4. Hello

Juna menenteng tas bekal di area halaman depan. Dia sempat tertegun memandang tugu yang kini sudah kembali ke bentuk semula. Kalau malam tiba, huruf-huruf yang membentuk nama sekolahnya itu akan kembali menyala dengan cahaya putih. Juna kemudian menoleh ke arah tiang CCTV beberapa meter di belakangnya. Sepertinya benda itu juga sudah diperbaiki.

Juna berbalik dan kembali melanjutkan langkah, menuju salah satu gazebo yang ada di taman. Dia duduk di salah satu kursi terbuat dari semen yang dipasang melingkar mengelilingi meja kayu bulat di tengahnya. Juna membuka kotak bekalnya dan makan sendirian. Baru suapan ketiga, seseorang datang menghampirinya. Juna berhenti mengunyah dan memandang orang itu dengan pipi mengembung.

"Aku boleh gabung, ya?" Calla duduk di hadapannya.

Juna hanya mengangguk sebagai jawaban dan melanjutkan makannya. Melihat Calla yang juga membuka kotak bekalnya, Juna tertegun.

"Kamu gak makan di kantin?" tanya Juna.

Gadis itu menggeleng. "Enggak. Aku lagi belajar masak. Jadi aku coba bawa bekal."

Juna mengangguk. Calla menaruh sepotong telur gulung di kotak bekal Juna. Juna menoleh padanya dan Calla tersenyum lebar.

"Cobain," kata gadis itu.

Juna langsung melahapnya, lalu terdiam sedetik kemudian. Calla memandangnya heran. Juna terbatuk kecil dan buru-buru menyuapkan nasi sesendok penuh ke mulutnya.

"Kenapa? Enggak enak, ya?" tanya Calla.

"Enak, kok." Juna berdeham. "Cuma ... agak keasinan."

"Heh? Masa?"

Calla buru-buru mencoba miliknya, memutar-mutar bola mata sambil mengunyah. "Yang ini enggak, kok," katanya.

"Mungkin garamnya ngumpul di sini." Juna menunjuk mulut. Maksudnya telur yang sudah dia telan.

Calla tertawa meringis. "Kayaknya aku harus les masak sama kamu."

Juna memandang Calla. Beberapa detik kemudian, gadis itu berdeham dan membuang muka.

"Tapi wajar, sih. Aku, kan, baru belajar masak sekarang." Calla membela diri. "Beda sama kamu yang udah biasa masak sendiri dari lama."

Tangan Juna yang hendak menyendok nasi tiba-tiba berhenti. Juna menghela napas, lalu melanjutkan makannya.

"Kamu gak mau coba makan di kantin? Makanan di sini enak, kok." Calla berujar lagi.

Juna tidak menjawab. Dia hanya fokus pada makanannya.

"Sebenarnya aku penasaran kenapa kamu gak suka makan di kantin," kata Calla.

"Aku cuma gak suka di sana. Terlalu ramai."

"Kamu ini whalien atau apa?" Calla berdecak.

Keduanya kemudian makan dalam diam. Juna memandang Calla yang terlihat tidak nafsu memakan masakannya sendiri. Dia kemudian menyodorkan kotak bekalnya pada Calla membuat gadis itu menoleh.

"Mau makan punyaku aja?" tanya Juna.
Calla cengengesan. "Enggak usah. Aku makan ini aja."

"Enggak usah memaksakan diri."

Calla tersenyum tipis, lalu menyendok makanan dari kotak bekal Juna. Mereka akhirnya menghabiskan isi kotak bekal Juna berdua.

Mereka mengemasi kotak bekalnya setelah selesai makan. Hujan yang tiba-tiba turun mengejutkan keduanya. Calla bangun dari duduknya seraya melihat arloji.

"Ya ampun, kok hujan, sih?" kata Calla.

Juna ikut melihat arlojinya. Jam makan siang hampir habis. Sebentar lagi bel masuk kembali berbunyi. Keduanya berdiri di gazebo memandang hujan yang lumayan deras, merapat ke meja menghindari tempias. Sampai bel akhirnya berbunyi, hujannya belum juga reda. Namun, sudah tidak terlalu deras seperti tadi.

"Aduh, gimana ini?" Calla menoleh gelisah pada Juna. "Kamu gak bawa payung?"

Juna menggeleng. "Enggak."

"Udah bel. Masa kita terobos hujannya?"

Juna melepas jas dan memberikannya pada Calla. "Pakai ini aja."

Calla menerima jas itu dan memandang Juna keheranan.

"Enggak membantu, sih. Tapi lumayan," kata Juna.

"Terus kamu gimana?"

"Aku enggak apa-apa."

Juna kemudian berlari lebih dulu menorobos rinai hujan. Kaki panjangnya membuat Juna bisa lari dengan cepat. Meski begitu, dia cukup kebasahan ketika tiba di gedung kelas. Juna mengacak-acak rambut yang basah, membuat anak-anak perempuan yang dilewatinya di lorong menatap sambil senyum-senyum. Juna balik menatap mereka keheranan.

"Jun!"

Juna menoleh ke belakang mendengar seruan Calla. Gadis itu datang berlari ke arahnya.

"Basah, deh." Gadis itu memandang jas milik Juna. "Nanti aja aku balikin, setelah aku cuci."

"Enggak usah." Juna mengambil jasnya.

"Tapi ...."

"Beneran enggak usah." Juna tersenyum, meyakinkan.

Mereka akhirnya berjalan bersisian, menimbulkan bisik-bisik setiap orang yang mereka temui di sepanjang lorong. Namun, keduanya tidak peduli. Sudah terbiasa seperti itu. Mereka menaiki tangga menuju lantai dua. Keduanya berpisah dan menuju kelas masing-masing.

Juna duduk di kursinya yang berada paling belakang dekat jendela. Dia bisa melihat pemandangan hujan yang jatuh menimpa paving block di halaman depan. Seorang guru memasuki kelas hingga membuat suasana hening. Hanya terdengar hujan di luar sana. Semua siswa bersiap mengeluarkan alat tulis masing-masing.

Juna tiba-tiba ingat dengan perkataan Pak Daniel tentang nilainya. Dia menatap Pak Hari yang tak lain adalah wali kelasnya tengah berdiri di depan. Seperti biasa, pria itu mengajar layaknya guru lain. Sesekali dia bercanda dan mengundang gelak tawa seisi kelas. Tidak ada rasa bersalah. Tidak mencurigakan sama sekali, berbeda dengan pernyataan Pak Daniel.

Tak terasa bel pergantian pelajaran sudah berbunyi lagi. Getar ponsel di saku celana mengalihkan perhatian Juna sebelum dia sempat mengambil buku lain dari dalam tasnya. Calla mengirim pesan yang membuat pandangannya menajam. Tanpa ba-bi-bu, Juna memelesat ke luar kelas.
Juna berlari sepanjang koridor, berbelok dari lorong satu ke lorong lain dan naik ke lantai tiga. Sebuah ruangan ekskul pramuka menjadi tujuannya. Tiba di sana, Calla sudah bersama Raihan dan Meysha, ditambah beberapa anak lain yang tampak kebingungan. Juna terdiam memandang tembok di belakang ruangan. Tampak deretan huruf membentuk kata "HELLO" ditulis menggunakan cat semprot berwarna merah.

"Wah, dia udah ketahuan, mau sekalian menyapa juga?" ujar Meysha membuat Juna, Calla, dan Raihan menoleh.

"K-ketahuan? Kamu ...." Calla tidak melanjutkan kata-katanya dan menoleh pada Juna. Tatapannya seolah meminta penjelasan.

"Bukannya cowok itu udah ketahuan?" tanya Meysha.

Calla memandang Juna lagi setelah sempat menoleh pada Meysha sebentar. Juna hanya bisa garuk-garuk tengkuk.

"Dia lumayan berani juga." Kini Raihan yang berujar.

Tatapan Calla pada Juna semakin mengintimidasi. Juna membuang muka dibuatnya. Meski begitu, Calla tidak berkomentar apa-apa.

Suasana tiba-tiba jadi riuh. Makin banyak orang yang berkumpul di tempat itu. Sepertinya pesan berantai yang diterima Juna dari Calla juga mereka dapatkan. Beberapa saat kemudian, bahkan beberapa orang guru juga datang. Ada Pak Daniel di sana yang menerobos kerumunan dan berdiri di samping empat siswa yang kini jadi kandidat tersangka.

"Apa-apaan ini? Apa ini pesan dari pelakunya?" tanya Pak Daniel memandang mereka berempat.

Juna dan teman-temannya kompak menggeleng. Hanya menatap temboknya tak habis pikir. Pak Hari menghampiri tembok itu dan memeriksa. Beberapa saat kemudian, dia kembali.

"Kita harus segera memanggil tukang untuk mengecat kembali temboknya," ujar Pak Hari pada Pak Daniel.

Pak Daniel mengangguk mengiakan. Dia memandang Pak Hari yang keluar lebih dulu tanpa berniat ikut juga. Lebih memilih tetap berada di samping empat anak didiknya yang kini mulai gelisah. Guru-guru yang masih di sana menyuruh semua siswa untuk keluar. Hanya Pak Daniel dan empat siswanya yang tetap bertahan. Suasana sudah hening kembali, tetapi justru malah terasa menegangkan.

"Apa maksudnya dia bilang hello segala?" ujar Calla sambil berjalan mondar-mandir.

Juna menggigit kuku jempol memandang teman-temannya yang terus bergerak gelisah. Raihan menggaruk kepala, Meysha memandang tembok, lalu menengadah seperti sedang berpikir dengan dahi mengerut.

"Sepertinya dia memang niat memberontak." Meysha berujar membuat semua orang menoleh padanya. "Lihat aja. Dia meninggalkan martilnya, dan sekarang dengan santainya menulis ini."

Pak Daniel membuang napas kasar hingga bisa terdengar. "Tapi dia memberontak atas dasar apa?"

"Mana saya tahu. Saya, kan, anak baru di sini. Harusnya Bapak yang lebih tahu."

Pak Daniel terdiam menerima tatapan keempat siswa itu. Dia kemudian tertawa kikuk.

"Benar juga. Tapi saya tidak tahu apa-apa." Pak Daniel tertawa lagi, kemudian terdiam karena mereka berempat memandangnya dengan ekspresi datar.

"Sudah, sudah. Kalian kembali saja ke kelas. Nanti kita pikirkan lagi," ujar Pak Daniel mendorong mereka keluar dari ruangan.

Mereka akhirnya pergi sesuai perintah Pak Daniel. Dia bahkan sudah berjalan lebih dulu. Juna menghentikan langkah ketika Calla menahan lengannya.

"Kamu yang bilang ke mereka kalau pelakunya udah ketahuan?" tanya Calla.

Juna terdiam sejenak sebelum menjawab. "Jangan khawatir. Mereka gak kelihatan mau mundur dari masalah ini, kok. Terutama Meysha yang kamu khawatirkan, kan?" kata Juna.

"Syukurlah." Calla mengangguk. "Aku khawatir masalahnya seserius itu ... mengingat yang kita lihat barusan."

"Gak usah terlalu dipikirkan."

"Sepertinya Pak Agus tahu lebih banyak hal makanya dia mau kita melakukannya sama-sama. Sepertinya ... firasat kamu benar. Ini berbahaya kalau gak dilakukan sama-sama"

Juna terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis sambil menepuk pundak Calla. "Udah, masuk kelas sana!"

"Ah, aku mana bisa belajar kalau sedang kacau begini?"

"Masuk aja." Juna mendorong punggung Calla menjauh.

"Iya, iya." Calla mengangguk dan pergi.

Juna juga hendak pergi, tetapi behenti setelah satu langkah. Dia kembali ke dalam ruangan dan melihat tulisan itu lagi. Kemudian, dia menyisir kamera CCTV di sana. Hanya ada satu kamera berlensa kecil yang ditempel di plafon bagian depan. Juna memandang kamera dan tembok belakang secara bergantian. Posisi kamera dan ukuran ruangan sebesar ini, benda itu diperkirakan bisa menjangkau sampai belakang, tetapi Juna tidak yakin dengan bagian samping. Karena jika jarak pandangnya jauh, maka sudut pandangnya akan lebih sempit. Juna menoleh ke pintu dan membayangkan seandainya orang itu berjalan di samping ruangan, merapat pada tembok. Apakah dia masih bisa tertangkap kamera? Eh, di lorong pasti ada kamera juga. Juna bergegas memeriksanya. Harusnya kamera yang ini bisa menangkapnya dengan lebih jelas. Dia harus meminta bantuan Pak Daniel untuk mendapatkan rekamannya.

Juna tersentak ketika menyadari kehadiran seseorang. Gilang celingukan sambil mendorong naik kacamatanya. Dia kemudian berujar, "Jun, sebenarnya ...."

Juna tidak menjawab. Dia hanya menunggu Gilang melanjutkan kata-katanya.

"Enggak jadi, deh. Lupakan." Gilang malah pergi, meninggalkan Juna yang mengerutkan dahi.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020
All Right Reserved
05 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top