11.3 Pemberian Tuhan
Entah sampai kapan gue harus menahan diri untuk gak keluar dari kamar ini. Sudah cukup lama sampai membuat gue bosan menunggu arahan Bian untuk bergerak. Memulai pergerakan atas rencana-rencana yang telah dipikirkannya selama ini sendirian. Dan setelah sekian lama akhirnya Bian memulai pergerakan, mengambil keputusan besar untuk menyatukan keluarganya yang tersisa.
Keputusannya berujung dengan mempertemukan Shasha dengan ibunya hari ini.
Gue dan Juan udah memperingatkannya beberapa kali tentang efek samping tindakannya ini. Namun Bian terlihat gak mau memikirkannya lama-lama, keputusannya telah bulat dan gak ingin ditundanya lagi. Sehingga gak ada lagi yang bisa gue lakukan selain mendukungnya.
Gak banyak hal yang terjadi, namun suasananya seperti habis disapu badai. Gue gak mampu bergerak, setelah kepergian Bian seharusnya gue beranjak menuju Shasha mencoba menenangkannya. Namun, entah apa yang merasuki jiwa gue. Gue hanya terdiam gak mampu melakukan apa-apa. Tangisan lirih yang terdengar jelas dari ruangan sebelah semakin membuat gue terdiam gak mampu bertindak apapun meski Bian udah menyerahkan segalanya ke gue.
Mendengus pun rasanya berat.
Bernapas pun terasa sesak.
Menelan ludah juga terasa bagai menelan duri.
Gue benci dalam situasi seperti ini, namun suara tangisan Shasha gak kunjung mereda. Setelah menyadarkan diri, gue pun keluar kamar memberanikan diri. Menatap pada sesosok gadis yang tengah bersimpuh menahan tangisnya yang mulai terdengar sesenggukkan. Gue gak tahu harus bagaimana sekarang. Gue cuma memutuskan untuk berjalan mendekatinya, duduk di sebelahnya berusaha tanpa membuat suara sedikit pun dan duduk terdiam sampai dia menyadari kalau ada gue di sini.
Meski nyatanya butuh cukup lama sampai Shasha sadar bahwa gue ada di sebelahnya. Suara perut gue menarik atensinya, bagai menyuarakan isi hati gue yang sejak tadi ingin segera diakui keberadaannya.
Bisa gue lihat kedua kelopak matanya yang sembab. Mata merah yang memancarkan rasa kecewa terus bergerak-gerak terkejut mendapati gue juga tengah menatap ke arahnya dari jarak yang cukup dekat. Shasha gak bergerak sedikit pun, membeku di tempatnya terus menatap gue seakan meminta pertolongan.
"Gue laper," ucap gue memecah keheningan. Begitu juga gak berminat mengungkit hal yang terjadi barusan.
Sudutnya bibirnya naik sedikit setelah mendengar ucapan gue. Shasha gak bicara apa-apa selain bergerak menuju dapur. Membuka kulkas guna mencari-cari entah apa itu, tapi yang gue yakin adalah sebuah solusi untuk genderang perang yang ditabuhkan cacing-cacing di perut gue.
Gak butuh waktu lama buat gue menunggu, Shasha kini tengah memanggil-manggil nama gue untuk segera memakan makanan yang sudah dihangatkannya tadi. Mungkin apa yang gue lakukan sekarang gak membantu, tapi setidaknya gue pikir ini bisa mengalihkan pikiran Shasha sejenak dari permasalahan yang menimpanya tadi.
"Makasih, Sha," ucap gue tulus sekaligus berusaha membuka obrolan seraya meruntuki buruknya kemampuan sosial gue. Banyak yang bilang gue cukup pandai bicara, tapi gue dengan sadar menyakini meski begitu kemampuan menyalurkan empati gue rendah. Sehingga gue lebih banyak diam saat ada kejadian-kejadian emosional yang gak mampu gue kendalikan suasananya.
Contohnya kayak saat ini, Shasha termenung memainkan sendok dan makanannya.
Gue memikirkan banyak hal yang bisa gue lakukan untuk mengalihkan pikiran gadis di hadapan gue saat ini. Banyak ide bermunculan yang setidaknya bisa membuat Shasha memandang gue sejenak. Meski akhirnya gue kembali terdiam dan memilih menghabiskan makanan di hadapan gue.
"Mas Rega."
Gue terkesiap saat mendengar Shasha akhirnya membuka suara selain untuk mengajak gue makan tadi. Matanya terlihat gelisah, bibirnya terlihat beberapa kali bergetar seperti ada yang ingin disampaikannya. Gue masih terdiam di kursi, menunggu Shasha untuk menyampaikan apa yang ingin disampaikannya.
"Makasih, karena udah gak tanya-tanya."
"Makasih juga karena udah mau ngasih makan saya," timpal gue lekas.
Akhirnya dia tersenyum, bukan senyuman yang diperlihatkannya tadi. Kali ini senyuman indah yang membuat gue ikutan tersenyum melihatnya. Suasana canggung tadi, kini berubah hangat gak lagi menyesakkan dada. Suara tangisan yang tadi mengiasi mulai berganti dengan tawa-tawa remeh yang mulai bersahut-sahutan.
Sederhana, tapi cukup memberi perbedaan.
Gue mengajukan diri untuk mencuci piring, meninggalkan Shasha yang memilih menonton televisi untuk menghabiskan waktu. Seperti itu yang dikatakannya, meski nyatanya dia kembali termenung menatap kosong semua yang ada di hadapannya. Cukup lama buat gue mengamati bahwa sejak beberapa waktu lalu Shasha sampai lupa untuk berkedip. Menjelaskan bahwa kesadarannya benar-benar meninggalkannya.
"Sha," panggil gue setelah beberapa kali memberanikan diri. Shasha gak menjawab, hanya memalingkan wajahnya ke arah gue. Wajah sendu sarat kesedihan kembali menyapa, di matanya gak lagi bisa gue lihat binar-binar kehidupan yang biasanya nampak di sana.
Gue meneguk ludah sejenak sebelum kembali membuka mulut. "Kamu selalu bisa menghubungi saya jika ada sesuatu, nomor saya aktif 24 jam/7 hari."
Shasha gak menjawab ucapan gue, dia hanya lekas meninggalkan sofa. Gue yang penasaran akhirnya memilih untuk mengikutinya sampai ruang tengah. Ia terlihat sibuk mencari sesuatu sampai suara dering ponsel memecah atensi gue.
Melihat nama Shasha di layar ponsel yang masih terus berdering membuat gue sedikit bingung. Terutama pada ekspresi yang kini nampak di wajahnya. Matanya seperti memohon pertolongan, memicu gue untuk lekas menjawab panggilan ini. Gak lupa menyematkan ponsel di telinga untuk mendengar suara Shasha yang hampir berbisik.
"Mas, Shasha mau pulang."
Ucapan lirihnya semakin terasa menyayat hati. Setelah menyampaikan apa yang ingin dikatakannya dapat gue lihat bulir-bulir air mata yang kembali tertahan di sudut matanya.
"Tunggu sebentar lagi ya, Sha. Percaya sama Bian dan kamu selalu bisa menghubungi saya saat diperlukan."
Setelah itu Shasha hanya diam tanpa memutuskan panggilan kami. Gue gak tahu apa yang harus gue lakukan saat ini, tapi naluri gue mengarahkan bahwa gue harus berjalan mendekatinya. Ikut bersimpuh bersamanya, mengusap kepalanya lembut dan membawanya ke dalam pelukan gue.
Memilih untuk gak menentang apa yang naluri gue katakan, kini gue telah bersimpuh tepat di hadapan Shasha yang masih termenung di tempatnya. Berusaha memberikan kenyamanan dengan mengusap lembut kepalanya, Shasha gak menolak atas perlakuan gue. Memberikan gue keberanian untuk memeluknya erat, menyalurkan semua kekuatan yang gue harap bisa membuatnya bertahan lebih lama lagi.
"Gak pa-pa, saya ada di sini, Sha."
Satu kalimat yang gue bisikkan akhirnya memecah tangis Shasha yang sedari tadi tertahan. Satu kalimat yang membuat Shasha membalas erat pelukan gue seakan gak ingin gue pergi meninggalkannya sendirian. Meski tangisannya kali ini gak terlalu lama, kami masih memeluk satu sama lain. Seperti gak berniat untuk saling melepaskan dalam sesaat, terdiam cukup lama sampai membiarkan suara televisi menjadi satu-satunya hal yang menandakan keberadaan kami di sini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top