Suara perut Dito memecah keheningan di antara kami. Aku tertawa keras diikuti dengan Dito yang mulai mengelus perutnya pelan.

"Yaudah nih, makan. Saya masak tadi pagi." Sesegera mungkin menyerahkan kotak bekal yang kubuat tadi pagi. Dito gak menolak, ia lekas mengambil bekalku dan menyantapnya nikmat.

"Enak," ucapnya dengan mulut penuh makanan.

"Kayaknya gue tinggal di kosan lo aja deh, ada kamar kosong kan? Lumayan ada yang masakin," lanjutnya lagi.

Mataku membelalak kaget mendengar penuturan Dito entah serius atau gak. Dito tertawa kencang setelah melihat wajahku beberapa waktu, membuat beberapa makanan di mulutnya berhamburan keluar tanpa halangan.

"Sorry-sorry nyembur, ya tapi gak pa-pa kan? Gue juga udah nanya yang punya kosan loh."

Aku memilih gak menjawab pertanyaan Dito, membereskan isi tas sebelum beranjak pergi meninggalkan entah kegilaan apa yang kuhadapi saat ini. Dan lagi-lagi entah sudah kesekian kali, Dito kembali menahan pergelangan tanganku.

"Lo beneran masih takut sama gue? Jangan bilang lo kabur pas di rumah sakit karena beneran mikir mau gue apa-apain? Beneran gak mau nyimpen KTP gue?" ucapnya lagi.

"Buat apa gue nyimpen KTP lo?" ucapku setengah berteriak. Kesal menanggapi kekeraskepalaan pria dihadapanku, memikirkan bahwa dia benar-benar keras kepala atau memang berniat menjahiliku.

"Akhirnya lo-gue juga. Gila, sakit telinga gue pas lo bilang saya-kamu, Sha."

"Lo denger gak barusan gue bilang apa?" pekikku lagi gak memikirkan sekitar, masa bodoh dengan hari pertamaku di kampus. Segera menyelesaikan permasalahan ini lebih baik daripada aku harus merasa terbebani dengan keberadaannya.

"Yaa gue gak pindah, tapi minta nomor lo. Bang Rega sih punya, tapi gue lagi marah sama dia jadi males mintanya."

Aku gak berdebat, lekas merebut ponsel yang sudah disodorkan Dito dan mulai mengetik beberapa angka untuknya. Berharap ini akan berakhir jika aku menuruti apa yang ia inginkan.

"See you, Shasha. Awas telat masuk kelas, kotaknya minta tolong cuciin ya, bye-bye."

______________________________


Gladly to say hello untuk para pembaca di lapak ini, dalam pesan ini saya hanya ingin menyampaikan soal sudut pandang yang digunakan. Kemungkinan besar hanya menggunakan dua sudut pandang karakter yaitu Rega dan Shasha. Untuk karakter lain mungkin bisa dilihat di lapak selanjutnya..

Saya juga gak akan memberikan penjelasan diawal cerita soal sudut pandang siapa yang tengah saya gunakan pada bab tersebut agar kalian bisa membayangkan sendiri dan menikmatinya secara alami.

Oh dan satu lagi, saya merilis bab lanjutan tepat setelah saya selesai menulisnya. Jadi akan ada kemungkinan saya merilis 2-3 bab sehari seperti sebelumnya atau hanya 1 bab seperti dua hari ini. Jadi gak ada jadwal rilis bab selanjutnya untuk lapak ini.

Dan terakhir, semoga kalian menikmati cerita ini seperi saya yang menikmati waktu menulisnya.

Bye-bye, and see you in next chapter ..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top