Anoo 8
"Double J"
***
Regina Mevalda. Sudah jelas kan? Dari namaku saja sudah menjelaskan aku ini cantik, baik hati, pintar, dan sempurna. #pasang muka sombong.
Hidupku sempurna, bisa dibilang aku itu perempuan yang lahir dengan sendok emas di mulutku, ya kalau kau tahu apa maksudku.
Kau tahu JJ Company? Nggak tahu? Ah kudet banget. Biar kujelaskan, itu perusahaan besar yang memproduksi satu merk dagang yang mengcakup teknologi, transfortasi, pakaian dan segalanya. Bisa dibilang bahkan bra yang sedang kau pakai saat ini adalah barang produksi JJ Company.
Bukan kok, itu bukan perusahaan milikku. Iya bukan, sampai usiaku 25 masih bukan milikku kok. Hahahaha. Jadi sekarang kalian tahu kan? Aku benar-benar lahir dengan sendok emas.
Kau pasti pikir hidupku sangat sempurna, tapi sebenarnya tidak. Bukan kok, aku tidak kekurangan kasih sayang, juga tidak gagal move on. Aku hanya harus terjebak menjadi adik manusia gila selama ... Seumur hidupku, astaga! Membayangkannya saja membuatku mual.
"JINA!" Meh, baru saja membahasnya dia sudah mulai gila lagi, itu abangku, namanya si brengsek sialan penghancur makan siang, disingkat jadi Juna.
"APA?!" balasku berteriak.
"KONDOM YANG ABANG BELI MANA?"
Kampret! Mana ada laki-laki waras yang menanyakan hal itu ke adik perempuannya, kau pasti berpikir dia juga gila kan?
Reader : ngangguk-ngangguk.
"YA MANA JINA TAHU."
"LO AMBIL KAN?"
"BUAT APA JUGA JINA AMBIL, BATANG AJA GA PUNYA."
Dia berhenti berteriak dan kudengar suara lemparan barang ke pintu penghubung kamarku dan kamarnya. Kamar kami memang bersebelahan dan dia tolol karena selalu berteriak padahal kamar kami bersebelahan.
"Jangan rusakin pintunya lagi dong!" teriakku kesal.
Juna membuka pintu penghubung dan menatapku kesal, dia memperhatikan aku yang sedang berbaring di kasur sambil membuka istagramku, aku seorang selebgram ngomong-ngomong.
"Abang kemarin nyuruh kamu apa pas balik dari minimarket?"
"Simpen belanjaan abang di kamar ya, Jina," kataku menirukan suara Juna kemarin.
"Terus kenapa belanjaan abang ga ada?"
"Ya mana Jina tahu, tanya sama mbak dong, kan mbak yang beresin kamar Abang."
Juna mendengkus, dia tampak berpikir sebentar sebelum menatapku dengan ekspresi horor.
"Mbak bukannya lagi pulang kampung?" tanyanya.
"Iya."
"Terus yang beresin kamar Abang siapa?"
Aku menoleh menatapnya, saat itu hanya ada satu orang yang terlintas di pikiranku dan aku menatap Juna horor, buru-buru melompat dari atas kasur.
"Mama!" kataku ngeri.
Juna menggeram kesal, dia berputar-putar di tempatnya sambil meremas rambutnya. Kalau benar Mama yang mengambilnya, masalah sudah di depan mata, dan pasti benar Mama yang mengambil. Tunggu saja sampai aku dan Juna kena sidang.
"Abang sih kenapa ga langsung disimpan."
"Ya mana Abang tahu, Jina. Lo juga kenapa nyimpennya ga di tempat tersembunyi."
"Kacau deh, pokoknya Abang tanggung jawab, aku ga mau ikutan sidang."
"Arjuna Mevalda, Mama mau bicara. Ketemu di ruang kerja Mama."
Suara Mama lembut sih, tapi yakin aja deh, itu hanya ketenangan sebelum badai. Aku tertawa melihat Juna yang pucat, habis sudah dia kali ini sama Mama.
"Mampus, Bang."
Juna menatapku sinis, sebelum berjalan keluar dari kamarku. Aku buru-buru mengambil ponselku dan mengambil selfie dengan wajah tersenyum puas.
Disukai oleh Adinda dan 354 lainnya
JJMevalda Senyum puas melihat Abang disidang 😈😈
Lihat 145 komentar
Begitulah seorang selebgram, baru beberapa detik sudah banyak Love dan komen yang kudapat. Aku tertawa keras membayangkan Juna akan ngamuk melihat postinganku itu, puas sekali aku melihat penderitaan Juna. Seandainya saja tadi aku sempat mengabadikan muka begonya itu.
"Jina Mevalda! Ke ruang kerja Mama, sekarang!"
Aku hampir menjatuhkan ponselku mendengar teriakan Mama. Kenapa? Ah sialan! Pasti Juna mengatakan hal lain ke Mama, brengsek!
Aku berlari menuju ruang kerja Mama dan menemukan Juna duduk di depan meja Mama seperti pesakitan dan nyengir setan ke aku. Aku menatapnya sinis, dasar sialan.
"Kenapa Ma?"
"Duduk."
Aku duduk di samping Juna dan menyempatkan kakiku menendang tulang keringnya.
"Jangan ada perkelahian di bawah meja, anak-anak," kata Mama begitu Juna ingin balas menendang, rasakan itu brengsek!
"Jina, benar kamu yang menyimpan kotak itu di kamar Abang kamu?"
"Benar, tapi bukan aku-"
"Kamu tahu isi kotaknya, benar?"
"Benar, tapi Ma-"
"Berarti kamu juga tahu itu salah, tapi kamu tidak menghalangi Abang kamu, benar?"
"Iya."
Aku menunduk lesu. Kalau tahu begini, aku nggak akan mau diminta menemani Juna belanja, meskipun disogok Starbucks dan Pizza keju, bodoamat.
"Mama meminta kalian untuk jadi akrab dan saling membantu, tapi bukan saling membantu dalam hal buruk begini."
"Euh, siapa juga yang mau membantunya, dia memaksaku Ma," protesku kesal.
"Enggak Ma, dia suka rela kok. Lo bilang kalau dibeliin starbucks sama pizza bakal temenin abang ya, Jina."
"Tapi Jina gak tahu lo mau beli kondom ya."
"Kesepakatan tetap kesepakatan, pokoknya kalau gue dihukum, lo juga harus."
"Enak aja!"
"Double J!"
Aku kembali diam dan melirik sengit Juna yang juga melirikku.
"Mama akan mengawasi kalian mulai sekarang, kalian akan berangkat ke sekolah dengan supir, begitu juga saat pulang-"
"Jina bukan anak kecil lagi."
"Dan! Karena Mama gak suka kalian memakai bahasa tidak sopan kepada satu sama lain, ponsel kalian mulai sekarang akan Mama sadap."
"Itu kan pelanggaran privasi!" protes Juna.
"Atau kalian setuju untuk tinggal bersama Kakek kalian di Belanda?"
Aku dan Juna sama-sama bergidik ngeri membayangkan akan tinggal bersama Kakek yang hobby memakaikan pakaian kembar ke kami, padahal kembar aja bukan.
"Mama, pliss."
"Kalian paham, Double J?"
"Iya Mam," kataku dan Juna lesu.
Aku dan Juna keluar dari ruangan Mama sambil melirik sengit satu sama lain.
"Kalau bukan karena lo yang bego, gue ga bakal kena masalah," ketus Juna.
"Yang ada juga lo yang bikin masalah."
"Awas aja lo digangguin cowok lagi, jangan telpon gue."
"Lo juga kalau butuh bantuan sama mantan-mantan lo jangan telpon gue."
Kami saling melotot tajam sebelum kembali ke kamar masing-masing dan saling membanting pintu, dasar setan.
***
Mama benar-benar serius dengan ucapannya dan aku benar-benar harus berangkat semobil berdua dengan Juna. Kecuali masalah ponsel yang disadap, aku menelpon Papa dan merengek agar Papa mau membantu, jadi hasilnya ponsel kami bebas, Juna harusnya berterimakasih padaku, tapi dia cuma mendiamkanku sampai saat ini.
"Berhenti di gerbang barat ya, Pak," kataku ke supir.
"Di gerbang depan aja, Pak." Juna meralat ucapanku yang mana membuatku segera melotot.
"Gerbang depan sama kelas gue jauh."
"Ga ada urusannya sama gue."
"Pokoknya di gerbang barat, pak!"
"Gerbang depan, Pak."
"Apasih lo?! Biasanya juga di gerbang barat."
Juna tidak mengatakan apapun tapi membiarkan supir membawa kami ke gerbang barat di mana itu jauh dari kelasnya. Gedung barat khusus kelas 1 dan gedung kelas 3 ada sebelah selatan yang mana itu jauh dari gedung kelas 1. Terutama karena Juna ga suka teman-teman angkatanku melihatnya seperti memuja malaikat.
***
Memikirkan Juna mengalah tadi pagi, aku sedikit merasa bersalah, sedikit ya, tapi ini semua kan salah dia, kalau dia tidak membuatku terlibat sidang, aku pasti bakal membantu dengan meminjamkan mobilku. Mungkin...
Brak...
Aku mendongak saat mejaku dipukul dengan keras, aku tidak tahu siapa yang berdiri di depanku itu, tapi menilik dari ekspresinya dan sidekick di belakangnya, aku pastikan mereka bukan bermaksud baik.
"Jauhin Juna," katanya begitu dia buka mulut.
Dan aku langsung tertawa keras, kampret! Ternyata fansnya Juna, apa perempuan bego itu gak tahu kalau aku adiknya Juna? Dia menatapku kesal begitu aku tertawa.
"Siapa yang nyuruh lo ketawa?! Cari mati lo?"
Yang cari mati ya jelas lo tolol, kalau Juna tahu lo kesini ganggu gue, abis deh lo. Pemikiran itu membuatku sadar kalau Juna sedang marah padaku, aku tiba-tiba merasa sedih.
"Jawab! Malah diem."
"Berisik deh," gerutuku tergganggu. Dia tampak terkejut karena aku berani melawan, sepertinya baru kali ini ada yang berani melawannya.
"Lo berani-"
"Emangnya lo siapa?" tanyaku berdiri di depannya, dia tersenyum angkuh.
"Lo tanya gue siapa? Gue calon tunangannya Juna."
Aku tertawa keras, sengaja meremehkannya. Aduh, kocak nih anak.
"Juna mana mau sama modelan kayak lo, cantikan juga gue, lo ga nyadar diri? Lo itu terlalu kejengkang kalau mau dibandingin sama gue."
Dia syhok berat, terlebih sidekicknya sepertinya setuju dengan perkataanku. Dia bego ya? Jelas-jelas kalau mau membandingkan aku si Princess keluarga Mevalda ini dengan dirinya, pastinya dia hanya debu bagiku.
"Emang fakta kok, apa yang bisa dibanggain dari lo? Cantikan gue."
Lalu dia melompat ke depanku dan mulai menjambak rambutku, aku berteriak histeris dan balas menjambak rambutnya. Brengsek! Aku akan bunuh Juna setelah ini.
Aku akan menangis kalau jambak-jambakan ini ga segera berhenti, lalu aku akan bilang ke Mama dan Papa kalau Juna sudah membuatku hampir botak. Biar saja dia kena hukuman.
"STOP!"
Teriakan menggelegar itu mengagetkan aku dan perempuan di depanku, aksi jambak-jambakan itu berhenti. Aku melihat Juna berjalan ke arahku dengan napas terengah dan keringat di wajahnya, seolah dia habis lari dari neraka. Melihatnya begitu, aku yang berusaha tidak menangis segera merasa cengeng dan menatapnya hampir menangis.
"Juna," panggilku sambil terisak, dia mendekat padaku dan memelukku, tangannya bergerak mengusap kepalaku seolah dia tahu di sana sangat sakit.
"Jina ga mau maafin dia, ga mau," kataku di antara isakanku.
"Iya, ga dimaafin."
Juna menggerakkan tangan lainnya dan memanggil temannya.
"Bawa dia, gue pengen kasih dia hadiah."
Aku tahu siapa yang Juna maksud, dan aku seratus persen yakin perempuan itu sudah pucat ketakutan.
"Tapi Juna! Dia yang mulai jambak aku duluan, dia ngatain aku jelek, miskin, gembel."
Gembel nenekmu ngompol, mana ada aku bilang gitu, Mama akan membuangku ke kali kalau aku berani mengatakan kata sekasar itu.
"Jina ga pernah diajarin ngomong gitu, Lidya. Gue yang lihat sendiri gimana Mama ngajarin dia." Juna melepaskan pelukannya padaku dan menatap perempuan bernama Lidya itu, Juna kelihatan tenang tapi tenangnya terlihat berbahaya. "gue percaya dia ga ngomong gitu tadi," lanjutnya.
"Tapi aku denger, iya kan?" dia memelototi sidekicknya yang langsung mengangguk ragu.
"Gue percaya Jina."
"Kenapa? Padahal kamu ga lihat apa yang dia lakuin, kamu ga lihat Juna! Dia nyakitin aku! Kamu harus percaya-"
"Karena dia adik gue!" Juna membentak, aku bisa dengar giginya bersuara karena terlalu rapat menutup mulutnya.
Si Lidya itu tampak syhok dan mundur satu langkah, Juna kelihatan akan membunuhnya kalau aku tidak sedang ada di sampingnya.
"Gue tadi bilang bawa dia, lo denger gak?"
Lalu Lidya di bawa pergi bersama teman-temannya. Aku ingin tersenyum tapi bekas jambakannya terasa sakit, aku bahkan tidak pernah dapat bentakan, beraninya dia mengjambak rambutku.
"Sakit ya?" tanya Juna. Aku menatapnya berkaca-kaca.
"Sakit Abang."
"Mau pulang?"
"Jina mau bilang sama Mama, ini gara-gara Abang selalu pacaran sama kuntilanak, Jina bakal bilang supaya hukuman Abang jadi double."
"Yaudah iya, yuk pulang."
"Papa harus tahu, biar sekolah ini ditutup aja. Rambut Jina baru kemarin dapat perawatan, sekarang rusak dan banyak rontok, Jina bakal pindah sama Kakek."
Juna menahan napas saat mendengar kalimat terakhirku. Dia memegang pundakku kuat, menatapku cemas.
"Jina, Jina adeknya Abang, kamu ga serius kan?"
"Jina ga bercanda."
"Kakek itu kan ga suka anak-anak kayak kamu, nanti kamu dijual, mending sama Abang ya kan? Abang kan baik, suka beliin Jina pizza kan?"
"Jina mau sama Kakek, pacar Abang jahat."
Juna memelukku erat, seolah takut aku benar-benar akan pindah ke Belanda. Tentu saja itu momok yang menakutkan bagi kami berdua, sekali memutuskan pindah ke Belanda, tidak ada jalan kembali ke Indonesia.
"Abang ga akan pacaran lagi, janji."
"Ga mau."
"Jina, nanti Abang belikan Pizza deh ya, Jina mau apa? Abang beliin, jangan pindah ya, jangan jauh-jauh dari Abang dong."
"Biarin Jina lihat koleksi marvel Abang."
"Kamu boleh ambil kalau mau, asal jangan pindah, Abang kan cuma punya Jina, jangan pindah ya, dek?"
Aku mengangguk, tersenyum diam-diam di dada Juna. Meskipun dia suka sekali membuat masalah denganku, mengancam tidak akan membantuku kalau ada yang menggangguku, tapi dia tetap berlari dari gedung kelas 3 menuju kelasku hanya untuk memastikan aku baik-baik saja. Walaupun aku dan Juna lebih sering bertengkar dari pada akur, tapi aku tahu rasa sayangnya padaku sama besarnya seperti aku menyayangi dia.
"Kita baikan?" tanyaku pelan.
"Iya, baikan. Abang kan datang bantuin kamu."
"Bang, nanti kalau mantan-mantan Abang bikin masalah, Jina mau bantu."
"Abang ga mau kamu bantu, biar mereka ga serang kamu kayak gini."
"Abang sayang Jina?"
"Sayang, sayang banget."
"Seberapa sayang?"
"Sesayang Abang lari dari lantai 3 gedung kelas 3, jatuh 2 kali di tangga, nabrak banyak orang, keringatan, buat sampai ke gedung kelas 1 karena dengar adek abang digangguin."
Aku tersenyum kecil.
"Jina juga sayang."
***
Diketik dengan membayangkan Abangku yang ga ada miripnya sama Juna_-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top