12. Kantong Semar

"Calla!"

Calla menoleh malas-malasan ketika seseorang memanggil namanya. Meysha duduk di sampingnya dan menatap Calla bingung.

"Kamu kenapa? Sakit?" tanya Meysha.

Calla mendesah dan menggeleng, lalu menoleh lagi pada Meysha dengan wajah lesu. "Mey ... aku tiba-tiba kepikiran sesuatu yang aneh."

Meysha mengangkat alis. "Tentang apa?"

Calla celingukan dan menggeser tubuhnya lebih rapat dengan Meysha. "Aku mencurigai Raihan dan Juna," ujarnya pelan.

Mata Meysha membeliak. "Aku kira selama ini kamu cuma bercanda."

"Awalnya iya, aku cuma menggoda Raihan. Tapi makin ke sini, kok, makin mencurigakan beneran. Sekarang aku malah mencurigai Juna juga. Mereka terlihat seperti berkomunikasi lewat bahasa yang cuma dipahami berdua."

"Ternyata kamu juga sadar tentang hal itu. Mereka kelihatan seperti saling sindir. Iya gak, sih?"

Calla mengangguk. "Menurut kamu, kira-kira siapa pelakunya?"

Meysha mendesah. "Entahlah. Dua-duanya berpotensi sebagai pelaku dan Anonim."

Calla tertegun memandang Meysha. Meysha yang seolah sadar dengan ekspresi bingung Calla buru-buru menjelaskan.

"Begini. Kalau satu orang berpotensi sebagai pelaku, bukankah satu yang lain akan jadi Anonimnya?" ujar Meysha.

Calla terdiam sejenak dan mengangguk. "Bisa jadi. Mungkin yang waktu itu aku lihat di perpustakaan sebenarnya orang berbeda. Lagi pula, tinggi mereka sepantaran."

"Ah, kalau kamu lihat pipinya mungkin bisa lebih gampang."

"Apa?"

"Raihan, kan, pipinya bolong. Kalau Juna enggak."

Mereka bedua tergelak. Hening beberapa saat menyelimuti keduanya. Angin yang menyapu taman menerbangkan beberapa helai rambut mereka.

"Ngomong-ngomong ... kok kamu bisa tahan berteman dengan dua orang yang enggak akur?" ujar Meysha.

Calla menoleh dan tersenyum. "Karena aku adalah peredam amarah mereka."

Meysha termangu. "Maksud kamu?"

"Dulu aku pernah kena pukul waktu melerai perkelahian mereka." Calla meringis. "Jadi setelah itu mereka membuat kesepakatan untuk gak berkelahi di hadapanku. Makanya sebisa mungkin aku harus selalu ada di antara mereka."

"Wah." Meysha berdecak sambil geleng-geleng.

Mereka terdiam lagi. Sampai akhirnya Meysha buka suara lagi.

"Mereka udah musuhan berapa lama?" tanya Meysha.

"Entahlah. Sejak aku datang ke kehidupan mereka, mereka udah kayak gitu."

Meysha menoleh dengan wajah terkejut. "Heh? Jadi mereka bukan musuhan karena kamu?"

Calla plonga-plongo. "Memangnya kenapa harus karena aku?"

Meysha membuang napas. "Hei! Dua orang cowok musuhan dan di tengah-tengahnya ada cewek. Menurut kamu karena apa lagi?"

Calla mengerjapkan mata dua kali, lalu tawanya pecah sesaat setelah sadar. "Astaga. Kamu pikir ini kisah cinta segitiga kayak di drama-drama?"

"Mata telanjang orang tentu saja akan melihatnya seperti itu." Meysha berdecak. Calla tertawa lagi.

"Lalu, bagaimana caranya kamu masuk ke kehidupan mereka?" tanya Meysha.

"Awalnya aku cuma dekat sama Juna. Dia orangnya pendiam dan tenang. Kalau diganggu enggak melawan. Aku gemas sendiri melihatnya. Jadi aku sering menggantikannya buat labrak orang-orang. Tapi anehnya dia cuma berani sama Raihan. Aku pernah labrak Raihan juga. Eh, tahunya kami malah jadi seperti sekarang."

Meysha geleng-geleng lagi sambil melongo. "Wah, kenapa jadi kebalik?"

"Apanya?"

"Biasanya cowok yang akan jadi pahlawannya."

Calla terbahak.

"Tapi ngomong-ngomong, mereka punya masalah apa, sih, sebenarnya?" tanya Meysha.

Calla mendadak bungkam, kemudian tersenyum samar. "Entahlah. Aku gak pernah tahu bagaimana persisnya. Aku cuma tahu dari gosip yang beredar. Dan gosip itu terbukti saat insiden aku kena pukul."

"Terbukti bagaimana?" Meysha memperbaiki posisi duduk dengan perhatian lebih terpusat pada Calla.

"Waktu itu orang tua kami dipanggil. Ternyata orang tua mereka adalah orang yang sama."

Meysha mengerjapkan matanya. "M-mereka kembar?"

Calla menggeleng. "Saudara tiri."

Meysha menganga sambil manggut-manggut. "Jadi itu yang bikin mereka gak akur?"

Calla mendesah. "Entahlah. Mereka gak pernah mau membahasnya." Calla menoleh pada Meysha, lagi-lagi tersenyum hambar. "Aku gak yakin mereka benar-benar menganggapku teman atau bukan."

Meysha mendesah dan menepuk-nepuk punggung Calla. "Gak semua masalah bisa dibagi dengan orang lain."

"Bahkan dengan teman sendiri?"

"Bahkan dengan orang tua sendiri. Kadang, manusia menyembunyikan sesuatu demi melindungi orang yang dia sayangi."

Calla terdiam sejenak. "Apa mereka seperti itu untuk melindungi perasaan satu sama lain?"

Meysha menggedikkan bahu. "Siapa tahu? Mungkin saja masalah itu akan sama-sama melukai mereka kalau dibahas."

Bunyi bel masuk mengalihkan perhatian keduanya. Calla dan Meysha pergi sambil mengobrol. Di koridor, mereka menemukan Juna sedang berbicara dengan Irgy. Calla menghentikan langkah dan menahan tangan Meysha.

"Juna? Sama siapa namanya itu? Irgy?" ujar Meysha.

Alih-alih menjawab, Calla meletakkan telunjuknya di bibir. Dia menajamkan pendengarannya menangkap pembicaraan mereka.

"Kamu bersenang-senang, ya, dengan permainan ini?" kata Irgy.

Calla dan Meysha bertukar pandang.

"Kamu sendiri? Senang, ya, hidup seperti itu?" jawab Juna.

"Apa maksudnya hidup seperti itu?" Irgy mendorong bahu Juna. Tatapannya tajam.

"Kamu udah dapetin apa yang kamu inginkan."

Irgy tertawa sinis. "Kenapa? Kamu terpukul, ya, kehilangan beasiswa itu?"

Calla mengepalkan tangan, kemudian melangkah cepat-cepat menghampiri Juna dan Irgy. Meysha mengikutinya di belakang.

"Terpukul apanya? Juna gak butuh beasiswa," ujar Calla.

"Calla ...." Juna menarik lengan Calla, tetapi ditepis secepat kilat.

"Oh, ya? Terus kenapa dia repot-repot membuat kekacauan ini?" Irgy menatap Calla serius.

Calla terdiam. Dia bingung harus menjawab apa lagi.

"Benar, kan, dia seperti ini karena butuh beasiswanya?" Irgy berujar lagi.

"Kamu pikir Juna sebutuh itu dengan beasiswa? Dia bisa membeli sekolah ini kalau mau."

"Calla, sudahlah." Juna menarik Calla dan mendapat tepisan lagi.

"Iyakah?" Irgy tertawa sinis. "Aku dengar papa Juna lebih sayang sama anak tirinya. Juna bahkan harus kerja sambilan."

"Hei!" Calla berteriak. Kakinya maju selangkah. Secepat kilat Juna manariknya. Secepat itu pula seseorang menarik kerah Irgy dan melayangkan tinju ke mukanya. Irgy jatuh tersungkur ke lantai.

"Rai!" Calla memekik sambil menutup mulutnya.

Raihan melonggarkan dasinya sambil membuang napas kasar. "Ah, dasar kuman ini!"

Irgy mengusap darah yang rembes di sudut bibirnya dengan ibu jari. Dia menatap Raihan dan tersenyum sinis.

"Wah, kamu datang belain Juna?" kata Irgy. "Udah akur, ya, sekarang?"

"Aku datang untuk menghajarmu. Pukulanku gak terasa, ya? Mau lagi?" Raihan hendak melayangkan tinjunya lagi, tetapi ditahan oleh Calla dan Meysha.

Irgy tertawa. "Kamu berusaha keras sekali untuk bisa akur dengan Juna. Pasti rasa bersalah kamu sangat besar, ya?"

"Kamu juga berusaha keras sekali mengumpulkan informasi tentang kami. Biar kamu bisa terus mengganggu kami, ya? Kamu pasti kesal, ya, papa kamu terus-terusan menekan agar kamu bisa mengalahkan Juna?"

Irgy menatap nyalang pada Raihan. Dia bangun dari posisinya. "Banyak bicara kamu, ya?" Irgy maju selangkah, tetapi perkataan Raihan membuatnya berhenti.

"Apa? Mau balas pukul aku? Pukul saja! Aku jamin kamu gak akan berani. Berapa poin yang akan hilang kalau sampai tanganmu menyentuh wajahku?"

Irgy menggertakan gigi. Tatapannya sangat marah, tetapi dia tidak berbuat apa-apa.

"Bagus. Lindungi saja nilaimu itu. Biar aku yang hajar kamu." Raihan hendak menyerang lagi, tetapi Calla dan Meysha kompak menahannya.

"Bagus, ya. Orang lain belajar, ini malah sibuk berkelahi," ujar seseorang mengalihkan perhatian mereka.

Seorang pria penuh uban membawa rotan yang dipukul-pukulkan ke telapak tangannya. Pak Sambas. Seorang guru BK paling ditakuti seantero SMA Wijayamulya. Dia ditemani security dadakan di kanan-kirinya.

"Habis kamu, Rai!" gumam Calla.

"Kalian berdua ...." Pak Sambas menunjuk Raihan dan Irgy, " ... ikut saya."

"Kalian bertiga, masuk kelas sana!" ujar Pak Sambas pada Calla, Juna, dan Meysha.

Raihan dan Irgy mengikuti Pak Sambas dan kedua security itu pergi. Juna membuang napas kasar hingga terdengar oleh Calla.

"Ah, dasar anak itu!" ujar Juna bicara sendiri.

Juna pergi tanpa memedulikan Calla dan Meysha. Meysha memandang Calla sepeninggalnya.

"Apa masalah yang kamu maksud ... seperti yang aku dengar barusan?" tanya Meysha.

Calla menggangguk ragu. "Sepertinya. Tolong jangan singgung masalah ini di depan mereka, ya."

Meysha mengangguk paham. Mereka akhirnya pergi ke kelas. Di sana sudah ada Pak Daniel yang menyampaikan materi. Pria itu menatap heran pada Calla dan Meysha yang baru datang.

"Kenapa kalian terlambat?" tanya Pak Daniel.

"Maaf, Pak. Barusan ada masalah di luar," jawab Calla.

"Masalah?"

Calla tidak menjawab. Pak Daniel berdeham.

"O-oke. Kita bahas itu nanti saja. Duduklah."

Calla dan Meysha pergi ke tempat duduknya dan mengikuti pelajaran. Berkali-kali Calla menoleh ke tempat duduk Raihan yang masih kosong. Dia gelisah. Takut Raihan terkena masalah besar di luar sana.

Calla mengangkat tangan dan izin ke toilet. Dia segera pergi setelah dipersilakan. Bukan ke toilet sungguhan, Calla malah pergi ke ruang konseling. Dia berpapasan dengan Irgy yang mendelik sebal padanya. Calla mempercepat langkah untuk menemui Raihan, tetapi keburu melihat Juna menghampiri anak itu. Calla bersembunyi di balik tembok dan mengintip mereka.

"Kamu dihukum?" tanya Juna.

"Belum tahu. Katanya akan disidang dulu."

"Apa Papa akan dipanggil?"

Raihan mengangguk sambil menggaruk tengkuk. "Sepertinya ...."

Juna membuang napas. "Kamu kenapa bikin masalah, sih? Mau cari muka di depan Papa? Bilang kalau kamu melakukan ini demi membelaku?"

Raihan menatap Juna sebal. "Kamu percaya ucapan Irgy? Aku melakukan ini untuk membela harga diriku. Aku bukan kamu yang sok alim."

Juna terdiam sejenak. "Kamu tahu kantong semar?"

"Kenapa tiba-tiba jadi bahas kantong semar?"

"Kamu tahu kenapa dia tidak melawan walaupun dikerubuti serangga?"

"Ya karena dia memang gak bisa melawan."

"Bukan gak bisa melawan, tapi dia tahu cara membunuh mangsanya hanya dengan tetap diam."

Hening beberapa detik hingga Raihan terlonjak sambil memeluk dirinya sendiri. "Astaga! A-apa yang kamu pikirkan?"

Juna pergi tanpa menjawab.

"H-hei! Apa yang akan kamu lakukan? Dasar kantong semar psycho! Hei, Juna!" Raihan teriak-teriak, tetapi Juna tidak menoleh sedikit pun.

Calla menegakkan tubuh ketika Juna tiba di tempat persembunyiannya. Juna tampak terkejut, tetapi tidak bereaksi lebih dari itu. Dia pergi begitu saja. Calla hanya bisa menghela napas memandang punggungnya menjauh.
Calla keluar dari balik tembok tanpa tahu Raihan sedang berjalan ke arahnya. Alhasil, cowok itu memekik kaget sambil memegang dadanya.

"Astaga! Kalian sedang kompak mau bikin aku serangan jantung, ya?" omel Raihan.

"Apa kamu dapat masalah besar?"

Raihan menurunkan tangannya sambil berdeham. "M-mungkin."

Calla mendesah. "Ah, aku bingung harus ngomel atau enggak. Aku juga kesal sama Irgy."

"Benar, kan? Cuma Juna makhluk paling sok alim di muka bumi. Apa tadi katanya? Kantong semar? Dia mau menyerang dengan cara lebih mengerikan daripada aku?" Raihan mengomel lagi, kali ini sambil bergidik ngeri.

"Tapi ... kamu memang melakukan ini bukan hanya untuk diri kamu sendiri, kan?"

"M-maksud kamu?"

Calla mendesah dan menggeleng. "Enggak. Lupakan."

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

13 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top