29. Twogether
Raihan terlonjak saat sesuatu jatuh menimpa wajahnya. Dia celingukan, dan mendengar pintu kamar Juna ditutup. Selimut kini jatuh ke pangkuannya.
"Ah, dasar anak itu!"
Raihan membuka selimutnya, lalu tertegun saat melihat sesuatu yang tergeletak di atas sofa sebelah. Tas Juna dan sebuah map berwarna hijau. Raihan buru-buru memeriksa map itu. Dia mengerutkan dahi kerena ternyata isinya adalah daftar nilai. Matanya membeliak saat menyadari sesuatu. Dia bergegas menuju kamar Juna dan mengetuk pintunya cepat-cepat.
"Juna! Buka pintunya!" teriak Raihan.
Juna membuka pintu setelah beberapa saat. "Ada apa, sih? Berisik!"
"Ini apa?" Raihan mengacungkan mapnya. "Yang dari Pak Daniel?"
"Iya. Kenapa?"
"Isinya daftar nilai. Maksudnya apa?"
"Pak Daniel menyuruhku membandingkannya dengan nilai raporku. Itu nilai asli dari para guru."
Raihan termangu sebentar, lalu manggut-manggut. "Kalau begitu kita periksa sekarang."
"Udah malam. Tidur dulu aja sana!"
"Aku mana bisa tidur kalau penasaran."
Raihan menerobos masuk ke kamar Juna. "Di mana rapor kamu?"
"Hei! Kamu masuk sembarangan lagi!"
"Rapor kamu lebih penting daripada itu."
Juna mendengkus, lalu malas-malasan pergi menuju meja belajar. Dia membuka laci paling bawah dan mengaluarkan setumpuk dokumen. Dipilahnya dokumen itu, lalu memberikan rapor pada Raihan.
Raihan naik ke kasur dan memeriksa rapornya di sana. Juna mengikuti dan bersila di sampingnya.
"Kenapa ekspresi kamu begini? Kamu memang gak pandai berekspresi di depan kamera, ya?" Raihan terkekeh melihat foto rapor Juna.
"Kamu ke sini cuma mau mengomentari fotoku?"
Raihan menoleh sedikit dan berdeham. Dia memperbaiki posisi duduknya dan mencari nilai Juna semester kemarin. Raihan memeriksanya satu per satu, lalu dibandingkan dengan nilai asli yang diberikan Pak Daniel. Ternyata benar ada perbedaan. Yang asli 99, di rapor 98. Yang 98 malah jadi 97. Bahkan, ada yang dikurangi dua sampai tiga poin. Tidak semua mata pelajaran, tetapi dominan yang salah. Gara-gara itu akumulasi nilai Juna sampai tergeser jauh.
"Ini, sih, udah jadi bukti kuat banget. Apa yang harus kita lakukan dengan ini?" tanya Raihan.
"Kita pakai ini untuk ancaman aja dulu."
"Padahal lebih seru kalau kita kirim ke komite sekolah."
"Gimana kalau komite juga sekongkol?"
"Kalau gitu ke Dinas Pendidikan? Atau Kemdikbud sekalian? Atau ke media sosial saja biar viral?"
Juna menghela napas. "Otakmu kejauhan."
"Tapi ngomong-ngomong, apa menurut kamu cuma Irgy aja yang terlibat?"
"Entahlah. Sepertinya enggak. Tapi belum tahu pasti juga."
"Bayu udah jadi kandidat. Dia yang menempati posisi Irgy sebelumnya. Terus siapa yang menggantikan posisi Rania?"
"Gilang."
"Gilang? Aku kurang hafal anak-anak dari kelas lain."
"Dia emang kurang gaul, sih, tapi ...." Juna termangu, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. "Dia sempat mau bicara sesuatu, tapi gak jadi."
"Apa mungkin dia tahu sesuatu? Atau jangan-jangan dia mau mengaku sendiri?"
"Gak tahu apa maksudnya. Waktu aku keluar dari ruang sidang juga dia ada memandangku dari jauh."
"Wah, benar-benar mencurigakan. Haruskah kita dekati dia sekarang?"
"Aku ada, sih, nomornya."
"Langsung hubungi aja. Ajak dia ketemuan."
"Malam-malam begini? Gak sopan, tahu!"
"Besok pagi? Mumpung hari Minggu, bisa ketemu di luar."
Juna memandang Raihan sejenak, lalu mengangguk setelahnya.
"Aku ikut," kata Raihan antusias.
Juna menghela napas. "Terserahlah." Dia kemudian membaringkan tubuhnya.
Raihan memeriksa nilai Juna sekali lagi. Dia geleng-geleng tak habis pikir. "Kenapa Pak Hari sampai melakukan ini? Apa karena dia kepepet? Rania bilang anaknya di rumah sakit, kan?"
Hening. Tidak ada jawaban dari Juna. Ketika Raihan menoleh, Juna sudah memejamkam matanya.
"Kamu tidur secepat itu?" Raihan menggoyang-goyangkan tangannya di depan wajah Juna, lalu napasnya menyembur.
"Hei! Rapornya aku taruh di mana? Nanti kamu marah-marah lagi kalau aku sentuh barang-barangmu," omel Raihan. Juna masih tidak menjawab.
"Dia benar-benar tidur?" Raihan menggumam.
Raihan kemudian turun dari tempat tidur dan menyimpan rapor serta daftar nilainya di atas meja belajar. Dia memandangi deretan sticky note di tembok. Ada tempat kosong yang tampak mencolok. Tawa kecil lolos dari mulutnya.
"Jadi dia marah karena itu?" Raihan menoleh pada Juna di atas kasur. "Dibuang ke mana kertasnya?"
Raihan beralih menatap tembok lagi. Dia termangu sendiri, mengingat apa yang dibacanya tadi sore. Entah apa yang membuat Juna menulis itu. Karena tidak nyaman tinggal bersama keluarga tiri, atau perundungan yang dia terima di sekolah dulu?
Raihan menghampiri Juna di tempat tidurnya. Dia menghela napas berat. Kasihan sekali Juna. Sepertinya anak itu benar-benar menderita. Juna melampiaskan kekesalan dengan bersikap kasar padanya. Padahal, aslinya benar seperti kata Calla. Hatinya sehangat bulu kucing. Ah, bahkan cara tidurnya saja meringkuk seperti anak kucing.
"Apa kakinya gak keram?" gumam Raihan.
Raihan menarik selimut dan menutupi tubuh Juna sampai leher. Dia tertegun ketika melihat Juna meneteskan air mata, tetapi masih tenang layaknya orang tidur.
Raihan buru-buru berjongkok, memeriksa wajahnya. "Apa dia mimpi buruk?" Raihan bertanya pada dirinya sendiri, pelan-pelan.
Kepala Juna bergerak gelisah. Suara tangis tertahan terdengar oleh Raihan. Dia jadi panik sendiri.
"Aduh, gimana caranya menenangkan orang mimpi?" gumam Raihan.
Juna masih saja terlihat gelisah. Air matanya masih mengalir. Raihan menepuk-nepuk kepala Juna pelan-pelan. "Apa ini berhasil? Hah! Memangnya dia bayi!"
Raihan tertegun ketika Juna mulai tenang. Napasnya teratur. Tidak lagi terdengar suara aneh itu, meski air matanya belum mengering. Masih ada sebutir terakhir yang lolos.
"Apa-apaan? Dia benar-benar tenang." Raihan bergumam lagi.
Raihan keluar dari kamar Juna setelah memastikan anak itu baik-baik saja. Dia juga mencoba tidur di sofa, tetapi tidak langsung berhasil begitu saja. Dia kepikiran Juna terus. Apakah Juna selalu dihantui mimpi buruk setiap malam? Hidupnya tidak tenang bahkan di dalam mimpi.
Rasa bersalah tiba-tiba menggerayangi hati Raihan lagi. Juna seperti itu gara-gara dirinya. Kalau saja waktu itu dia berhasil melarang mamanya untuk menikah dengan papa Juna, semua ini tidak akan terjadi.
Raihan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Air matanya ikut-ikutan keluar. Bedanya, dia dalam keadaan sadar.
Entah pukul berapa Raihan bisa benar-benar tidur. Yang jelas, ketika mendengar keributan di dapur, rasanya dia baru saja memejamkan mata. Hampir saja dia kesiangan salat subuh. Setelah menumpang salat di kamar Juna, dia ikut pergi ke dapur.
"Kamu gak mau pulang?" tanya Juna.
"Kamu mengusirku?"
"Kalau gak mau pulang, sana bersih-bersih sekalian!"
"Heh?"
"Gak mau?"
"K-kenapa ... harus aku? Kan, bisa minta bantuan Bi Odah."
"Bi Odah udah banyak kerjaan. Kasihan." Juna pergi, tetapi berbalik lagi setelahnya. "Oh, kalau gak mau bersih-bersih, gak boleh ikut ketemu Gilang."
Raihan berdecak sebal. "Iya, aku bantu."
Juna menyerahkan alat penyedot debu pada Raihan, sementara dirinya menyiapkan sarapan. Setelah Raihan selesai membersihkan karpet dengan penyedot debu, Juna menyuruhnya ikut makan. Imbalan bersih-bersih, katanya.
"Gak usah cuci piring, nanti piringku habis," ujar Juna terdengar meledek.
Raihan mendelik dengan kedua pipi mengembung. Dia tidak berniat meladeni Juna. Kalau dia melawan, bisa-bisa Juna mengusir sebelum Raihan sempat menghabiskan makanannya. Sayang. Nasi gorengnya lebih enak dari yang semalam. Sekarang pakai udang dan cumi.
Raihan pergi dari paviliun setelah selesai makan. Ketika dia menaiki tangga menuju kamar, mamanya terdengar memanggil.
"Raihan, ayo sarapan dulu!"
"Aku udah makan sama Juna." Raihan menjawab riang. Entahlah keriangan itu datang dari mana. Mungkin dari nasi goreng.
Raihan pergi hanya untuk mandi dan ganti baju. Dia kembali lagi ke paviliun setelah meminta Mang Dadang memanaskan mobil. Ketika tiba di paviliun, Juna sedang mengunci pintunya.
"Gilangnya mau?" tanya Raihan.
"Dia udah kirim alamat."
"Kalau begitu, ayo pergi! Mang Dadang udah siap."
Juna terdiam. Raihan menyeretnya pergi dari sana dan masuk mobil yang sudah terparkir di halaman. Dia berlari ke rumah sebentar untuk berteriak, "Ma, Pa, aku keluar sama Juna sebentar, ya. Assalamualaikum."
Setelah itu, dia ikut masuk mobil. Duduk bersisian dengan Juna di kursi belakang.
"Kita mau ke mana, Den?" tanya Mang Dadang.
Juna melihat ponselnya sebentar, memeriksa pesan dari Gilang. "Little Collins," jawabnya.
Mereka saling diam selama perjalanan. Hanya terdengar alunan lagu jadul yang diputar oleh Mang Dadang. Mereka tiba di tujuan setelah menempuh perjalanan beberapa lama. Ketika mereka tiba di kafe, suasananya masih sepi. Hanya ada beberapa kendaraan di parkiran. Lebih mengejutkan lagi ketika keduanya hendak masuk ke kafe. Mereka tidak diizinkan.
"Kami belum buka, Kak. Nanti pukul sebelas baru buka," ujar seorang perempuan seraya tersenyum.
Raihan dan Juna bertukar pandang.
"Ah, Gilang bilang, dia akan datang pukul sebelas juga," ujar Juna.
"Terus kenapa kamu pergi sepagi ini?"
"Aku cuma jaga-jaga di jalannya gak lancar."
Raihan mendengkus. Dia beralih memandang pegawai kafe di hadapannya sambil tersenyum. "Maaf, ya, Teh. Adik saya terlalu semangat."
"Enggak apa-apa, Aa." Teteh Kafe pamitan masuk, tetapi dia terbentur pintu karena berjalan sambil memandang ke belakang. Tadinya senyum-senyum, sekarang meringis malu sambil lari.
Mereka kembali ke parkiran lagi. Raihan berjalan malas-malasan sambil merengut.
"Mau ke tempat lain dulu?" tanya Juna.
"Males." Raihan menguap. "Aku mau tidur di mobil aja."
Raihan membuka pintu belakang dan masuk ke sana. Mang Dadang membalik tubuh ke belakang dan bertanya, "Kenapa balik lagi, Den?"
"Kafenya belum buka." Raihan menjawab sambil bersandar dan melipat kedua tangan di dada, sementara matanya terpejam.
"Mau cari kafe lain?"
"Butuhnya kafe yang ini. Kita tunggu aja."
"Den Juna nunggu di luar?"
"Udahlah. Biarin aja."
Mungkin karena semalam kurang tidur, Raihan benar-benar terlelap dengan mudah. Dia sudah tidak mendengar suara di sekitarnya. Entah berapa lama dia tertidur. Raihan terlonjak saat seseorang memukuli pahanya. Juna sudah ada di sampingnya sambil melihat ke luar jendela, entah sejak kapan.
"Han, bangun, Han! Cepetan!"
"Apa? Kenapa?" Raihan seperti dibangunkan karena ada bencana.
"Kenapa Gilang datang sama Pak Hari?"
"Apa?"
Raihan ikut melongok ke jendela yang kacanya ditutup. Sepertinya Juna sengaja, agar dari luar mereka tidak terlihat sedang mengintip.
"Apa-apaan, nih? Kita kalah cepat?" ujar Raihan.
Juna tidak menjawab. Perhatiannya keburu teralihkan dengan dering ponsel. Gilang menelepon. Juna menoleh sejenak pada Raihan sebelum menjawab.
"Pakai loud speaker," kata Raihan.
Juna mengikuti perintah Raihan. Terdengar suara Gilang dari telepon. Katanya, dia sudah tiba di kafe.
"Kamu di mana?" tanya Gilang.
"Eng ... aku ...." Juna menoleh pada Raihan. Raihan memberi isyarat dengan tangan yang untungnya ditangkap dengan baik oleh Juna. "Masih di jalan. Tunggu sebentar, ya."
Gilang menutup telepon setelah mengiakan. Raihan dan Juna masih mengawasinya. Gilang terlihat masuk ke dalam kafe bersama Pak Hari yang berjalan sambil mengenakan topi.
"Kamu jangan ngomong kalau gak aku suruh," kata Juna tiba-tiba.
"Kenapa?" Raihan kebingungan.
"Kita harus hati-hati. Aku punya firasat buruk tentang Gilang."
Meski tidak sepenuhnya paham, Raihan mengangguk karena Juna sudah keluar dari mobil. Raihan segera menyusulnya. Tiba di dalam kafe, mereka langsung menemukan Gilang yang sedang melambaikan tangan. Anehnya, dia sendirian. Raihan mengedarkan pandangan, lalu menemukan pria dengan jaket kulit dan topi hitam di meja yang lain. Kontras dengan pemandangan hijau menyegarkan yang berasal dari tanaman hias di dalam kafe. Mereka menghampiri Gilang dan duduk melingkar mengelilingi meja bundar.
"Kamu datang sama Raihan?" tanya Gilang. "Kalian terlihat akrab."
Raihan dan Juna bertukar pandang. Raihan yang lebih dulu menanggapi. "Memangnya kapan kami gak akrab?"
"Kalian jarang kelihatan bersama. Gosip buruk tentang kalian jadi beredar makin kuat."
Raihan menoleh pada Juna, sementara anak itu malah menunduk.
"Ah, aku yakin gosip itu gak benar." Gilang tertawa canggung sambil mendorong naik kacamatanya. "Kalian mau pesan apa? Makanan atau minuman?"
"Minuman aja. Mau minum apa, Jun?" tanya Raihan.
"Terserah. Samain aja."
Raihan memilih ice vanilla latte dan pramusaji mencatatnya. Gilang menunjuk salah satu minuman di buku resep. Pramusaji pergi, dan raut wajah Gilang berubah tegang. Meski begitu, dia berusaha menampakkan senyum.
"Ada apa? Aku kaget kamu minta ketemu seperti ini?" katanya membuka pembicaraan.
"Gak ada apa-apa. Aku cuma kepikiran kamu akhir-akhir ini," jawab Juna.
"M-maksud kamu?"
"Waktu itu kamu sempat mau bicara sesuatu padaku, tapi gak jadi. Aku kepikiran soal itu."
"B-benarkah? Aku gak begitu ingat." Gilang tersenyum, terlihat dipaksakan.
"Kamu bukan tipe orang yang akan menghampiri orang lain duluan," lanjut Gilang. "Dan kamu mengajakku bertemu untuk menanyakan itu. Agak aneh. Apa ada sesuatu yang ingin kamu ketahui dariku?"
Apa-apaan pertanyaannya? Anak itu sedang memancing? Itukah firasat Juna? Gilang adalah mata-mata!
"Aku rasa kita agak mirip," kata Juna. "Kamu juga gak pandai bergaul. Aku pikir itulah kenapa kamu gak berani bicara duluan padaku."
"A-apa?" Gilang mulai terlihat gelisah.
"Karena kita punya kepribadian yang mirip, sepertinya kita akan cocok. Datang dan bicaralah padaku kalau kamu butuh teman ngobrol."
Juna melempar senyum, sementara Gilang tampak kebingungan, lalu menoleh ke arah Pak Hari. Raihan mengikuti arah pandangannya. Pak Hari menarik topi dalam-dalam menyembunyikan wajahnya sambil menunduk.
_______________
Anonymous Code, winaalda©2020
All Right Reserved
15 Desember 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top