20. Tertangkap

Calla datang ke sekolah pagi-pagi sekali. Dia nyaris tidak bisa tidur semalaman. Baru lelap sebentar, suara azan sudah terdengar. Jadilah dia langsung bangun saja dan bersiap-siap ke sekolah. Cuma gara-gara bunga yang memiliki nama sama dengannya, Calla jadi memikirkan Juna setiap saat. Bukan. Maksudnya, kepikiran. Kalau memikirkan artinya sengaja. Kalau ini tidak.

Calla sudah sejak lama menyadari ketampanan Juna. Bahkan, sejak pertama kali mereka bertemu. Akan tetapi, dulu cowok itu terlihat biasa saja. Toh, yang tampan di sekolahnya bukan cuma Juna. Namun kemarin, mendadak ketampanan Juna menarik perhatiannya lebih banyak. Wajah sebening embun pagi itu tampak menyejukan bahkan tanpa senyuman. Kalau senyum sedikit saja mungkin Calla bisa pingsan. OST drama Korea yang dia tonton mendadak terdengar di setiap bayangan wajah itu muncul. Caranya memperlakukan calla membuat Calla salah paham. Ini bukan pengulangan kata. Jelas dua calla di sini berbeda. Namun, bagi Calla, semua sama saja. Serasa Juna sedang bicara tentang dirinya.

Calla juga cantik.

Aku suka calla.

Kata-kata itu terus diputar ulang di kepalanya tanpa dia minta.
Calla mengerang dan mengentak-entakkan kakinya di atas paving block sambil menjambak rambut. "Pertama kalinya aku benci namaku sendiri."

Calla menghela napas dalam-dalam, mentralkan jantungnya yang tiba-tiba aneh sejak kemarin. Kalau saja Calla memakai jam tangan pendeteksi detak jantung, barangkali sudah berisik mengganggu pendengaran. Padahal, dia tidak punya riwayat penyakit jantung.

Calla akhirnya pergi memasuki gedung sekolah. Lorong-lorong masih hening. Suasananya jadi seram. Mendadak Calla menyesali keputusannya masuk ke sana. Haruskah dia kembali dan menunggu teman-teman di luar saja?
Belum selesai berpikir, Calla sudah dikejutkan oleh seseorang yang berlari di lorong depan. Dia memakai baju hitam-hitam. Di belakang, beberapa orang mengejarnya. Security aneh itu. Calla membeliak dan ikut berlari mengejar mereka. Berbelok dari lorong satu ke lorong lain. Menaiki tangga, menuruninya lagi di sudut lain. Calla sampai capek sendiri.

"Mereka mau pergi ke mana, sih?" Calla menggerutu sambil terengah-engah.
Calla berhenti sejenak di undakan terakhir, tetapi langsung lari lagi setelah menyadari sesuatu. "Juna? Raihan? Astaga! Sedang apa dia? Gimana kalau dia tertangkap?"

Calla melihat sekelebat security berlari di lorong sebelah. Calla mengejarnya ke sana. Terdengar orang itu bicara dengan rekannya melalui HT. Gawat! Anonim dikepung. Ketakutan menjalar ke seluruh tubuh Calla. Anonim tidak boleh tertangkap. Dia harus mencari jalan lain dan menemukannya lebih dulu. Setelah itu, Calla akan menyembunyikannya.

Nahas. Ketika Calla tiba di halaman, Anonim sudah tertangkap. Dia berada di tengah-tengah, dikelilingi para security. Anonim masih berusaha melarikan diri, tetapi celah tidak membuatnya lolos. Mereka terlalu banyak sehingga bisa menangkapnya dengan mudah. Anonim diringkus. Dia bertekuk lutut. Tudung hoodie dan maskernya dilepas. Seketika itu wajahnya terlihat dengan jelas. Lutut Calla melemas. Dia terperenyak.

"J-jun ...." Calla berujar lirih.

"Kenapa baru sekarang menampakkan diri? Merepotkan saja!" ujar salah seorang security.

Juna mengangkat kepala memandangnya, lalu tatapannya tertumbuk pada Calla di jarak beberapa meter. Juna tampak terkejut. Calla masih gemetaran. Air matanya menggenang.

"J-jun ... bagaimana bisa ...." Calla masih tidak percaya Juna melakukan itu. Lebih tepatnya diperlakukan seperti itu.

Anak-anak mulai berdatangan. Juna menjadi tontonan. Untunglah orang-orang itu segera membawa Juna pergi, tetapi tentu saja gosipnya akan segera menyebar. Ketika berjalan melewati Calla, Juna sempat menoleh padanya. Calla bisa melihat Juna menggumamkan sesuatu tanpa bersuara.

Aku gak apa-apa.

Bagaimana bisa Juna bicara seperti itu? Air mata Calla meleleh begitu saja.
Calla buru-buru merogoh ponselnya di saku jas. Mencari nama Raihan dan meneleponnya. Setelah Raihan menjawab telepon, sedetik kemudian tangis Calla pecah. Raihan jadi panik sendiri.

"Calla, kenapa nangis? Ada apa? Hei! Bicara dulu! Calla! Woi!"

"Rai ... Jun ...." Calla hanya bisa mengatakan itu. Dia tidak bisa menahan tangisnya. Tangannya yang memegang ponsel jatuh ke pangkuan. Tangan satu lagi menutup matanya. Dia menangis tersedu-sedu.

Beberapa saat kemudian, Calla mendengar suara langkah yang berlari ke arahnya. Dia mengangkat kepala. Meski pandangannya kabur, Calla bisa lihat kalau itu Raihan.

"Rai ...." Calla berujar lirih di sela isakannya.

Raihan berjongkok dan meraih wajah Calla. Dia tampak cemas.

"Kamu kenapa? Kamu jatuh? Mana yang sakit?" tanya Raihan.

Calla menggeleng. "Jun ...."

"Jun? Kenapa Juna?"

"Dia ... tertangkap."

Raihan terdiam. Tangannya lepas dari wajah Calla. Dia ikut terperenyak.

"M-maksud kamu?" Raihan menatapnya tak percaya.

"Security-security itu ... mereka menangkapnya."

"Enggak mungkin. Anak itu ...." Raihan geleng-geleng.

"Kamu bercanda, kan? Mana mungkin Juna ...." Raihan mengguncang tubuh Calla.

Tangis Calla makin keras. Terdengar riuh anak-anak di sekitar mereka membicarakan Juna. Raihan menoleh pada mereka, lalu menghela napas dan mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Astaga, anak itu!" gerutu Raihan.
Raihan membantu Calla berdiri. Dia menepuk-nepuk punggung Calla dan berujar, "Jangan terlalu khawatir. Juna pasti punya rencana lain," katanya pelan.

"Tapi dia ditangkap, Rai. Dia bisa dikeluarkan." Calla masih menangis.

"Enggak. Percaya aja sama Juna."

Meysha dan Rania datang bersamaan. Mereka langsung menodongkan pertanyaan yang sama. Tentang Juna.

"Apa yang terjadi? Kenapa anak-anak bilang Juna ditangkap?" tanya Meysha terlihat panik.

"Jadi selama ini benar Juna pelakunya?" Rania menimpali.

Calla tidak menjawab. Sedu sedannya sudah keluar tanpa kontrol. Raihan sibuk menenangkannya. Kini giliran Pak Daniel yang datang menghampiri mereka. Dia sama terkejutnya.

"Bagaimana bisa Juna melakukan itu?" ujarnya tak percaya.

Mereka semua tidak ada yang bisa menjawab. Pak Daniel pergi setelah membuang napas kasar. Mereka mengikutinya menuju ruang kepala sekolah, tetapi tidak sampai ke dalam. Mereka berempat menunggu di depan pintu. Raihan mondar-mandir tampak gelisah. Calla masih berusaha menenangkan dirinya sendiri. Isakan masih terdengar. Meysha merangkul dan mengusap-usap kepalanya.

"Kenapa Juna bisa tertangkap? Apa yang dia lakukan?" tanya Rania memecah keheningan.

Calla menggeleng. "Enggak tahu. Waktu aku datang, dia udah dikejar-kejar."

"Orang-orang itu terus mengawasinya. Tentu saja dia mudah tertangkap kalau menampakkan diri," sahut Raihan.

"Jadi ... kalian semua udah tahu kalau Juna pelakunya? Makanya kalian mau membongkar rahasia Irgy ketimbang menangkapnya?"

Calla dan kedua temannya bertukar pandang. Dia dan Meysha menggeleng. Hanya Raihan yang diam saja.

"Terus, sekarang gimana? Apa Juna akan dikeluarkan?" tanya Rania lagi.

Calla hanya bisa membuang napas. Mereka semua terdiam. Beberapa lama menunggu, Juna belum keluar juga. Bel masuk sudah terdengar berbunyi, tetapi mereka masih belum beranjak dari sana. Pak Daniel membuka pintu, mereka semua kompak menoleh. Raihan yang pertama kali menghampirinya.

"Juna bagaimana, Pak?" tanyanya.

Pak Daniel menghela napas dan menepuk pundak Raihan. "Kami akan memanggil papa kalian sekarang juga."

"Kalian ke kelaslah. Tunggu di kelas saja," ujar Pak Daniel pada mereka berempat.

Meysha menarik Calla pergi bersama Rania. Calla menoleh pada Raihan yang enggan beranjak dari sana. Pak Daniel menepuk pundaknya sekali lagi sebelum pergi.

Calla dan Meysha pergi ke kelas. Suasana kelas riuh dengan obrolan tentang Juna. Beberapa orang menoleh pada Calla dan Meysha yang baru datang. Calla duduk di kursi, berusaha tidak memedulikan orang-orang yang memandang aneh kepadanya. Juna kena masalah. Tentu saja sebagai teman dekat, Calla akan kena getahnya. Beberapa tatapan seolah menuduh dirinya bersekongkol. Tatapan lain mengasihani, karena Calla harus ikut terseret ke dalam masalah akibat ulah temannya sendiri.

Seorang guru datang ke kelas. Suasana hening seketika. Meski begitu, mereka masih terlihat saling berbisik satu sama lain. Calla tertunduk merenung. Pikirannya ke mana-mana.
Calla terkesiap ketika guru di depan sana mengabsen namanya. Dia mengangkat tangan dan berujar, "Hadir."

Nama-nama lain disebutkan. Tiba pada nama Raihan, Calla menoleh ke kursi di sebelahnya. Anak itu belum masuk juga.

"Ada yang tahu Raihan ke mana?" tanya Bu Amel.

Semua orang memandang Calla. Seolah sudah tahu dirinyalah yang paling mengetahui keberadaan Raihan sekarang.

"T-tadi ... dia masih di luar, Bu," ujar Calla.

Bu Amel lanjut mengabsen sisanya. Pembelajaran pun dimulai. Calla menoleh ke arah pintu. Tidak ada tanda-tanda Raihan datang. Apa masalah besar terjadi di luar sana? Calla jadi gelisah. Dia akhirnya izin untuk pergi ke toilet.

Calla membasuh wajahnya dulu yang tadi belum sempat dibersihkan. Pipinya terasa kaku bekas air mata. Sembap terlihat di matanya ketika dia bercermin.

Alih-alih kembali ke kelas, Calla pergi ke ruang kepala sekolah. Dia melihat Raihan masih berdiri di depan ruangan itu, menyandarkan punggungnya ke tembok. Dia terus-terusan menoleh ke arah pintu.

Calla tidak pernah tahu hubungan Raihan dan Juna sebenarnya seperti apa. Pemandangan ini membuat hatinya terenyuh. Raihan terlihat sangat mencemaskan Juna. Sama seperti dirinya. Dua saudara tiri itu tidak pernah menampakkan keakraban di depan semua orang. Bahkan, seringnya malah bertengkar. Setelah masuk SMA, keduanya bahkan bersikap seolah tidak mengenal satu sama lain. Jika insiden tugu pagi itu tidak terjadi, mungkin Juna dan Raihan tidak akan banyak bersinggungan seperti sekarang. Inikah cara semesta menyatukan keduanya? Namun, kenapa harus dalam masalah?
Calla menghela napas. Dia segera kembali ke kelas karena sudah berdiri terlalu lama di sana.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

24 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top