8. Sandi Kotak Dua

Juna menyantap bekal makan siangnya sambil berulang kali menghela napas panjang. Dia tidak habis pikir kenapa acara makan siangnya yang biasa tenang kini berubah rusuh. Pasalnya, Calla membawa serta Raihan dan Meysha. Gadis itu membawa bekal yang lumayan banyak dan bisa dia bagi-bagi. Katanya buatan Bi Mumun. Calla tidak mau bekalnya berakhir dibawa pulang lagi seperti tempo hari. Mereka makan siang di gazebo taman yang biasa dipakai oleh Juna.

"Kamu sering bawa bekal?" tanya Meysha pada Calla.

Calla menggeleng. "Enggak juga. Tadinya coba-coba ikutan Juna. Ternyata lebih seru makan bekal sendiri daripada di kantin."

Meysha manggut-manggut, lalu menoleh pada Juna di sebelahnya. "Jadi kamu sering bawa bekal?"

"Dia selalu bawa bekal dari dulu. Juna sudah pandai memasak sejak SMP." Calla menyahuti.

"Wah, kalian sudah berteman selama itu?" Meysha melongo takjub.

Calla menjawabnya dengan anggukan sambil tersenyum.

"Tapi ngomong-ngomong ...." Meysha kembali berujar, " ... kenapa nama panggilan kamu Juna? Kenapa enggak Rafka atau Arjuna?"

Juna tertegun. Nasi yang hendak dia masukkan ke dalam mulut mengambang di udara. Secepat kilat ingatannya kembali ke masa lalu. Ketika pertanyaan yang sama dilontarkan padanya, lalu seseorang menjawab, "Karena dia gak bisa nyebut huruf R."

"Memangnya itu penting?" Suara Raihan mengalihkan perhatian Juna. "Orang-orang juga gak peduli nama panggilan kamu Meysha atau Delisa."

"Divya. Meysha Divya." Meysha menunjukkan papan namanya dengan wajah kesal.

"Ya, pokoknya itulah." Raihan kembali makan seolah tidak punya salah apa-apa.

Meysha berdeham. "Lain kali aku juga mau bawa bekal, ah." Cewek itu seperti sedang mengalihkan pembicaraan.

Calla mengacungkan jempol ke wajah Meysha. "Nanti kita makan bareng lagi."

"Iya, bawa yang banyak." Raihan menimpali, lalu mendapat delikan dari dua teman ceweknya.

"Juna, kenapa kamu diam saja? Kamu gak sariawan, kan?" tanya Meysha heran.

Juna berdeham. Kedua pipinya kini mengembung. Dia mau menjawab, tetapi kesulitan.

"Ah, ya sudah. Makan sajalah," kata Meysha terkekeh.

"Ngomong-ngomong ... kenapa Anonim memberikan kita petunjuk?" tanya Calla membuat teman-temannya menoleh kompak.

"Anonim?" Meysha mengangkat alis.

"Orang yang menaruh surat di lokerku itu."

Meysha manggut-manggut, lalu mendesah. "Itu, sih, bukan petunjuk namanya. Dia cuma bilang hello sama welcome. Enggak membantu sama sekali."

"Dia belum ngasih surat lagi?" tanya Raihan memandang Calla.

Calla menggeleng. "Enggak ada. Lagian kenapa tanya aku? Siapa tahu malah ada di loker kalian sekarang."

"Jun, apa di kelas kamu ada sesuatu yang mencurigakan?" tanya Meysha menoleh pada Juna.

Juna terdiam sejenak. "Misalnya?"

"Seperti ... desas-desus buruk tentang sekolah ini."

Juna menghela napas. "Desas-desus mah pasti ada."

"Tapi akan tertutupi dengan citra baik sekolah ini." Raihan menambahkan.

"Tahu kenapa sekolah ini namanya Wijayamulya?" Raihan mencari posisi duduk ternyaman sebelum kembali bercerita. "Wijayamulya itu nama lain dari bunga wijayakusuma."

"Terus apa masalahnya?" tanya Meysha.

"Konon, menurut mitologi Jawa, bunga itu bisa menghidupkan orang mati. Sama dengan filosofi sekolah ini. Dengan program beasiswanya, mereka ingin menghidupkan mimpi yang mati."

Bola mata Meysha berputar-putar. "Maksudnya?"

Raihan menghela napas. "Kamu ini kadang kelihatan cerdas, tapi kebanyakan enggak."

Meysha memukul lengan Raihan. "Kalau mau jelasin enggak perlu sambil ngeledek juga!"

Calla terbahak. Juna menggigit bibir menahan tawa.

"Program beasiswa di sini ada dua macam." Raihan melanjutkan. "Satu untuk siswa berprestasi, kedua untuk siswa kurang mampu. Katanya, sih, untuk memerangi angka putus sekolah gitu. Biar yang mau masuk negeri tapi terhalang zonasi, terus masuk swasta terhalang biaya, masih bisa sekolah."

"Tetap saja yang gratis cuma biaya operasional sekolah sama seragam. Makanannya tetap bayar." Meysha mencebik.

"Kamu ini enggak bersyukur banget! Kalau enggak mau bayar makanan di kantin, kan, bisa bawa bekal," cerocos Raihan.

Meysha menegakkan kepala. "Iya juga. Apa Juna bawa bekal buat menghemat biaya juga?" Gadis itu menoleh pada Juna.

Juna seketika terbatuk. Dia menoleh pada Meysha yang memandangnya tanpa rasa bersalah. Juna kemudian mengangguk patah-patah. "Y-ya ... begitulah."

"Menghemat biaya apanya? Juna bisa membeli semua makanan di kantin kalau mau." Calla tertawa, tetapi hanya sebentar. Juna keburu menatapnya, dan Calla seketika terdiam.

"Benarkah? Apa Juna seorang putra mahkota yang menyamar jadi rakyat jelata?" Meysha membulatkan matanya.

Calla tidak menjawab. Dia menyantap makanannya tanpa mengangkat kepala lagi. Suasana berubah canggung. Juna melihat Meysha yang memandang Calla dengan wajah bingung. Juna kemudian membuang muka ketika Meysha beralih memandang ke arahnya. Mereka terdiam untuk beberapa saat.

"Cepat habiskan makanannya," ujar Raihan.

Juna menghela napas mengaduk-aduk makanannya. Dia menoleh pada Raihan ketika merasa anak itu sedang memandang ke arahnya. Namun ketika Juna menoleh, Raihan sudah membuang muka.

Mereka mengemasi kotak bekalnya setelah selesai makan. Juna pamitan pergi lebih dulu. Ketika memasuki gedung kelas, Calla menjajari langkahnya. Juna hanya menoleh sebentar dan kembali fokus pada jalan yang dia lalui.

"Jun." Calla berujar sambil menarik sedikit rompi Juna.

Juna menghentikan langkah dan menoleh. "Kenapa?"

Calla menunduk dan menggaruk tengkuknya. Dia terlihat gelisah. "I-itu ... a-anu ... maaf."

Juna menghela napas, paham ke mana arah pembicaraan Calla. Namun, dia pura-pura tidak mengerti. "Minta maaf buat apa?"

Calla terdiam sejenak. "Sepertinya tadi aku salah ngomong."

"Enggak sepenuhnya salah, kok."

Calla mengangkat kepala menatapnya.

"Cuma ... kamu juga tahu aku gak suka membahasnya."

"Aku akan lebih menjaga mulutku."

"Maaf. Apa kamu terbebani?"

Calla buru-buru menggeleng. "Enggak sama sekali, kok. Kenapa aku harus terbebani?"

"Sepertinya aku terlalu egois, ya, minta orang lain untuk menjaga perasaanku?" Juna tersenyum hambar.

"Jun ...." Calla berujar lirih.

Juna tidak menanggapinya lagi. Dia berbalik dan melanjutkan langkah menuju kelas. Bel masuk berbunyi tak lama setelah dia duduk di kursinya. Pembelajaran kembali dimulai. Semua orang fokus mengikuti pelajaran, kecuali Juna. Dia menatap kosong punggung seseorang yang ada di hadapannya. Suara guru di depan sana tidak ada yang masuk ke dalam kepala. Seolah hanya memantul ke daun telinga.

Beberapa saat kemudian, Juna mendesah. Mengusap wajah dan berusaha mengajak dirinya untuk berkonsentrasi. Akan tetapi, getar ponsel di saku celananya mengalihkan perhatian. Calla mengirim sebuah foto di dalam grup obrolan yang sempat dibuatnya beberapa hari lalu. Sebuah petunjuk baru, ditulis menggunakan sandi kotak dua. Besok. Perpustakaan. Hanya dua kata itu saja. Juna terdiam mengamati ketiga temannya saling menyahuti.

Raihan : Cie ... dia ngajak kamu ketemuan?

Meysha : Kenapa harus besok? Kenapa gak hari ini aja?

Calla : Dia seperti sedang mengulur waktu. Tapi buat apa?

Meysha : Apa dia masih kekurangan informasi?

Calla : Kekurangan informasi apa? Memangnya dia mau menunjukkan apa? Tinggal mengaku saja, kan?

Meysha : Enggak. Aku merasa Anonim bukan pelakunya. Dia cuma informan.

Calla : Hah?

Raihan : Wah, kamu tahu dari mana? Jangan-jangan kamu kaki tangannya Anonim, ya? Atau kaki tangan si pelaku?

Meysha : Aku punya intuisi yang hebat.

Juna menggigit kuku jempolnya. Dia memandang ke depan, memastikan guru di sana tidak sedang melihat ke arahnya. Juna kemudian kembali mengamati ponselnya. Obrolan sudah keluar dari topik. Raihan malah mengirimkan foto seseorang sedang tidur di kelasnya. Calla memungkas obrolan mereka dengan mengajak semuanya untuk berkumpul sebelum pulang.

Beberapa waktu berlalu. Sekolah dibubarkan saat menjelang asar. Siswa yang muslim biasanya akan melakukan salat Asar terlebih dahulu di musala sekolah sebelum pulang. Sambil menunggu waktu Asar tiba, mereka berempat berkumpul di lorong yang sudah sepi.

Calla menunjukkan kertas yang kembali dia temukan di lokernya. Sama seperti sebelumnya, masih denyan kertas purih dibalut amplop berwarna merah jambu, dan ditulis dengan tinta merah. Raihan sampai berujar heran,

"Apa dia cewek? Kenapa amplopnya imut begini?"

"Apa dia anak pramuka?" Meysha menyahuti, teman-temannya kompak menoleh.

"Pertama dia menulis di tembok ruang ekskul pramuka, lalu dia mengirim kode pramuka," lanjut Meysha.

"Semua orang di sini juga anak pramuka," sanggah Raihan. "Itu, kan, ekskul wajib."

"Tapi masuk akal juga," kata Calla. "Mungkin pramuka lebih merepresentasikan dirinya."

"Maksud kamu ... dia seseorang yang sangat identik dengan pramuka?" Raihan mengangkat alis, dan Calla mengangguk sebagai jawaban.

Juna berdeham. "Ngomong-ngomong, kenapa kamu berpikir Anonim adalah informan?" tanyanya seraya menoleh pada Meysha.

Meysha menggaruk dagunya. "Eng ... itu ... aku cuma merasa kalau dia memang pelakunya, gak mungkin dia memberikan petunjuk untuk menangkap dirinya sendiri, kan?"

Juna manggut-manggut. Alasannya bisa diterima juga.

"Tapi kalau dia punya maksud lain, bisa saja dia sengaja ingin ditangkap," sahut Raihan.

Juna menoleh pada Raihan.

"Benar juga. Kalau informasi yang waktu itu benar, bisa jadi dia memang sengaja supaya bisa buka suara." Calla menimpali.

"Informasi apa?" Juna bertanya pada Calla.

"Ada gosip yang mengatakan kalau sekolah ini enggak beres," jawab Calla.

"Kamu kenal Rania Julia?" tanya Meysha membuat Juna menoleh. "Aku gak yakin yang bicara waktu itu dia atau bukan, tapi dia ada di sana. Kalau kita minta keterangannya mungkin akan membantu."

"Aku dengar cewek itu suka sama kamu," ujar Raihan. Juna menoleh padanya. "Mungkin kamu bisa manfaatkan momennya."

"Dari mana kamu tahu? Hei! Kamu stalker, ya?" kata Calla yang lebih terdengar seperti sedang menuduh.

"Memangnya pekerjaan kita saat ini apa kalau bukan stalker?" Raihan menjawab sebal.

"Kenapa aku harus pakai cara murahan seperti itu?" tanya Juna sinis. Raihan hanya menatapnya sambil menghela napas.

"Juna benar. Jahat kalau Juna tiba-tiba mendekati Rania cuma untuk memanfaatkan dia," bela Meysha.

"Kalau begitu terserahlah." Raihan melengos.

Mereka berempat akhirnya saling diam. Tahu-tahu suara azan sudah berkumandang. Mereka beranjak dari duduknya dan pergi ke musala, bergabung dengan siswa lain untuk salat berjamaah.

Selesai salat, Juna menenteng sepatunya ke sebuah kursi panjang yang ada di serambi samping musala. Dia memakainya di sana. Ketika sedang menalikan sepatu, Juna melihat kaki seseorang berjalan di hadapannya. Orang itu duduk di sampingnya. Juna tidak peduli sebelum orang itu akhirnya bicara.

"Hei! Kamu beneran mau melepaskan Rania? Padahal dia berpotensi jadi informan yang bagus, kan?" kata Raihan.

"Kalau mau, kamu saja sana!"

"Tapi kalian sudah saling kenal. Beda sama aku yang ujug-ujug. Mencurigakan, dong?"

"Kenapa kamu terus mengajakku bicara, sih?"

Raihan berdecak. "Kamu segitu enggak maunya, ya, bicara sama aku? Aku juga malas bicara sama kamu kalau masalahnya gak penting."

Juna menegakkan tubuhnya dan menatap Raihan. "Kamu sudah selangkah melanggar kesepakatan. Enggak. Mungkin dua atau tiga langkah."

Raihan mendengkus. "Setinggi itu, ya, harga diri kamu?"

Raihan beranjak pergi dengan wajah kesal setelah selesai menalikan sepatunya. Juna menghela napas sambil memijit keningnya. Mood-nya benar-benar jelek dimulai sejak makan siang tadi.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

09 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top