Anoo 5

"(Best)Friend"

***

     Aku Gianna Jun, siswa kelas XI Mia. Menjadi pusat perhatian dan panutan sudah sangat biasa bagiku, siapa yang tidak kenal Gianna Jun yang cantik dan pintar ini? Hampir tidak ada.

Walaupun dengan semua itu, tentu saja aku juga punya teman. Gadis berkerudung yang duduk di samping jendela itu misalnya, namanya Zanna, salah satu dari 3 teman baikku. Lalu gadis yang keseluruhan bajunya terlihat terlalu kecil untuk menutupi lekuk tubuhnya, namanya Jina. Terakhir Hyuna, seperti namanya, ia persis seperti heina, agresif dan sangat suka memangsa ... pria.

"Kamu harusnya belajar kan, Hyuna?" Zanna yang sedari tadi diam akhirnya membuka mulut dan menatap Hyuna yang sibuk menaburi bedak di wajahnya.

"Tidak semua orang kan harus belajar, kalau semua orang pintar, maka dunia tidak akan seimbang, balance Zan," balas Hyuna.

"Ah lu kalo dikasih nasehat, ngejawab aja," gerutu Jina.

"Kayak yang situ gak aja."

"Gue mah kalem."

"Kalem dari hongkong."

"Dari Indonesia-lah, cintai produk lokal."

"Berisik ah, ganggu aja."

Aku tersenyum melihat interaksi itu, ya aku bagian dari komunitas aneh itu. Kuletakkan tasku di samping Jina, membuat gadis itu menoleh dari ponselnya, aku lupa mengatakan dia seorang selebgram.

"Tumben telat," kata Jina kembali ke ponselnya lagi.

"Macet," jawabku singkat.

"Jakarta emang kapan ga macet, Ann?" sambar Hyuna dari kursi belakang.

"Dulu, duluuuu banget."

"Ahelah, ga paham sarkasme lu ah."

Aku tertawa, menepuk tangan Jina agar menurunkan ponselnya saat Ibu Lana masuk, seperti kebiasaanya ssetiap masuk mengajar, ia memperhatikan keseluruhan isi kelas dan mengabsen setiap inventori kelas, tugasnya sebagai wali kelas. Lalu tatapannya berhenti sejenak pada Jina, ia tersenyum seolah sudah pasrah melihat baju kekecilan Jina, kemudian matanya berhenti lagi pada Hyuna, ia menghela napas panjang dan duduk di balik mejanya.

"Ibu sebut nama kalian ya, dengarkan baik-baik. Ardian Galaxy."

"Here!"

"Bernard Fernad?"

"Here!

"Diandra Atmaja?"

"Here!"

Rutinitas itu membosankan, Jina di sampingku menguap, berbeda dengan manusia yang namanya berada di akhir absen, Zanna menunggu dengan sabar dan tenang. Ya setidaknya Jina cukup tenang dibanding Hyuna yang tiap kali satu nama disebut, ia menoleh untuk melihat orangnya.

Tok ... Tok ... Tok ...

Aku menoleh ke pintu masuk kelas, menemukan seseorang yang hampir tidak kukenali kalau saja aku tidak ingat ada seorang anak perempuan pendiam yang selalu duduk di belakang dan tidak punya teman. Bu Lana berdiri menghampirinya, bukan karena gadis itu terlambat, tapi karena penampilannya yang berantakan, rambutnya tidak disisir dan ada warna merah gelap keunguan di pipinya.

"Nasya, pipi kamu kenapa?" tanya Bu Lana.

"Gapapa Bu, boleh saya duduk? Maaf saya terlambat."

"Tidak apa-apa, duduk nak duduk."

Nasya menunduk ketika berjalan ke kursinya, sekilas ia melirikku sebelum kembali menunduk. Aku tidak paham apa maksud lirikannya, tapi aku menatapnya sampai ia duduk. Bu Lana menghelas napas seperti sudah sangat pasrah dengan isi kelas ini.

"Nasya, sehabis ini kamu ikut ke ruangan saya ya?"

"I-iya Bu."

Bu Lana menghela napas lagi, kemudian melanjutkan absennya.

***

     Hyuna bilang dia kemarin lupa mengembalikan buku Matematika yang dipinjamnya dari perpustakaan, dan sekarang ia harus menemui pacarnya di kelas 3, jadi akulah yang berbaik hati mengembalikan buku itu.

"Ayah kamu lagi?"

Aku berhenti melangkah begitu melewati ruang guru dan mendengar suara Bu Lana, kemudian kudengar suara Nasya menyahut iya. Rasa penasaran membuatku membuka pintu sedikit dan mencuri dengar.

"Nasya, kalau Ayah kamu masih mukul kamu, Ibu akan laporkan dia ke polisi, ini sudah KDRT dan kekerasan pada anak, Nasya, kamu tahu kan?" Suara Ibu Lana terdengar khawatir.

"Tapi kalau Ayah dipenjara, saya tidak punya siapa-siapa lagi, Bu."

Bu Lana tidak mengatakan apa-apa untuk sesaat, dia mungkin berpikir akan mengatakan apa. Lalu berdehem.

"Ibu yang akan tanggung kamu, bagaimana?"

"Tapi Bu ...."

"Nasya, dengar. Kamu itu anak yang pintar, Ibu tidak mau kamu jadi tersisihkan dari pergaulan karena harus menghindar dari teman-teman kamu. Ibu sudah perhatikan sejak awal sekolah, kamu tidak pernah mau berteman sama siapapun, Gianna Jun itu pernah ajak kamu berteman kan?"

Aku terkejut Ibu Lana mengetahuinya, dan sepertinya karena Nasya mengangguk, Bu Lana melanjutkan ucapannya.

"Kenapa tidak mencoba berteman sama dia? Gianna kan baik anaknya."

"Banyak yang ga suka sama saya Bu, nanti Gianna jadi kena masalah karena saya, saya gak mau."

"Nasya ...."

"Nanti kalau dia tahu Ayah saya suka mukul saya, dia juga bakal jauhin saya."

"Tidak semua orang begitu, Nasya."

"Tapi Gianna juga gak berusaha berteman sama saya, Bu. Kalau dia mau, dia bisa berusaha dua kali."

Bu Lana terdiam, begitupun aku. Aku menutup pintu pelan-pelan dan berjalan ke perpustakaan. Nasya benar, aku tidak berusaha dua kali untuk memintanya berteman, aku bahkan berpikir untuk tidak ikut campur, berpikir bahwa dia nyaman sendirian. Di balik semua sikap diamnya, Nasya hanya khawatir teman-temannya tahu perilaku ayahnya. Aku mulai berpikir bahwa selama ini aku pun juga sebenarnya tidak ingin berkawan dengannya.

    Zanna menatapku heran saat aku kembali ke kelas dan langsung duduk dengan tegang, mungkin ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk Nasya.

"Ayo kita berteman dengan Nasya," kataku tersenyum.

Hyuna yang baru saja sampai dari luar menjatuhkan ice americano yang entah dibelinya di mana, ia menatapku tidak percaya, Jina bahkan membanting ponselnya dengan keras ke atas meja, lalu ikut menatapku seperti Zanna dan Hyuna.

Benar kata Nasya, aku tidak berusaha dua kali, kalau begitu sekarang aku akan berusaha, bukan dua kali, tapi tiga kali, empat kali, bahkan seratus kalipun. Karena berkawan itu menyenangkan.

***

Diketik setelah mengalami pengkhianatan dari seorang teman.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top