23. Meledak

Calla dan teman-temannya berkumpul di ruang olahraga dalam hening. Perkataan kepala sekolah membuat mereka tidak tenang. Kejadian ini malah menjadi awal situasi yang lebih panas. Sekarang Juna dan Raihan menjadi incaran. Calla memandang Juna dan Raihan bergantian. Raihan sedang mondar-mandir tidak jelas. Juna menggigit kuku jempolnya.

"Aku penasaran dengan sesuatu." Meysha berujar memecah keheningan. "Kenapa Raihan ikut jadi incaran?"

Raihan dan Juna bertukar pandang. Raihan menggaruk tengkuk sambil membuang napas. "Jadi ... teman-teman ... sebenarnya ...."

Raihan terlihat ragu untuk bicara. Dia menoleh pada Juna sebelum kembali bersuara. "Sebenarnya ... Juna gak salah apa-apa. Aku yang melakukan itu."

"APA?!" Cewek-cewek kompak memelotot pada Raihan.

"Kalian terkejut?" Raihan meringis.

"S-sebentar, aku ... aku belum paham," ujar Rania sambil mengetuk-ngetuk dahinya.

Bahu Calla merosot. Ternyata karena itu Raihan terlihat cemas setengah mati saat Juna tertangkap.

"Wah, kalian benar-benar mengecoh kami dengan baik." Meysha melongo.
Hening beberapa saat.

"Siapa yang punya kode pramuka?" Meysha mengajukan pertanyaan.

Juna mengangkat tangan.

"Kode pramuka apa?" tanya Rania.
Meysha tidak menjawab. Dia malah bicara pada Raihan. "Jadi kamu yang pakai cat semprot?"

Raihan mengangguk.

"Siapa yang mengaku sebagai Anonim?" Meysha bertanya lagi.

Juna mengangkat tangan lagi.

"Terus kenapa kamu nulis di kelas Juna ngaku-ngaku Anonim juga?!" Meysha memelototi Raihan.

Raihan tersentak mendengar nada bicara Meysha. "A-aku cuma mau menguji kemampuan analisis kalian."

"Menguji apanya? Bikin kepalaku pusing, iya!" Meysha memukul lengan Raihan kesal.

Calla berdecak sambil geleng-geleng melihat keributan itu. "Kalian udah cocok jadi aktor," katanya.

"Iya. Aktor sinetron yang bikin cewek-cewek nangis itu. Biar dihujat netizen sekalian." Meysha masih tampak kesal.

"Jadi ... Juna cuma korban salah tangkap? Karena kebetulan Juna menyelinap ke ruang kepala sekolah?" tanya Rania.

Calla terdiam sejenak. "Aku rasa enggak."

Semua mata tertuju pada Calla. Calla tersenyum menghampiri Juna dan Raihan, lalu menggandeng tangan mereka di kanan-kiri.

"Mereka bekerja sama untuk mengungkap kejahatan itu. Gimana? Mereka partner yang sempurna, kan?" Calla tersenyum lebar pada Rania dan Meysha.

Juna dan Raihan kompak melepaskan tangannya.

"Yang bener aja!" omel Raihan.

"Partner apanya?" Juna melengos.

Calla menggosok hidung dengan punggung telunjuk, lalu membuang napas kasar. Dasar cowok-cowok ini! Masih aja saling gengsi.

"Tunggu dulu." Rania menyela. "Kalau begitu, mereka juga udah tahu Raihan sejak awal?"

"Enggak. Itu karena dia mengadu ke kepala sekolah tentang kecurigaannya, tapi gak digubris. Aku menggunakan itu sebagai alasan di ruang sidang, jadi mereka tahu tentang Raihan," jawab Juna.

"Sepertinya mereka memang menyadari kalau itu aku." Raihan menyanggah. "Cuma karena gak ada bukti yang benar-benar menunjukkan wajahku, mereka gak berani menangkapku sembarangan."

Raihan kemudian merogoh ponsel dan berujar, "Mau kutunjukkan sesuatu?"

"Apa ini?" Calla membeliak melihat foto Raihan yang memakai pakaian serba hitam. Kepalanya memakai tudung hoodie. Wajahnya tertutup masker. Namun, yang membuat Calla heran bukan itu. Kertas karton yang dipegang Raihan. Tulisannya berbeda di setiap foto.

Pak Kepala Sekolah kenapa gak percaya sama saya?

Pak Kepala Sekolah, tolong bantu orang itu mengakui manipulasi nilai yang dilakukannya.

Apa itu terlalu sulit?

Iya juga.

Kalau begitu, biar saya saja yang bergerak.

"Kamu lagi ngapain, sih?" tanya Meysha.

"Aku ngambil foto ini karena kelihatan keren."

Meysha geleng-geleng.

"Kalian tahu? Setelah aku bergaya di depan CCTV membawa kertas-kertas ini, Pak Agus langsung menutup akses Pak Daniel ke ruang kontrol keamanan," ujar Raihan.

"Wah, jadi kamu udah tahu alasan Pak Agus sejak awal?" Meysha menatap Raihan tak percaya. "Kamu benar-benar aktor andal."

"Aktor andal apanya? Aku gemetaran setiap kali kalian mencurigaiku," kata Raihan sewot.

"Terus kenapa kamu gak ngaku aja sejak awal?"

"Kamu pikir gampang? Gimana kalau teman-teman membenciku? Gimana kalau mereka marah padaku? Aku memikirkan itu siang malam!"

"Tapi kalau alasannya jelas, kami pasti akan berpihak ke kamu!"

"Tapi aku merasa bersalah karena udah bikin kalian kena masalah juga!"

"Berisik, woi!" Calla melerai. "Kalian ini kayak suami istri yang lagi berantem tahu, gak?"

Suasana hening beberapa saat sampai Calla bicara pada Raihan. "Kalau Pak Agus udah tahu kamu sejak awal, apa maksudnya dia menyembunyikan rekaman itu? Bukannya dia tinggal nangkap kamu?"

"Mau buktiin kalau itu adalah aku pakai apa? Pakai foto-foto ini?" Raihan menunjukkan ponselnya. "Yang ada dia malah gali kuburan sendiri."

"Kalau kita masih punya banyak hal yang perlu dibahas, bukankah sebaiknya kita punya markas?" sela Rania sambil celingukan terlihat khawatir. "Siapa tahu ada mata-mata lagi yang mengawasi kita."

"Ide bagus," ujar Calla. "Tapi di mana?"
Calla memandang teman-temannya bergantian. Raihan menjentikkan jari setelah terlihat berpikir beberapa saat.

"Kayaknya aku tahu di mana," kata Raihan. "Nanti pulang sekolah kita langsung ke sana."

"Setuju!" Meysha mengangkat tangan antusias. Calla geleng-geleng. Padahal, cewek itu baru saja bersitegang dengan Raihan.

"Pulang sekolah aku kerja," kata Juna. "Meysha, bukannya kamu juga harus kerja?"

"Eh?" Meysha menggaruk tengkuknya. "Ah, sebenarnya ... aku mau berhenti dari sana. Ibu udah ngizinin aku kerja di kedai ayam kami."

Juna manggut-manggut. "Oh. Syukurlah."

Calla memandang Juna dan Meysha bergantian. "Apa ini? Kalian bicara tentang sesuatu yang enggak aku tahu?"

"Eng ... Calla ... jadi ...."

"Kenapa aku selalu jadi orang yang paling gak tahu apa-apa?" Calla menyela ucapan Meysha.

"Calla ...." Meysha menatap bingung.

"Kalian selalu aja bicara di belakangku."

"Calla, kamu ngomong apa?" Kini Raihan yang bicara.

"Kenapa aku gak dibiarkan tahu? Aku ini apa, sih, buat kalian?" Calla tersenyum pahit. "Sepertinya cuma aku aja yang menganggap kalian teman."

"Calla ...." Juna menarik lengan Calla agar menghadap padanya, tetapi ditepis secepat kilat. Calla memandang Juna dengan mata tergenang.

"Kamu juga sama aja. Kamu bilang aku sahabat terbaik? Iya. Sahabat terbaik memang seharusnya diem aja gak perlu tahu apa-apa. Cukup jadi bayangan yang mengikuti kamu ke mana-mana tanpa bersuara."

"Calla ... kenapa jadi gini?"

"Aku capek sama kalian! Kenapa harus selalu menyembunyikan sesuatu dariku, sih?"

"Terus mau kamu apa?" Meysha bertanya marah. "Kamu mau aku bilang kalau aku harus kerja karena keluargaku gak sekaya kamu? Apa yang akan kamu lakuin setelah dengar itu? Bantu aku kerja? Ngasih aku modal usaha?"

"Meysha!" bentak Raihan.

Calla tidak menjawab. Kerongkongannya tersumbat. Dia pergi sambil menahan tangis. Bel masuk mengiringi langkahnya menuju kelas. Dia duduk di kursinya sambil mengepal kedua tangan di atas pangkuan. Raihan sempat menghampirinya, tetapi guru yang datang mau tidak mau membuatnya pergi ke tempat duduk.
Sisa waktunya di sekolah, Calla habiskan dengan menghindari teman-teman. Istirahat makan siang pun, dia malah kabur ke halaman belakang sekolah. Calla termenung menduduki batu besar yang ada di bawah pohon. Memikirkan status dirinya di hadapan teman-teman. Ah, apa masih pantas Calla menyebut mereka teman-teman? Ternyata cinta sepihak di antara teman tidak kalah menyakitkan.

Calla terkesiap ketika mendengar suara dari atas pohon. Ketika Calla mendongak, ternyata orang itu sedang berbicara melalui telepon. Calla membeliak. Dia adalah Irgy. Cowok itu sedang tiduran di dahan yang paling besar.

"Aku di sekolah, emangnya di mana lagi? Apa? Masalah apa lagi? Apa urusannya sama aku? Papa urus aja semuanya seperti biasa. Bukannya itu keahlian Papa? Anak gak berguna kayak aku memangnya bisa apa?"
Irgy menutup teleponnya. Ponselnya terpeleset ketika hendak dia masukan ke dalam saku celana. Irgy terbangun dan memekik heboh. Calla dengan sigap menangkap ponselnya sebelum sempat jatuh terbentur batu.

"Ah, hampir aja!" Calla menepuk-nepuk sarang jantungnya sendiri karena ikut terkejut.

Calla mendongak lagi, dan di atas sana Irgy sedang melongo ke bawah sambil memeluk dahan.

"K-kamu ... s-sedang apa di situ?" tanya Irgy.

"Menangkap handphone kamu." Calla mengacungkan ponselnya dengan eskpresi seolah tidak terjadi apa-apa.
Irgy termangu beberapa saat sebelum akhirnya turun. Calla kemudian mengembalikan ponselnya.

"Kamu selalu nongkrong di atas pohon?" tanya Calla.

Irgy menggeleng patah-patah. "I-ini yang pertama."

"Kamu kenapa kayak orang gugup begitu?"

"A-aku ... cuma terkejut."

Calla tertawa kecil sambil geleng-geleng. Irgy yang memandangnya tanpa berkedip membuat Calla berdeham dan membuang muka.

"Udah sana pergi!" ujar Calla.

"Kenapa aku harus pergi?" Suara Irgy sudah terdengar lebih normal. "Aku yang menemukan tempat ini lebih dulu."

Calla menghela napas dan memandang Irgy. "Ya udah kalau gitu. Kita berbagi tempat ini aja, gimana?"

"Kamu ... kenapa di sini ... sendirian?"

Calla berdecak. "Kamu sendiri? Aku gak pernah lihat kamu main sama siapa pun."

"Aku memang gak punya teman."

"Heh?"

Irgy menghela napas, lalu duduk di atas rumput di bawah Calla. "Mana ada orang mau jadi temanku?" katanya lagi.

Calla terdiam. Bingung harus menanggapi seperti apa lagi. Mereka tidak bersuara untuk beberapa lama. Hanya embusan angin yang terdengar berbisik lembut.

"Ngomong-ngomong ...." Irgy akhirnya buka suara. " ... udah berapa lama kamu di sini?"

"Enggak tahu. Aku gak hitung berapa menit."

"Apa kamu ... dengar aku ngomong?"

"Iya."

Irgy menoleh. "Semuanya?"

"Iya."

Irgy menelan ludah. Terlihat dari jakunnya yang bergerak.

"Tapi aku gak paham kamu ngomong apa," lanjut Calla.

Tidak sepenuhnya bohong. Calla memang sedang berpikir keras ke mana arah pembicaraan Irgy. Apa ada hubungannya dengan Juna dan Raihan? Ah, kenapa pula dia harus memikirkan dua cowok menyebalkan itu? Calla, kan, sedang marah.

"Oh." Irgy tersenyum tipis dan kembali menatap ke depan.

Cowok itu akhirnya berdiri. "Kamu masih mau di sini?"

"Mmm." Calla mengangguk. "Sampai bel masuk."

Irgy manggut-manggut, kemudian pergi. Calla membuang napas memandang punggung Irgy yang menjauh.

"Apa aku harus mengawasi dia?" gumam Calla.

Ponsel Calla bergetar di saku rok. Ketika dia periksa, pesan dan panggilan tak terjawab sudah menumpuk dari teman-temannya. Dia sengaja mengabaikannya sejak tadi. Sekarang pun masih belum ada ampun untuk mereka. Biar saja mereka kelimpungan mencarinya ke mana-mana. Biar Calla merasa dianggap ada.

Calla baru kembali setelah beberapa menit menjelang masuk. Belnya berbunyi ketika Calla masih berjalan di lorong menuju kelas. Di pintu belakang kelas, Meysha dan Raihan sudah menunggunya. Calla memilih masuk melalui pintu depan untuk menghindari mereka. Percuma. Mereka menunggu Calla di tempat duduknya.

"Calla, maaf. Aku gak bermaksud bikin kamu makin marah," kata Meysha.

"Kamu kenapa tiba-tiba jadi begini, sih?" Raihan menimpali.

Calla menoleh pada Raihan dengan tatapan tajam. "Tiba-tiba? Enggak, kok. Aku udah menahannya sejak lama. Baru kali ini meledak."

Calla menyingkirkan Raihan dengan kasar agar dia bisa duduk di kursinya. Cowok itu tidak berkutik lagi. Begitu pun Meysha. Mereka memilih kembali ke tempat duduknya. Juna? Entah di mana anak itu. Apa sudah pulang? Dia tidak mau menunggu Calla? Kekesalan Calla berlipat-lipat, sekarang.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

24 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top