15. Siapa Orang Jahatnya?

Juna mengamati para security yang beberapa hari ini berseliweran di sekolahnya. Mereka hanya lontang-lantung tidak jelas. Sebagian lagi terlihat bergerombol, entah sedang mengatur strategi atau sekadar mengobrol.

"Uang yang mereka keluarkan jadi sia-sia," gumam Juna.

"Haruskah kita kerjai mereka biar ada kerjaan?" Seseorang berujar tepat di samping telinga Juna sampai dia terlonjak.

"Ah, kapan mereka mau pergi dari sini, sih?" Raihan berdecak.

Juna membuang napas. "Mereka gak akan pergi kalau targetnya belum dapat."

"Kamu menyuruhku menyerahkan diri?" gerutu Raihan tiba-tiba.

"Bukannya barusan kamu bilang mau mengerjai mereka?"

"Mengerjai bukan berarti menyerahkan diri, dong. Cuma bikin mereka ada kerjaan sedikit saja."

Juna geleng-geleng. "Benar-benar kuya pengangguran."

"Apa?" Raihan memelotot.

"Calla manggil kamu kuya pengangguran."

"Yang dia sebut kuya pengangguran itu Anonim. Kamu!"

"Kamu juga menyebut diri sebagai Anonim. Di papan tulis itu."

Raihan berdeham dan melengos.

"Kenapa gak mengaku aja, sih? Kamu bikin mereka kebingungan. Toh, sekarang mereka akan ada di pihak kamu."

Raihan menggaruk tengkuknya. "Aku juga mau bilang. Tapi nanti, deh. Aku rangkai dulu kata-katanya."

Mereka saling diam untuk beberapa saat. Juna berdeham sebelum kembali bicara. "Kamu lolos begitu saja dari hukuman?"

"Kamu pikir mereka akan melakukan itu? Aku dihukum membersihkan ruang olahraga seminggu."

"Syukurlah."

Raihan memandang Juna sebal. "Wah, kamu senang, ya, aku dihukum seperti itu?"

Juna menarik napas untuk mejawab, tetapi malah menyemburkannya sedetik kemudian. Dia memijit pelipis. Maksud Juna bukan itu. Namun jika dijelaskan, nanti Raihan kegeeran.

"Ya udah sana, jalani hukumanmu!" ujar Juna.

"Udah selesai."

Juna terdiam, tetapi ekspresinya cukup membuat Raihan paham dan memberi penjelasan.

"Ruangannya masih bersih, kok. Aku cuma pel sedikit-sedikit saja sambil lari-lari."

"Astaga." Juna menggumam sambil geleng-geleng.

Juna hendak pergi, tetapi Raihan menahannya.

"Soal kemarin di perpustakaan ... aku minta maaf," ujar Raihan. "Aku bukannya menyuruhmu berhenti begitu saja. Aku cuma ... kasihan lihat kamu kelelahan. Maksud aku, udah cukup kamu capek belajar. Enggak usah sambil kerja juga."

Juna termangu. Raihan selalu saja berlagak sok baik di hadapan maupun di belakang Papa. Entah semua itu tulus atau hanya karena rasa bersalah seperti kata Irgy.

"Lagi pula ...." Raihan terdiam sejenak sebelum melanjutkan. " ... orang-orang salah paham sama kita. Disangka mereka, Papa memperlakukan kita berbeda. Aku yang cuma anak tiri malah hidup enak, sementara kamu ...." Raihan tidak melanjutkan kata-katanya.

"Jadi karena itu?" tanya Juna.

"Apa?"

"Kamu terbebani dengan itu?"

Raihan memandang Juna. "Iya. Memangnya salah kalau aku terbebani? Toh, kamu kerja atas keinginan kamu sendiri. Kami tidak pernah memperlakukan kamu dengan buruk, tapi di hadapan orang-orang seolah kamu semenderita itu gara-gara kami."

Juna mengepalkan tangannya. "Kamu gak tahu apa-apa."

"Makanya bilang. Aku gak akan pernah tahu kalau bicara saja kita sesulit itu."

Juna menggangguk. "Oke. Aku akan bilang."

Juna maju selangkah dan menatap serius pada Raihan. "Mau tahu kenapa aku kerja? Karena aku mau pergi dari rumah kalian. Kalau aku punya pekerjaan, aku tidak akan membebani Ibu walaupun nanti aku tinggal sama dia. Puas?"

"J-jun ... kenapa malah mau pergi?"

"Apa sejak awal aku pernah mau tinggal sama kalian?"

Raihan terdiam. Juna pergi dengan amarah tertahan. Dia melampiaskannya pada tembok di lorong sepi. Buku-buku jarinya terluka, tetapi tidak lebih sakit daripada yang ada di rongga dada. Tidak ada yang lebih memahami perasaan Juna selain dirinya sendiri. Perasaan dibuang, lalu diambil paksa setelah dia hidup baik-baik saja. Meninggalkan Ibu hidup sendirian dalam keterbatasan ekonomi.

Juna menarik napas dan membuangnya pelan-pelan, kemudian melanjutkan langkah meski gontai. Mata sayunya menangkap sosok Calla yang mendekat. Gadis itu memandangnya dengan wajah bingung.

"Jun, kamu kenapa?" tanyanya.

Juna tidak menjawab. Kata-katanya tersekat di kerongkongan. Pandangan Calla beralih pada tangan kanannya. Gadis itu terbelalak, lalu buru-buru meraihnya.

"Tangan kamu kenapa? Kamu nonjok orang?" Gadis itu menatapnya cemas.
Juna menggeleng sebagai jawaban.

"Terus apa? Tembok? Batu?" Calla bertanya lagi.

Alih-alih menjawab, Juna menunduk. Terdengar helaan napas Calla. Gadis itu mengajaknya pergi. Namun karena Juna hanya bergeming, Calla menariknya. Juna dibawa ke ruang kesehatan. Dia didudukkan di salah satu ranjang, sementara Calla pergi mencari sesuatu. Perawat yang biasa bertugas di sana tidak terlihat. Tidak ada yang bisa ditanyai Calla, jadi dia mencarinya lumayan lama.

Sebuah kotak akhirnya dibawa Calla. Gadis itu menarik kursi dan duduk di hadapan Juna, lalu meraih tangannya yang terluka. Lukanya diobati dengan telaten, lalu dibalut dengan plester.

"Kamu ada masalah apa? Cerita sama aku," ujar Calla setelah selesai.

Juna masih tidak mau menjawab.

"Kamu berantem lagi sama Raihan?" Calla berujar seolah bisa mendengar suara hati Juna.

"Kalau kamu gak mau cerita, sepertinya iya." Calla melanjutkan.

Hening beberapa saat. Sepertinya Calla sengaja membiarkan Juna diam tanpa cerita. Akan tetapi, gadis itu malah berkata di luar dugaan.

"Kamu mau nangis?" tanyanya.
Juna memandang Calla, tetapi tidak berkata apa pun.

"Biasanya kalau aku gak bisa ngomong apa-apa, aku akan mengungkapkannya dengan tangisan," ujar Calla.

"Kamu pikir cowok akan melakukan itu?" Juna akhirnya buka suara.

Calla tersenyum tipis. "Apa karena terlahir sebagai cowok, kamu harus selalu berlagak sok kuat? Aku rasa cowok juga diciptakan dengan sisi sentimentalnya."

Juna terdiam dan menunduk. Calla menepuk-nepuk punggungnya.

"Kalau begitu kata-kata apa yang ingin kamu dengar?" Calla bertanya lagi.

"Enggak ada."

"Apa aku ... sudah cukup baik sebagai temanmu?"

Juna mengangkat kepala. "Maksud kamu?"

"Aku selalu merasa gak berguna sebagai teman. Karena aku gak tahu apa-apa dan gak bisa apa-apa."

"Calla ...."

Calla tersenyum, tetapi senyuman itu terlihat sendu di mata Juna. Rasa bersalah kini bergelantungan di hatinya.

"Maaf." Juna berujar lirih.

Calla menggeleng. "Harusnya aku yang minta maaf."

"Kamu sahabat terbaikku. Aku bahagia hanya dengan melihatmu selalu ada seperti ini. Sungguh."

"Iyakah?"

Juna mengangguk. "Kamu gak perlu melakukan apa pun. Cukup seperti ini."

Calla menghela napas. "Baiklah. Kalau memang itu mau kamu."

"Aku akan cerita ... tapi mungkin nanti."

"Enggak perlu kalau memang itu berat."

Sekali lagi rasa bersalah menusuk hati Juna. Dia hanya bisa memandang Calla yang pamitan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Gadis itu bahkan meninggalkan kotak P3K di samping Juna. Juna menangkup wajahnya dan menghela napas berat.

Bel masuk terdengar berbunyi. Juna malas-malasan bangun dari duduknya dan keluar dari ruangan itu. Dalam perjalanan menuju kelas, Juna menemukan Raihan sedang berbicara dengan Pak Sambas. Lebih tepatnya anak itu sedang merengek agar diizinkan masuk kelas. Sementara itu, Pak Sambas teguh dengan pendiriannya agar Raihan mengulang hukuman untuk hari ini karena ruang olahraga masih kotor.

"Besok pagi-pagi ada jadwal olahraga kelas lain. Harus dibersihkan sekarang," ujar Pak Sambas.

"Olahraganya bisa di luar, kan? Lagian di luar lebih seru."

"Iya kalau tidak hujan. Ini namanya sedia ruang olahraga sebelum hujan."

"Saya gak pernah dengar peribahasa itu."

Pak Sambas mengangkat rotannya membuat Raihan segera lari menyelamatkan diri, padahal pria itu hanya main-main. Terlihat dari caranya tertawa melihat Raihan lari terbirit-birit.

Pak Sambas berbalik dan tertegun melihat Juna. Pria itu berjalan menghampirinya.

"Anak itu berbeda sekali denganmu, ya?" ujar Pak Sambas. "Dia tidak belajar dari kakak ... eng ... karena kalian seumuran, siapa kakaknya?"

Juna termangu. Ingatannya mengembara ke beberapa tahun yang lalu saat dia pertama kali dibawa Papa. Saat itu dirinya baru kelas lima SD. Raihan bertanya kapan tanggal lahirnya. Karena mereka lahir di tahun yang sama, maka bulan kelahiran digunakan sebagai penentu siapa kakak dan adik di antara mereka.

"Kalau kamu lahir Agustus, berarti aku dua bulan lebih tua dari kamu. Kamu hari pramuka, aku hari pancasila. Mulai sekarang aku kakakmu," kata Raihan sambil merangkul Juna, tetapi Juna langsung mendorongnya.

"Ah, pertanyaan saya ini enggak penting, ya?" kata Pak Sambas membuat Juna terkesiap, sadar dari lamunannya. "Maksud saya, kamu bisa atasi Raihan agar tidak membuat masalah lagi? Kasihan. Nilainya tidak terlalu bagus kalau harus dikurangi poin pelanggaran."

Juna menghela napas. Kenapa pula dia yang harus mengatasi Raihan? Bukankah itu tugas mereka sebagai guru?

"Kalau mengobrol dengan yang seumuran, mungkin bisa lebih diterima oleh Raihan," kata Pak Sambas seolah tahu apa yang dipikirkan Juna.

Pak Sambas menepuk pundak Juna sebelum akhirnya pergi. Juna menghela napas lagi. Boro-boro bisa mengobrol seperti yang diharapkan Pak Sambas. Paling kejadiannya tidak jauh-jauh seperti tadi.

Juna akhirnya pergi ke kelas, tetapi baru sampai di pintu, dia berhenti. Juna tiba-tiba teringat dengan Raihan. Kakinya secara impulsif menjauh dari pintu dan melangkah menuju ruang olahraga. Juna sadar dengan apa yang dia lakukan, tetapi tidak tahu juga kenapa dirinya melakukan itu. Dia berhenti di depan pintu ruang olahraga, memperhatikan Raihan yang sedang mengomel sendiri di dalam sana.

"Mananya yang kotor, sih? Segini mah masih bersih. Kayaknya Pak Sambas cuma mau mengerjaiku," gerutu Raihan sambil menjejal-jejalkan gagang pel ke dalam ember.

Juna termangu. Dia teringat dengan ucapan Raihan waktu itu. Raihan berakhir dihukum seperti ini karena membela harga dirinya. Tidak terima dibilang paling disayang oleh papanya.
Juna menghela napas. Sekarang jadi terasa wajar Raihan bersikap seperti itu. Barangkali selama ini Junalah orang jahatnya. Dia yang membuat Raihan berada dalam kesulitan. Dia sudah membuat orang-orang salah paham terhadap keluarganya. Tapi kan, dia melakukan itu bukan tanpa alasan juga. Kalau hal ini dia ceritakan pada Calla, kira-kira gadis itu akan memihak siapa? Memikirkannya saja sudah membuat Juna ketakutan. Bagaimana kalau Calla membencinya?
Hati Juna jadi lebih sakit dari sebelumnya. Punggungnya bersandar di tembok dan merosot begitu saja sampai dia terduduk. Juna memandangi jari-jarinya yang dibalut plester. Selama ini Calla selalu menjadi plesternya. Penutup lukanya. Apa yang harus Juna lakukan jika satu-satunya plester malah berakhir dia kecewakan? Dalam kekalutan itu, hanya ada satu orang yang Juna ingat. Ibu. Dia benar-benar ingin pulang saja padanya.

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

16 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top