Pagi-pagi sekali Calla sudah ada di sekolah. Arlojinya baru menunjukkan pukul enam. Masih banyak waktu sampai masuk kelas pukul tujuh nanti. Calla bergegas memasuki gedung sekolah, menuju perpustakaan. Anonim telah membuat Calla nyaris tidak bisa tidur semalaman. Apa yang akan dia perbuat di perpustakaan hari ini?
Lorong sekolah yang hening membuat bulu kuduk Calla merinding. Dia melangkah sedikit mengentak untuk meminimalisir keheningan. Beberapa meter dari ruang perpustakaan, Calla mengerem kakinya mendadak. Seseorang baru saja keluar dari ruangan itu. Dia berpakaian serba hitam dengan kepala ditutupi tudung hoodie. Calla seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Sedetik kemudian kedua bola mata Calla membulat. Cowok itu adalah orang yang ada dalam rekaman CCTV.
Orang itu sepertinya menyadari keberadaan Calla. Dia segera berlari sesaat setelah keluar dari ambang pintu. Calla mengejarnya, tentu saja. Akan tetapi, dia kehilangan jejaknya di lorong yang terlalu banyak. Calla bingung harus belok kiri atau kanan. Instingnya menyuruh dia berlari ke kanan. Namun sampai dirinya keluar dari gedung, Calla tetap kehilangan orang itu.
Calla mengatur napasnya yang terengah. Dia masih belum beruntung kali ini. Lebih baik kembali saja ke perpustakaan, mencoba mencari petunjuk tanpa menunggu teman-temannya datang.
Meski ruangannya sudah dibuka, tetapi pustakawan di sana belum kelihatan. Calla jadi punya kesempatan lebih leluasa. Dia bisa menyisir setiap sudut tanpa menimbulkan kecurigaan. Calla kemudian tertegun. Dia celingukan ke kiri-kanan. Di tempat ini pasti ada CCTV juga. Akan lebih mudah dia menemukan petunjuk itu kalau melihat rekamannya.
"Ah, lupakan. Enggak membantu sama sekali." Calla mendesah teringat ucapan Raihan yang katanya mereka tidak diizinkan melihat rekaman CCTV lagi.
Beberapa menit berlalu dan Calla masih belum menemukan apa pun. Dia menyerah, kemudian menghubungi teman-temannya agar cepat datang. Dia juga buru-buru keluar sebelum pustakawan masuk ke sana. Calla menunggu di beranda yang cukup jauh dari pintu sambil menatap layar ponsel, memantau balasan chat dari teman-temannya.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara langkah yang mendekat dari arah belakang. Calla menoleh dan mendapati Juna sedang berjalan ke arahnya.
"Kamu sudah lama di sini?" tanya Juna.
Calla cengengesan. "Begitulah. Tapi aku belum menemukan apa pun. Makanya minta kalian cepat datang."
Juna manggut-manggut. Calla termangu melihat wajah Juna. Cowok itu terlihat kebingungan dan bertanya, "Kenapa?"
"Hidung kamu keringatan."
"Oh, ya?" Juna mengusap hidungnya. "Aku lari, soalnya kamu nyuruh cepat-cepat."
Calla mengangguk. Juna lari dari mana sampai berkeringat segala? Kedatangan Raihan dan Meysha mengalihkan perhatian Calla.
"Kamu sudah dapat petunjuknya?" tanya Raihan tanpa basa-basi.
Calla menggeleng. "Tapi aku berhasil menangkap pelakunya."
"APA?!"
Ketiga temannya kompak bertanya tak percaya. Mereka terlihat sama-sama terkejut.
"Kamu berhasil menangkap dia? Di mana dia sekarang?" Meysha mengguncang lengan Calla.
"Dia berhasil kabur." Calla tertunduk lesu. Tangan Meysha merosot dari lengannya.
"Itu, sih, bukan berhasil namanya," cibir Raihan.
"Yang penting aku sudah lihat sosoknya dengan lebih jelas." Calla berkilah.
"Kamu lihat wajahnya?" Meysha bertanya lagi.
Calla menggeleng. "Dia pakai tudung hoodie. Wajahnya enggak kelihatan dari samping. Penampilannya sama persis seperti yang kita lihat di rekaman CCTV waktu itu."
"Benarkah?" Juna mengangkat alis.
"Aku rasa dia bukan informan seperti kata Meysha." Calla menggaruk dagu. "Tapi dia orang yang sama dengan pelaku perusak tugu itu."
"Masa, sih." Meysha bergumam, tetapi masih terdengar oleh Calla.
Calla berdeham. "Sudahlah. Nanti saja kita bahas lagi. Sekarang cari dulu petunjuknya mumpung masih ada waktu sebelum masuk."
Mereka berempat pergi menuju ruang perpustakaan. Di dekat pintu, mereka berpapasan dengan seorang wanita yang merupakan pustakawan di sana.
"Pagi-pagi sudah ke perpustakaan. Rajin sekali." Wanita itu berkata ramah.
"Kami harus cari buku untuk bahan tugas." Raihan menjawab seraya tersenyum.
Wanita itu manggut-manggut dan mempersilakan mereka. Keempatnya berpencar menuju rak yang berbeda. Calla menyisir tempat yang sepertinya belum dia periksa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa juga di sana. Setiap celah sudah diperiksa, tetap saja hasilnya nihil.
"Masa aku harus buka bukunya satu-satu, sih?" Calla bergumam sebal.
Tiba-tiba seseorang menarik tangannya. Juna. Dia membawa Calla keluar dari lorong rak, kemudian memberi kode pada Meysha dan Raihan untuk ikut keluar juga. Mereka berhenti di beranda perpustakaan. Juna menunjukkan sesuatu di tangannya.
"Wah, kamu dapat dari mana?" Meysha melongo takjub.
"Dari rak buku astronomi."
"Asrtronomi?" Calla bertanya memastikan, dan Juna mengangguk sebagai jawaban.
Calla mengeluarkan buku catatan kecil dari saku jas, lengkap dengan bolpoinnya. Dia segera menuliskan petunjuk itu di buku catatan. Calla tertegun ketika merasa diperhatikan. Benar saja. Ketika dia mengangkat kepala, ketiga temannya sedang menatap heran.
"Kamu ngapain?" tanya Raihan.
"A-aku sedang mencatat."
"Apa yang kamu catat?"
"Buku astronomi."
"Wah, kamu orangnya detail sekali, ya?" Meysha terkagum-kagum.
"Karena petunjuk yang dia berikan di kertas hanya sebatas itu, aku rasa dia akan memberi kode melalui hal-hal kecil yang mungkin akan luput dari perhatian. Kita gak boleh melewatkan apa pun."
Meysha dan Raihan bertepuk tangan sambil geleng-geleng.
"Kamu benar-benar merasa jadi Conan, ya, sekarang?" ujar Raihan terdengar meledek.
Calla berdecak. "Sudahlah. Cepat buka amplopnya," kata Calla sambil memasukkan kembali catatannya ke dalam saku.
Juna membuka amplop dan mengeluarkan kertasnya. Ketika dibuka, terlihat kode pramuka yang berbeda lagi dengan sebelumnya.
"Wah, sekarang pakai kode morse." Raihan berdecak. "Aku rasa dia memang seseorang yang identik dengan pramuka."
"Benar. Kita harus ingat detail ini." Calla menanggapi.
"Coba baca, apa katanya?" Meysha melongok pada kertas itu.
"L-o-k-e-r-0-8-1-4." Juna mengeja kodenya.
Calla buru-buru mengambil buku catatannya. Sedikit dongkol karena lupa catatannya malah dimasukkan lagi. Dia buru-buru menuliskan kata yang diucapkan Juna.
"Loker 0814?" kata Meysha. "Memangnya ada loker dengan nomor seperti itu?"
Calla termenung mengamati tulisannya. Beberapa saat kemudian, dia menunjukkan buku catatan itu pada teman-temannya.
"Kalau ditulis seperti ini malah terlihat seperti tanggal. Benar, kan?" tanya Calla.
"0814. Tanggal delapan bulan empat belas," ujar Raihan.
"Kebalik, Bambang!" Meysha menyikutnya.
"Empat belas Agustus. Hari pramuka. Pramuka lagi." Calla mendesah, kemudian tersentak dan menoleh pada Juna. "Bukannya itu tanggal lahir kamu?"
Kini giliran Juna yang tampak terkejut. "Heh? O-oh ... iya."
"Dia menaruh petunjuk selanjutnya di loker Juna?" Meysha menatap teman-temannya bergantian.
"Bisa jadi." Raihan bergegas pergi lebih dulu. Mereka buru-buru mengejarnya.
Tiba di kelas, Juna langsung membuka lokernya. Namun, tidak ada apa-apa di sana. Hanya terlihat buku-buku. Bahkan ketika Raihan membukanya satu per satu, tidak ada apa pun yang terselip di sana. Mereka berempat terdiam merenung lagi.
"Mungkin bukan ke sana maksudnya," ujar Juna.
"Iya. Kita harus coba kemungkinan lain." Meysha menimpali.
"Apa lagi, ya?" Calla menatap catatannya.
"Apa dia menaruhnya di setiap loker yang ada dalam angka-angka itu?" tanya Meysha.
"Enggak ada loker bernomor nol. Kalau delapan, satu, atau empat pasti ada. Tapi masa dia menaruhnya di tempat sebanyak itu?" Calla memijit keningnya.
"Bagaimana kalau angkanya dijumlahkan?" tanya Juna.
Calla merenung sejenak, lalu pupilnya melebar. "Tiga belas. Loker siapa yang nomornya tiga belas?"
"A-aku ...." Raihan menjawab ragu. "Tapi kenapa aku?"
"Jangan-jangan ...." Meysha memandang Raihan.
"Jangan-jangan apa?!" Raihan menyolot.
"Kamu menaruhnya sendiri di sana. Siapa tahu?"
Raihan mendesah. "Ah, dasar cewek ini! Konsisten sekali, ya, menuduhku?"
"Kalau waktu kalian debat dipakai jalan mungkin kita udah sampai di kelas itu." Calla berujar sebal dan menerobos kerumunan teman-temannya.
Mereka akhirnya pergi memeriksa loker Raihan. Benar saja, mereka menemukan amplop yang sama di sana. Ditulis menggunakan semaphore. Kedua alis Raihan nyaris bertemu ketika membacanya.
"Apa-apaan ini?" kata Raihan.
Juna segera merebut kertas itu dan membacanya dengan suara lebih keras.
"Sampai jumpa."
"Sampai jumpa?" Calla mengerutkan dahinya.
"Dia bilang apa?" Meysha melongo.
"Aaaaa bikin kesal saja!" erang Raihan sambil meninju pintu loker.
"Oh, astaga! Kepalaku rasanya mulai ngebul." Meysha mengipasi wajahnya dengan tangan. "Dia pikir ini lelucon? Dia mau mempermainkan kita?"
"Aaaaa terserahlah! Aku mau jadi rumput aja." Raihan berjongkok sambil menjambak rambutnya sendiri.
Calla terduduk lemas di kursinya seperti orang kehilangan sukma. "Kuya pengangguran macam apa dia? Aku menyerah sajalah," katanya.
Meysha mengangkat tangan. "Aku juga. Lagi pula pelakunya cowok. Kalian berdua saja yang tangkap dia kalau mau nama kalian bersih." Meysha menunjuk Raihan dan Juna bergantian.
Raihan mengerang lagi di tempatnya. Kini kakinya berselonjor di lantai. Sementara itu, Juna hanya garuk-garuk kepala sambil menyandarkan punggungnya ke pintu loker.
"Dia, kan, baru bilang sampai jumpa. Bukan selamat tinggal. Mungkin dia akan kembali," ujar Juna.
"Hei!" Raihan berteriak sambil mendongak pada Juna. "Kita ini dikejar deadline."
Juna membuang napas. "Kalau begitu buat dia mengaku secara sukarela, bukannya menyusahkan orang seperti ini."
"Oh, ya. Tentu saja dia harus menyerahkan dirinya sendiri."
Juna dan Raihan bertatapan sengit. Calla memperhatikan keduanya. Firasatnya mengatakan ada sesuatu yang aneh di antara mereka berdua. Kecurigaannya pada Raihan bukan main-main. Namun, sekarang Juna malah terlihat sama mencurigakannya.
"Ngomong-ngomong ... Pak Daniel kerjanya apa selama ini?" Meysha mencairkan suasana yang sempat agak tegang. "Dia belum membantu lagi."
"Mungkin Pak Daniel sedang berusaha menyelinap ke ruang keamanan," jawab Calla asal-asalan.
Tiba-tiba suara orang mengobrol mengalihkan perhatian mereka berempat. Mereka kompak menoleh ke depan. Tampak dua orang siswa yang baru saja masuk ke kelas. Calla mengenalnya, tentu saja. Mereka adalah Angga dan Bima.
"Kamu tahu dari mana?" tanya Bima.
"Gosipnya udah menyebar. Sekarang anak-anak terbagi jadi dua kubu yang pro dan kontra. Satunya mendukung si pemberontak, satunya lagi menentang."
"Kalau dia melakukannya demi membela kebenaran, aku juga mau jadi kaki tangannya."
"Hus! Kalau mau ikut-ikutan kena masalah seperti Raihan dan teman-temannya coba saja."
Keduanya kemudian terbahak. Barulah ketika mereka berjalan menuju kursinya masing-masing, keduanya langsung membisu. Mereka baru sadar kalau sejak tadi ada empat pasang mata yang mengawasi di belakang.
"Mau coba bergabung?" tanya Raihan membuat dua anak cowok itu saling bertukar pandang.
_______________
Anonymous Code, winaalda©2020
All Right Reserved
10 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top