19. Calla atau Calla
Juna terheran-heran melihat semua orang yang dilewatinya. Semua mata tertuju padanya, terutama yang cewek. Mereka bisik-bisik sambil senyum-senyum. Apa di wajahnya ada sesuatu? Juna mengusap wajah menggunakan punggung tangan. Karena kedua tangannya penuh dengan bawaan. Di tangan kanan sebuket bunga. Tangan kiri menenteng paper bag.
Juna makin keheranan ketika melihat Raihan, Calla, dan Meysha kompak menatapnya sambil melongo. Tadinya Juna mau melewati mereka begitu saja. Namun karena ekspresinya hampir sama dengan orang-orang, dia berhenti untuk bertanya.
"Kenapa semua orang lihatin aku kayak gitu? Ada yang aneh di wajahku?" tanya Juna. Lebih seperti bertanya pada Calla.
"Kamu mau ngelamar cewek?" tanya Raihan membuat Juna kebingungan.
"Itu, kan, bunga calla. Kamu mau ngelamar Calla?" sahut Meysha.
Langsung saja Calla menyikut perut Meysha yang berdiri di sampingnya. "Ngaco!" Calla tertawa kikuk.
"Ini?" Juna menunjukkan calla lili putih yang dibawanya. "Ini buat tugas Prakarya."
"Kenapa tugas Prakarya harus bawa bunga segala?" Meysha bertanya heran.
"Sebenarnya disuruh bawa barang bekas buat bikin bunga. Tapi gak sempat cari bahan. Aku bawa bunga asli aja."
"Terus itu?" Calla menunjuk paper bag. "Apa isinya?"
"Vas kaca sama air."
"Oh." Calla manggut-manggut.
"Pantas aja orang-orang salah paham." Meysha berdecak. "Sebuket bunga dan paper bag berisi hadiah. Kamu emang terlihat seperti mau melamar cewek."
"Aku bilang isinya vas bunga."
"Tapi orang gak akan tahu kalau kamu gak bilang."
Juna termangu. Apa benar seperti itu? Dia merasa biasa saja.
"Kalau gitu, aku ke kelas duluan." Juna berlalu.
Bel masuk berbunyi tak lama setelah Juna menaruh barang bawaannya di meja. Dia segera duduk dan bersiap-siap. Pelajaran pertama adalah Prakarya dan Kewirausahaan. Juna mengedarkan pandangan dan melihat teman-temannya membawa barang sesuai instruksi Bu Susi. Kertas, botol kaca, kawat, semuanya barang bekas. Tak lupa tetek bengek lain yang bisa digunakan untuk membuat kerajinan berbentuk bunga.
Juna garuk-garuk tengkuk. Apa tidak masalah dia malah membawa bunga asli? Tapi mau mengganti barang bawaannya sudah tidak ada waktu. Bu Susi keburu masuk kelas. Pembelajaran dimulai setelah melakukan kegiatan pembiasaan sehari-hari. Seperti membaca doa sesuai kepercayaan masing-masing yang dipimpin Irgy sebagai ketua kelas.
Karena hari ini pembelajarannya berupa praktik, anak-anak langsung disuruh membuat karya sesuai bahan yang ada. Bu Susi sudah memberi perintah pada pertemuan sebelumnya. Semua siswa disuruh menonton video tutorial membuat kerajinan bunga dari barang bekas. Agar ketika praktiknya, mereka bisa membuat kreasi sesuai kesukaan dan kemampuan. Tidak perlu diarahkan yang takutnya malah membatasi kreativitas. Juna sendiri pernah menontonnya satu kali sebelum tidur, tetapi jadi tidak berguna karena situasinya seperti ini.
Semua orang sibuk memilih dan memotong bahan. Sementara itu, Juna hanya menuangkan air ke dalam vas kaca, lalu menaruh tiga tangkai calla di dalamnya. Selesai. Dia termangu-mangu sendiri. Habis ini apa lagi? Menonton yang lain?
Kedatangan Bu Susi mengalihkan perhatian Juna. Dia jadi gugup sendiri, takut ditanya-tanya.
"Juna, kenapa kamu malah bawa bunga asli?" tanya Bu Susi.
Tuh, kan?
"Saya mau jual bunga asli, Bu." Juna menjawab tanpa ragu, karena sudah memikirkannya sejak semalam. Tepat seperti tebakannya. Bu Susi melontarkan pertanyaan seperti itu.
"Tapi, kan, materinya tentang peluang usaha kerajinan dari bahan limbah."
Juna menarik napas sebelum menjawab. "Semua orang punya peluang dan minat berbeda-beda. Pemanfaatan limbah memang berpeluang bagus sekaligus berpartisipasi dalam menjaga lingkungan. Tapi tidak semua orang bisa mendapatkan pasarnya di sana. Wirausaha bukan hanya tentang pandai memanfaatkan bahan, tetapi harus dilihat juga bagaimana pasarnya. Kalau jualan kita sudah tidak laku, bukankah harus berinovasi lagi? Anggap saja teman-teman di sini adalah sampel pengusaha limbah. Lalu, ketika mereka gulung tikar, mereka harus segera menemukan inovasi baru. Yang saya pilih sekarang mungkin bisa jadi bahan inspirasi lain."
Bu Susi manggut-manggut. "Begitu, ya? Ada yang mau menanggapi?" Bu Susi mengedarkan pandangannya.
Rania mengangkat tangan. "Setuju, Bu. Kalau melihat bentuk karya Juna sekarang, sepertinya saya menemukan ide lain."
"Apa itu, Rania?"
Rania memperbaiki posisi duduk menghadap lurus ke arah Bu Susi yang ada di lorong antara meja-meja siswa. "Vasnya masih bisa diganti dengan botol atau barang bekas lain. Jadi kita bisa jual kerajinan berbentuk vas yang dipadukan dengan bunga asli."
Seseorang lain mengangkat tangan. Namanya Hana. "Kalau begitu, kita bisa kerja sama dengan petani bunga. Jadi kita bisa saling membantu dalam mengembangkan usaha masing-masing."
"Tapi, kan, bunga kertas lebih tahan lama." Seorang siswa bernama Ilham menyanggah. "Saya pernah dengar, bunga kertas sekarang jadi pilihan untuk hadiah ke pasangan. Karena lebih tahan lama, filosofinya agar hubungan mereka abadi."
"Juna, mau menanggapi?" tanya Bu Susi.
Juna berpikir sejenak. "Bukannya itu bunga palsu?"
Beberapa orang tertawa mendengar jawaban Juna.
"Memangnya kenapa kalau palsu? Maknanya, kan, abadi," ujar Ilham.
"Kalau palsu, ya, palsu aja mau dia bertahan sampai kapan pun."
"Wah, Juna tipe cowok yang akan memberikan bunga asli daripada bunga kertas, ya?" goda Bu Susi.
Juna mengangguk ragu-ragu. "S-sepertinya begitu."
"Kenapa? Benar kata Ilham, kan? Bunga kertas lebih tahan lama, sementara yang asli cepat layu."
Juna menatap bunga yang ada di hadapannya. "Ada bunga yang bisa bertahan hanya dengan air sesedikit ini. Ada pula yang tidak bisa bertahan sama sekali, tapi masih bisa dikeringkan. Ketulusan yang alami akan selalu menemukan cara untuk bertahan."
Sorakan memenuhi kelas. Cewek-cewek bahkan histeris sambil memukul-mukul teman di depan atau di belakangnya. Bu Susi tertawa sambil tepuk tangan.
"Kalau pacar kamu ada di sini, pasti hatinya sedang melambung," seloroh Bu Susi.
"Saya gak punya pacar," jawab Juna santai.
Cewek-cewek ribut lagi, menawarkan diri sukarela mau jadi pacar Juna. Akan tetapi, perkataan Rania membungkam mulut mereka.
"Juna dekat sama Calla. Lihat aja bunga yang dia bawa."
Kini giliran cowok-cowok yang ribut. Puas melihat ekspresi kecewa anak-anak cewek.
"Ah, iya. Cewek itu, ya? Dia selalu nempel sama kamu," ujar Hana pada Juna.
"Kami sudah berteman sejak lama. Makanya kami dekat."
"Kamu yakin pertemanan cewek-cowok semurni itu?" Hana geleng-geleng, lalu disahuti yang lain. Setuju kalau Juna sebenarnya ada apa-apa dengan Calla.
"Enggak seperti itu, kok." Juna tersenyum kikuk. Matanya beradu dengan Irgy. Anak itu melengos sambil mendelik. Ada apa lagi dengannya?
"Jadi, Bu, bunga kertas gak berpeluang buat usaha, ya?" Ilham mengalihkan perhatian semua orang.
"Bukannya gak berpeluang," jawab Bu Susi. "Ini adalah masalah sudut pandang seseorang. Tidak semua orang punya pendapat sama dengan Juna. Begitu juga dengan konsumen. Orang lain mungkin malah lebih tertarik beli produk kamu."
Ilham manggut-manggut.
"Seperti yang Juna bilang, semua orang akan punya pasarnya masing-masing." Bu Susi melanjutkan. "Kita tidak akan tahu pasar kita di mana kalau tidak mencoba satu-satu. Benar, kan?"
"Iya." Anak-anak menjawab serempak.
"Nah, kalau begitu, nanti jam istirahat, lakukan survei ke teman-teman kalian. Buat wawancara singkat tentang seberapa besar kemungkinan mereka akan membeli produk kalian dan apa alasannya. Tapi jangan teman sekelas, ya. Nanti kalian janjian. Laporannya serahkan di pertemuan berikutnya, ya."
Anak-anak serempak lagi mengiakan perintah Bu Susi. Mereka bergegas menyelesaikan pekerjaan sebelum pelajaran berganti.
Pelajaran kedua adalah Matematika. Pak Daniel memasuki kelas dan terkagum sendiri melihat karya anak-anak di atas meja masing-masing. Lalu, dia terheran-heran dengan punya Juna.
"Kenapa punya Juna beda sendiri?" tanyanya.
Juna hanya menggaruk tengkuk sambil tersenyum meringis. Pak Daniel akhirnya memulai pembelajaran. Tiba-tiba Juna kepikiran dengan ucapan Calla, kemarin. Kira-kira apa yang harus dia minta dari Pak Daniel untuk membantu misinya?
Karena tidak terlalu fokus, pelajaran terasa begitu cepat berlalu. Tahu-tahu sudah bel istirahat saja. Semua orang bergegas membawa kerajinannya keluar dari kelas, segera melakukan tugas dari Bu Susi. Juna mengambil buku catatan kecil sebelum ikut keluar.
Juna menimbang-nimbang siapa yang akan dia wawancarai. Satu orang langsung terlintas di kepala hanya dengan melihat bunganya. Calla. Juna bergegas pergi ke kelas XI IPA 3 sebelum Calla pergi. Namun setelah tiba di sana, gadis itu sudah tidak ada. Hanya terlihat Meysha yang tiduran di meja. Raihan sibuk dengan ponsel yang dipegang dengan posisi landscape. Sepertinya sedang bermain game. Di mana Calla?
Juna berbalik hendak mencari Calla di tempat lain, tetapi saat itu juga dia menemukannya.
"Kamu ngapain di sini?" tanya Calla yang terlihat heran memandang bunga di tangan Juna.
"Aku mau minta bantuan buat tugas. Boleh wawancara sebentar?"
Calla mengangguk. "Boleh."
Juna menyerahkan bunganya pada Calla, sementara dia bersiap dengan buku catatannya. Juna berdeham sebelum melontarkan pertanyaan pertama.
"Dari skala satu sampai seratus, berapa persen kemungkinan kamu akan membeli produk ini?" tanya Juna.
Calla memutar-mutar bunga di tangannya sambil merenung. "Emm ... sembilan puluh."
"Kenapa gak seratus?"
"Bisa seratus kalau kamu jual bunga mawar."
Juna manggut-manggut. "Jadi kamu lebih tertarik dengan bunga mawar? Kenapa?"
"Lebih suka aja. Cantik, kan?" Calla menunjuk ikat rambut berbentuk mawar putih di belakang kepalanya.
"Calla juga cantik."
Hening. Calla menatap Juna. Juna menatap Calla. Lalu, mereka jadi kikuk sendiri. Juna buru-buru menunjuk bunga di tangan Calla.
"Bunga ini gak kalah cantik." Juna meralat karena situasinya jadi canggung.
"O-oh, iya." Calla tertawa-tawa. Wajahnya tampak bersemu.
Hening lagi. Juna tiba-tiba bingung mau bertanya apa. Untunglah Calla menemukan topik lain.
"Kayaknya kamu harus memperhatikan minat konsumen juga kalau mau jual bunga," ujar Calla.
Juna mengangguk, lalu mencatatnya.
"Tapi kenapa kamu malah bawa bunga ini sebagai sampel? Bunga mawar lebih populer untuk dijual." Calla bicara sambil memutar-mutar dan memandangi bunganya.
"Aku suka calla."
Juna tertegun. Ingin dia pukul saja mulutnya. Kenapa terus bicara ambigu seperti itu?
"K-karena calla bisa hidup di air dan ditanam di dalam vas seperti ini. Jadi ... begitu ...." Juna menelan air liurnya sendiri. Wajahnya sudah terasa panas. Dia membuang muka menghindari mata Calla.
Calla tertawa-tawa tidak jelas. Setelah itu, dia pamit pergi begitu saja.
"A-aku ke kelas dulu," kata Calla.
"O-oh, iya. A-aku juga harus pergi."
Calla berjalan melewati Juna, tetapi kembali lagi sambil menyodorkan bunganya. "Eh, lupa," katanya.
"E-enggak usah. Buat kamu aja."
Juna langsung memelesat lari ke toilet dan membasuh wajahnya di wastafel. Dia mengangkat kepala dan menatap wajahnya di cermin. Merah. Sampai ke telinga. Juna meringis dan memasuh wajahnya lagi.
"Kamu kenapa?" tanya seseorang membuat Juna terlonjak.
"Oh, astaga!" Juna hampir saja terperenyak kalau tidak pegangan pada wastafel.
"Wajah kamu merah. Kamu demam?" tanya Raihan.
"Heh? E-enggak." Wajah Juna makin panas. Mengingat peristiwa ketika dirinya tertangkap basah oleh Raihan.
Raihan membuka satu per satu bilik toilet. Kosong. Dia celingukan, lalu mendekat pada Juna dan bicara pelan-pelan. "Waktunya makin mepet. Apa kamu punya rencana? Kepalaku benar-benar buntu."
Juna terdiam sejenak. Ketegangannya mulai melunak. "Kenapa tanya aku? Lakuin aja sesuai rencana kamu."
Raihan menghela napas. "Aku gak bisa bergerak kalau security aneh itu masih ada di sini."
"Memangnya apa rencana kamu?"
"Aku mau bikin Pak Hari mengaku sendiri di depan semua orang. Akan aku bongkar buktinya satu per satu. Tapi kalau situasinya seperti ini ...." Raihan mondar-mandir gelisah.
Juna termenung sejenak. "Kalau begitu, kita harus singkirkan mereka dulu."
Raihan mengerutkan dahi. "Apa yang kamu rencanakan?"
_______________
Anonymous Code, winaalda©2020
All Right Reserved
21 November 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top